Anak yang Dipaksa Menjadi Dewasa, Karena Perkawinan

“DR, adalah perempuan
korban perkawinan anak dari Sulawesi Selatan, yang mengalami kekerasan selama
perkawinannya. Bahkan dirinya dipaksa oleh suami untuk melakukan hubungan
suami-istri, dengan menggunakan tentara dan dukun. DR baru bisa bercerai setelah
13 tahun perkawinannya.”

Melly Setyawati- www.Konde.co

Jakarta, Konde.co- Tegakah kita membiarkan anak-anak kita menikah
ketika mereka masih berumur anak-anak? Bagaimana orangtua
mempertanggungjawabkan ini pada anak-anak?

Perkawinan anak sejatinya adalah bentuk kekerasan terhadap anak,
karena menikah di usia anak selain menyebabkan emosi anak yang teranggu,
kehamilan di bawah usia 18 tahun juga bukanlah hal baik bagi rahim anak. Mereka
punya hak akan kesehatan reproduksi. Jika kita paksakan, maka kita akan
melanggar hak reproduksi anak.

Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari Kamis, 13 Desember 2018 lalu,
telah menerima gugatan Judicial Review (JR) terhadap Pasal 7 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang batas usia anak dalam perkawinan,
melalui keputusan dengan gugatan bernomor 22/PUU-XV/2017.

Dalam arti, MK bersepakat bahwa perbedaan usia perkawinan antara
anak perempuan dan anak laki-laki bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM).

Sehingga MK memerintahkan kepada pembuat Undang -Undang  (DPR
dan Pemerintah)  mengubah frasa usia “16 tahun” menjadi usia 18
tahun, sesuai dengan ketentuan usia anak dalam Undang-Undang Nomor 35 tentang
Perlindungan Anak .

Putusan tersebut juga mencantumkan jangka waktu 3 tahun, apabila
tidak terjadi perubahan Undang-Undang maka Pasal 7 Ayat (1) tetap berlaku
kembali seperti semula.

Berdasarkan Data dari Unicef, per tahun 2017, menyatakan Indonesia
menduduki peringkat 7 angka perkawinan anak terbanyak di dunia. Kemudian
berdasarkan  data council of foreign Relation mengungkapkan bahwa
Indonesia berada posisi ke-2 di Negara ASEAN.

Badan Pusat Statistik pada 2016, menyebutkan bahwa 17% anak
Indonesia sudah menikah.

Selain itu Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga
menyebutkan perkawinan anak juga berkontribusi terhadap tingginya angka
kematian bayi di Indonesia. Bahkan Komnas Perempuan juga menyatakan perkawinan
anak juga bisa menyebabkan terganggunya kesehatan reproduksi anak.

Hal inilah yang menyebabkan Perserikatan Bangsa – Bangsa menegur
keras Negara Indonesia sebab dua hal besar yakni Perkawinan Anak dan sunat
perempuan atau lebih dikenal Pemotongan dan
Perlukaan Genitalia Perempuan
(P2GP).

  

Anak Harus Menjadi Dewasa Karena Perkawinan Anak

“Status anak tiba-tiba harus berubah menjadi dewasa karena
perkawinan anak,” tegas Budi Wahyuni, Komisioner Komnas Perempuan, dalam Dialog
Publik Pencegahan Perkawinan Anak pada hari Selasa, 18 Desember 2018, di Le
Meridien Jakarta.

Adapun penyebab terjadinya perkawinan anak memang beragam. Menurut
Retno Listyarti, Komisioner KPAI, mengatakan bahwa kemiskinan dan pendidikan
yang rendah sebagai penyebab terjadinya di kalangan masyarakat kebanyakan.

Meskipun dalam Undang-Undang Perkawinan jelas menyebutkan bahwa
tujuan perkawinan adalah kebahagiaan. Adib Masruhah, Kementerian Agama,
menyebutkan bahwa perkawinan anak sangat sulit memenuhi indikator kebahagiaan,
yakni sejahtera lahir dan batin.

Demikian pula yang diungkapkan oleh KPAI, bahwa wilayah yang
terdapat angka perkawinan anak yang tinggi juga terdapat angka perceraiannya
yang tinggi

Perkawinan anak tinggi karena mitos-mitos yang masih ada di
masyarakat. Di Garut, anak perempuan usia 9 sampai 10 sudah menikah karena
masyarakat masih menganggap perempuan berperan di rumah jadi tidak tidak perlu
sekolah tinggi.

Begitupula di Gunung Kidul dengan masih menguatnya stigma ora
payu rabi
(tidak laku menikah) jika menikah terlambat di atas usia 18
tahun.

Itulah yang menyebabkan terbitnya Peraturan Bupati Gunung Kidul
Nomor 36 Tahun 2015 tentang Pencegahan Perkawinan Usia Anak, dengan
mengutamakan kebijakan dan program yang layak anak. “ini upaya meminimalisir
perkawinan anak” ungkap Badingah, Bupati Gunung Kidul, dalam orasi pembukaan
dalam Dialog Publik, 18 Desember 2018.

Kebijakan bisa menjadi salah satu upaya pencegahan dan antisipasi
masalah perkawinan anak. Saat ini inisiatif pemerintah daerah memang cukup progresif
seperti di Bondowoso, Nias, dan Lombok. Lalu bagaimana dengan pemerintah pusat,
apakah mau berupaya keras melaksanakan putusan MK?

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!