Stigma terhadap perempuan pasien kanker payudara di Hari Anti Kanker Payudara Sedunia 2023

Saya Distigma ‘Tak Utuh’, Cerita Perempuan Pejuang Kanker Payudara

Di Hari Anti Kanker Payudara Sedunia 19 Oktober hari ini, Valentina Sri Wijiyati berbagi cerita sebagai pasien dan pejuang kanker payudara. Salah satunya perjuangannya melawan stigma yang lekat padanya.

Perempuan pasien dan pejuang kanker payudara, Valentina Sri Wijiyati, pertama kali merasakan gejala kanker payudara di tahun 2020. Setelah melakukan pemeriksaan mandiri (SADARI) dan mengecek ke dokter, perempuan yang akrab disapa Wiji itu didiagnosis mengidap kanker payudara.

“Saya sendiri awalnya bukan orang yang rajin melakukan SADARI, pemeriksaan payudara sendiri. Tapi di 2020 mulai merasa ada nyeri,” ceritanya di sesi Instagram ‘Saturday Nite with LETSS Talk Live on Instagram Edisi #67, Sabtu (7/10/2023). 

Berbeda dengan kebanyakan pasien kanker payudara yang mengalami gejala, Wiji mengatakan dirinya tidak mengalami gejala yang signifikan. 

“Kalau teman-teman yang lain itu kan, mengalami dari area puting itu keluar cairan, padahal tidak sedang menyusui. Ada yang juga kadang-kadang mengatakan—entah ada kaitannya atau tidak, tetapi kemudian lelah, atau juga sakit kepala,” katanya. 

Kanker payudara bukan penyakit ‘sambil-lalu’. Banyak hal yang menghilang dari kehidupan Wiji akibat kanker payudara. Mulai dari kawan-kawan sesama pasien yang tutup usia, hingga kehilangan pekerjaan akibat kondisi kesehatannya.

Stigma dan Mitos Kecantikan Mereduksi Pasien Kanker Payudara

Wiji menceritakan, pasien kanker payudara masih lekat dengan stigma. Hal ini khususnya berdampak pada nilai diri pasien perempuan.

Bukannya menyumbang energi agar pasien terdorong untuk pulih, stigma kanker payudara justru memunculkan tekanan mengenai citra perempuan yang ‘utuh’ dan diterima oleh masyarakat. Efek-efek samping perawatan kanker payudara dinilai sebagai reduksi nilai diri perempuan.

“Tidak sedikit yang kemudian merasa tidak ‘sempurna’, tidak ‘utuh’, tidak cukup perempuan,” katanya.

Pasien kanker payudara juga termasuk label ‘penderita’ dan ‘pesakitan’. Belum lagi, cara pandang masyarakat terhadap tubuh perempuan pasien. 

Standar kecantikan membuat perempuan dengan kanker payudara dipandang sebagai perempuan yang ‘tidak utuh’. Bahkan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga rentan terjadi kepada perempuan dengan kanker payudara karena stereotip tersebut.

Tidak cuma bagi perempuan. Stigma terkait kanker payudara juga mempersulit pasien laki-laki, meski jumlahnya memang tidak sebanyak perempuan. Situasi sulit mesti dilalui pasien kanker payudara laki-laki di tengah masyarakat patriarkis.

“Pertama, ada tafsir agama yang patriarkis. Kedua, ada tradisi—saya tidak mau menyebut budaya—yang juga patriarkis,” ujar Wiji menegaskan faktor-faktor ketimpangan gender yang terjadi pada pasien kanker payudara, terutama pasien perempuan.

“Yang ketiga, ada industri yang juga patriarkis. Yang kemudian menempatkan konsep-konsep tentang ‘cantik’, tentang ‘ganteng’, tentang seperti apa sosok atau kondisi tubuh yang dianggap fit.”

Baca Juga: Para Perempuan yang Berjuang Bersama Kanker

Dalam konteks kanker payudara, ketiga hal tersebut berkelindan membentuk stigma dan penghakiman terhadap perempuan pasien. Menurut Wiji, hal itu membuat perempuan dengan kanker payudara dipandang tidak cukup ‘perempuan’. 

Di sisi lain menurutnya, tiga hal itu juga seperti memberi legitimasi, dorongan pada laki-laki untuk kemudian melakukan kekerasan terhadap perempuan yang menyandang kanker payudara.

“Entah karena dia harus menjalani mastektomi, sehingga harus diangkat payudaranya. Atau juga mengalami efek samping rawat medisnya. Entah karena kulitnya kemudian mengering, entah karena kemudian kukunya menghitam lalu mengelupas. Atau rambutnya rontok, sehingga harus dicukur botak bersih,” kata dia. 

Wiji menuturkan, itulah contoh hal-hal toksik dari tiga persoalan yang ia sebutkan sebelumnya. Kerap terjadi, efek samping dari perawatan kanker payudara membuat perempuan pasien diceraikan atau ditinggalkan oleh pasangannya.

“Teman-teman feminis yang lain, mari amplifikasi juga suara kami. Bahwa teman-teman yang menyandang kanker payudara itu juga butuh untuk mendapatkan asupan kesadaran, bahwa, ‘Eh, yang kalian alami itu bukan sesuatu yang memalukan,” ajak Wiji.

Semangat untuk Pulih 

Di tengah perjuangannya untuk perawatan kesehatan dan mengikis stigma, Wiji juga berjuang untuk tetap bersemangat. 

Wiji memilih aktif berorganisasi dan berjejaring sampai saat ini. Baginya, aktivitas itu yang menguatkannya. Sirkel lingkungan sosial sangat berpengaruh terhadap pemulihan dan penguatan pasien kanker payudara. 

“Dengan perjalanan volunteering seperti itu, saya jadi punya ingatan kesadaran: bahwa apapun yang terjadi, saya masih bisa membagikan daya yang saya miliki. Bahkan ketika saya menyandang kanker,” ujarnya. 

Di Hari Anti Kanker Payudara Sedunia dirayakan setiap tanggal 19 Oktober, Wiji mendorong agar kesadaran bahwa kanker payudara bukan hanya tentang kesehatan semakin kuat. Menurutnya, isu kanker payudara adalah isu sosial dan feminis yang harus menjadi perhatian berbagai pihak.

Upaya mandiri yang bisa dilakukan misalnya pemeriksaan mandiri atau SADARI kanker payudara sangat penting untuk dilakukan. Kesadaran itu mesti mulai dibangun sejak seseorang menginjak usia remaja. Pasalnya, di usia tersebut perubahan hormon mulai terjadi. Semakin dini kanker payudara terdeteksi, penanganannya dapat lebih cepat dan angka harapan hidup meningkat.

“Perlu kesadaran untuk mendengarkan dan mendeteksi tubuh sendiri. Salah satunya dengan SADARI tadi,” ujar Wiji.

Baca Juga: Banyak Aturan, Hasil Tak Transparan: Upaya Cegah Kanker Jadi “PR” di Indonesia

Itu seperti yang dilakukan Wiji saat pertama tahu kanker payudara dalam dirinya. Usai mengetahui adanya potensi kanker payudara dari SADARI, maka Ia menganjurkan agar segera menemui dokter untuk penanganan lebih lanjut. 

Dari pengalaman Wiji, dokter bisa memberikan beberapa rute untuk perawatan kanker payudara yang dialami pasien. Pada saat itu, Wiji memilih rute paling ringkas dan efisien yang bisa diambil pada saat itu atas beberapa pertimbangan.

“Terutama saya ingin cepat kembali bekerja. Cepat kembali pulih, kembali kerja,” kata Wiji.

Namun, Wiji mengingatkan, rute yang dipilihnya bukan sesuatu yang kaku. Penanganan terbaik kanker payudara tetap tergantung pada kondisi masing-masing pasien.

“Masing-masing pasien punya kondisi individu yang berbeda-beda, sehingga treatment-nya pun harus berbeda-beda.”

Mendorong Akses Layanan Kesehatan Optimal 

“Kalau bicara aksesibilitas pelayanan kesehatan di Indonesia, terutama yang kanker payudara itu, memang teknologinya sudah maju. Tetapi ketersediaannya, persebarannya itu masih jauh dari optimal,” katanya. 

Menurutnya, fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga medis ahli masih terpusat di Pulau Jawa. Sehingga pasien kanker payudara di luar Jawa lebih sulit mengakses layanan tersebut. 

Pun dengan akses jaminan kesehatan negara (JKN) yang mestinya harus terdistribusikan dengan baik di seluruh wilayah di Indonesia. Edukasi dan sosialisasi terkait hal di berbagai kalangan masyarakat aksesnya harus merata dan inklusif. 

“Fasilitas serupa JKN, yang membantu meringankan biaya pengobatan kanker dan penyakit kronis lain, belum tersedia di sejumlah negara lain di dunia. Paling tidak, Indonesia memiliki keunggulan itu dibanding negara luar,” ujarnya. 

Baca Juga: ‘No Bra Day’ 13 Oktober: Sikap Politik Perempuan dan Kesadaran Atas Kanker Payudara

Meski begitu, prosedur penanganan pasien yang menggunakan JKN saat ini menurutnya masih rumit dan memakan banyak waktu. Pasien harus bolak-balik mengurus administrasi sembari berpacu waktu dengan perkembangan sel kanker, sehingga hal itu menjadi sangat krusial.

“Masih ada ketimpangan di depan mata. Pasien kanker memang akan dirujuk ke rumah sakit nasional untuk penanganan lebih lanjut. Tapi hal itu, juga menimbulkan penumpukan pasien di rumah sakit rujukan,” ucapnya.

Dia berharap, momentum Hari Anti Kanker Payudara Sedunia ini bisa jadi pendorong perbaikan layanan kesehatan bagi pasien. Juga kesadaran atas stop stigma yang masih seringkali terjadi utamanya bagi perempuan pasien dan pejuang kanker payudara. 

“Teman-teman feminis yang lain, mari amplifikasi juga suara kami. Bahwa teman-teman yang menyandang kanker payudara itu juga butuh untuk mendapatkan asupan kesadaran, bahwa, ‘Eh, yang kalian alami itu bukan sesuatu yang memalukan,” pungkas Wiji.

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!