Luviana – www.Konde.co
Di tahun ini, juga tahun-tahun sebelumnya, ada hari-hari yang dimaknai secara berbeda. Banyak teman yang menyatakan, terjadi perbedaan makna atau kesalahan makna.
Yang pertama, adalah hari Kartini. Kartini adalah pejuang perempuan di Indonesia, yang pada tanggal kelahirannya setiap 21 April, banyak dimaknai dengan perayaan menggunakan busana di sekolah. Identik dengan sanggul dan karnaval anak-anak.
Ketika saya kecil, hari Kartini adalah hari dimana saya harus memakai baju kebaya, mengikuti lomba memasak, lomba menata meja makan dan merangkai bunga.
Padahal Kartini adalah pejuang perempuan. Dengan segala keterbatasannya, Kartini kemudian menulis. Karena tak bisa banyak berbicara maka ia kemudian menuangkan pikirannya. Maka menulislah Kartini. Buku-buku Kartini kemudian menjadi kitab penutur bagaimana perjuangannya dulu. Ia mencoba melawan tradisi, menolak poligami, mempertanyakan mengapa perempuan harus dipingit seperti ia dan adik-adik perempuannya? Mengapa buruh perempuan yang tinggal di belakang rumahnya tak boleh sekolah dan hanya boleh bekerja untuk mengabdi pada pemerintah kolonial Belanda?. Perjuangannya yang sendiri dan sunyi inilah yang memberikan semangat baru bahwa walau sendiri, perempuan harus tetap menuntaskan perjuangannya.
Jadi sepertinya tidak benar jika perjuangan Kartini selalu didentifikasi dengan baju kebaya, menata meja makan, menghias bunga dan mengikuti karnaval di sekolah.
Dan sekarang, yang terjadi pada 22 Desember hari ini, sebagai hari ibu.
Hari ibu yang banyak dirayakan seperti saat ini justru kemudian mendomestifikasi peran ibu. Ibu selalu diidentifikasi sebagai orang yang mengurus rumah dan semua kebutuhan anaknya. Ibu juga seorang pekerja yang tangguh, bekerja di luar rumah dan di dalam rumah, tak pernah mengeluh walau mengerjakan semua hal sendiri.
Padahal esensi itu kurang tepat dan jauh dari esensi perjuangan perempuan dalam melawan ketidakadilan, bila setiap tanggal 22 Desember hanya diperingati sebagai hari kasih sayang ibu terhadap anaknya. Namun justru hari inilah, tepat 88 tahun yang lalu para perempuan Indonesia mulai mewujudkan tekad dalam sebuah kongres perempuan, untuk berjuang bagi bangsanya. Berjuang bagi hak-hak perempuan di Indonesia.
Kongres Perempuan Pertama
Sejumlah aktivis perempuan kemudian menyebut tanggal 22 Desember sebagai hari perjuangan perempuan Indonesia.
Tepat pada tanggal 22 Desember 1928, atau 88 tahun yang lalu, sebuah Kongres Perkoempoelan Perempoean Indonesia digelar di Yogyakarta. Kongres tersebut diikuti oleh 30 organisasi perempuan dari daerah-daerah di Indonesia. Ada organisasi Putri Indonesia, Wanito Tomo, Wanito Muljo, Wanita Katolik, Aisjiah, Ina Tuni dari Ambon, Jong Islamieten Bond bagian Wanita, Jong Java Meisjeskring, Poetri Boedi Sedjati, Poetri Mardika danWanita Taman Siswa.
Nama-nama perempuan seperti Soejatin, Nyi Hajar Dewantoro, Sitti Sundari adalah tokoh-tokoh perempuan yang menginisiasi Kongres Perempuan pertama di Indonesia itu. Kongres ini dibuat sebagai kelanjutan dari Kongres Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Kongres diadakan di sebuah pendopo Dalem Jayadipuran, milik seorang bangsawan, R.T. Joyodipoero. Sekarang ini gedung tersebut dipergunakan sebagai kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional di Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta.Tercatat sekitar 1.000 orang hadir pada resepsi pembukaan yang diadakan mulai tanggal
Dalam kongres ini para perempuan bertemu dan berkomitmen untuk memperjuangkan keadilan untuk perempuan Indonesia lebih-lebih di bidang pendidikan dan perkawinan.
Kehidupan perempuan di masa penjajahan Belanda pada masa itu dirundung oleh sejumlah masalah yang cukup pelik. Tak banyak perempuan yang bisa menempuh pendidikan, kebanyakan dari mereka sudah dikawinkan selang beberapa saat setelah mengalami menstruasi pertama, tak punya kedudukan kuat untuk menggugat atas perlakuan sepihak dari kaum laki-laki yang bisa saja setiap saat menceraikan mereka. Kondisi lain, hampir semua perempuan Indonesia kala itu berada dalam kemiskinan karena penjajahan.
Pembahasan berbagai isu utama permasalahan perempuan dibicarakan dalam rapat terbuka. Topik yang diangkat saat ini di antaranya adalah kedudukan perempuan dalam perkawinan; perempuan ditunjuk, dikawin dan diceraikan di luar kemauannya; poligami; dan pendidikan untuk anak perempuan. Berbagai topik tersebut kemudian memunculkan debat dan perbedaan pendapat dari perkumpulan perempuan yang belatar belakang agama. Akan tetapi, berbagai perbedaaan itu tidak kemudian mencegat suatu kenyataan yang diyakini bersama, yaitu perlunya perempuan lebih maju. Beranjak dari permasalahan yang diungkap, Kongres Perempuan pertama memutuskan:
1.Untuk mengirimkan mosi kepada pemerintah kolonial untuk menambah sekolah bagi anak perempuan
2.Pemerintah wajib memberikan surat keterangan pada waktu nikah (undang undang perkawinan) dan segeranya
3.Diadakan peraturan yang memberikan tunjangan pada janda dan anak-anak pegawai negeri Indonesia
4. Memberikan beasiswa bagi siswa perempuan yang memiliki kemampuan belajar tetapi tidak memiliki biaya pendidikan, lembaga itu disebut stuidie fonds
5. Mendirikan suatu lembaga dan mendirikan kursus pemberatasan buta huruf, kursus kesehatan serta mengaktifkan usaha pemberantasan perkawinan kanak-kanak
6. Mendirikan suatu badan yang menjadi wadah pemufakatan dan musyawarah dari berbagai perkumpulan di Indonesia, yaitu Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI).
Perkawinan menjadi subyek penting dalam pembahasan di Kongres perempuan 22 Desember tersebut. Elsbeth Locher Scholten menuliskan bahwa kongres akhirnya menolak adanya ta’lik dan perkawinan melalui penghulu. Keputusan yang lain, kongres mempertanyakan posisi perempuan terutama dalam hukum islam terkait poligami dan dalam pendidikan.
Elsbeth juga menggarisbawahi, pada jaman itu perempuan pribumi terutama di Jawa, masih mengalami penindasan karena relasi gender yang tidak setara. Hal ini diperburuk lagi dengan tradisi Jawa yang berkonspirasi dengan sistem kolonial. Lalu bagaimana mendobrak upaya feodalisme ini? Ternyata gagasan awalnya ialah penolakan terhadap poligami. Dari gagasan inilah kemudian lahir konsep sederajat relasi antara suami dan istri.
Dari tangan para perempuanlah dalam Kongres perempuan pertama 22 Desember 1928 lalu, kita bisa berkumpul hari ini, untuk merayakan lahirnya perjuangan perempuan Indonesia.
Selanjutnya, selamat hari Perempuan Indonesia. Mari bersama-sama para ibu, anak-anak, remaja-remaja, seluruh perempuan, berjuang untuk keadilan bagi perempuan Indonesia.
Referensi:
1.http://historia.id/kolom/hari-perjuangan-ibu
2.Elsbeth Locher Scholten, Women dan Colonial State “Marriage, Morality dan Modernity: The 1937 Debate on Monogamy dalam Jurnal Perempuan 19/2001, Amsterdam University Press, 2000/ terjemahan: Luviana.
3.https://wartafeminis.com/2008/03/04/kongres-perempuan-indonesia-sebuah-gerakan-perempuan-1928-1941-2/
(Foto: http://dzikrisabillah.web.ugm.ac.id)