Peluit Tanda Bahaya Kekerasan Seksual

Luviana- www.Konde.co

Jakarta, Konde.o – Peluit berbunyi di akhir pawai akbar yang digelar lebih dari 100 organisasi perempuan, Sabtu 8 Desember 2018 di depan Istana Jakarta.

Bunyi peluit adalah tanda bahwa masyarakat yang bersatu padu mendesakkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Bunyi ini juga merupakan peringatan bagi anggota DPR untuk segera mengesahkannya. Tak ada kata yang lebih baik untuk saat ini selain mengesahkannya.

Banyak perempuan yang bergelut untuk melawan kekerasan seksual setiap harinya, di rumah, di jalan, di tempat kerja dan di berbagai kesempatan. Ini adalah tanda bahwa RUU ini sangat dibutuhkan bagi perempuan di Indonesia.

Namun pengesahan RUU ini terancam gagal karena lambatnya pembahasan sementara masa jabatan anggota DPR periode 2014 – 2019 yang akan segera berakhir.

Berdasarkan catatan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), sejak tahun 2014, Indonesia bisa dikatakan sudah memasuki status darurat kekerasan seksual. Setiap tahun angkanya tidak pernah turun yang ditunjukkan dengan beberapa fakta kekerasan seksual yang mendominasi pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2018, terungkap bahwa kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat 25%: dari 259.150 kasus pada 2016 menjadi 348.446 kasus pada 2017.

Kekerasan seksual menempati peringkat pertama dalam Ranah Publik / Komunitas yaitu sebanyak 2.670 kasus (76%). Di Ranah Privat atau Personal, pelaporan kekerasan seksual sebanyak 31% atau 2.979 kasus.

Banyak dari pelaku adalah orang terdekat korban Inses (pelaku adalah keluarga dekat) merupakan kasus yang paling banyak dilaporkan yakni sebanyak 1.210 kasus (CATAHU Komnas Perempuan 2018). Orang-orang yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan korban seperti ayah kandung, kakek kandung, kakak kandung, paman adalah pelaku kekerasan seksual dalam ranah privat atau personal yang tercatat dalam CATAHU 2018.

Berdasarkan kajian terhadap catatan tahunan Komnas Perempuan 2001-2011 Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bersama jaringan pendamping korban telah mengindentifikasi eksisnya 15 bentuk kekerasan seksual di masyarakat. Hanya 2 bentuk dari 15 bentuk kekerasan seksual tersebut yang telah diatur / dilindungi oleh peraturan perundang-undangan yang ada.

Intinya, hingga hari ini, belum ada payung hukum yang mengatur secara komprehensif mulai bentuk-bentuk kekerasan seksual, upaya pencegahannya , hingga penanganan yang terintegrasi (one stop crisis centre), serta pemulihan korban. Begitupun hukum acara yang bertumpu pada KUHAP masih mendiskualifikasi pengalaman perempuan korban.

Dalam proses hukum dari kasus kekerasan seksual yang berhasil dilaporkan , kecenderungan yang terjadi, perempuan korban mengalami reviktimisasi dan hak-hak korban seringkali diabaikan. Tidak ada ganti rugi dan pemulihan yang diberikan, sementara stigmatisasi terus berjalan yang menimpa korban dan bahkan keluarganya.

Mempertimbangkan situasi di atas terkait kepentingan untuk segera dibahas dan disahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan catatan keprihatinan atas situasi DPR yang berjalan lamban, maka dengan ini Gerakan Masyarakat Sipil untuk Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual melalui koordinator aksinya, Mutiara Ika Pratiwi menyatakan agar DPR RI khususnya Panja Komisi 8 memberi perhatian maksimal terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan dapat segera menuntaskan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bersama pemerintah sehingga RUU Penghapusan Kekerasan Seksual diharapkan bisa disahkan dalam periode ini tanpa mengurangi kualitas substansi.

“Yang kedua, kami mendesak agar Pemerintah merevisi Daftar Inventaris Masalah (DIM) sehingga tidak mengurangi substansi penting dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan sebaliknya dapat menguatkan terobosan hukum di dalamnya, antara lain terkait jenis tindak pidana Kekerasan Seksual, hukum acara, dan terkait hak-hak korban,” kata Mutiara Ika.

Lalu agar dalam setiap pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan, DPR RI dan Pemerintah melibatkan partisipasi masyarakat dan terutama mempertimbangkan suara dan pengalaman para penyintas dan pendamping serta pihak lainnya yang telah bekerja untuk isu kekerasan seksual.

Gerakan Masyarakat untuk Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual terdiri lebih dari 100 organisasi dimana www.konde.co terlibat di dalamnya. Organisasi lainnya antaralain Forum Pengada Layanan (FPL), JKP3, LBH APIK Jakarta, KOWANI, MPI, KePPak Perempuan, Asosiasi LBH APIK Indonesia, Federasi Serikat PEKKA, Yayasan PEKKA, Kalyanamitra, Solidaritas Perempuan, Serikat Sindikasi, Opal Communications, Aliansi Laki-Laki Baru, Perempuan Mahardika, ARI, AJI, API Kartini, Rumah Perempuan, perEMPUan, Indonesia Feminis, Jaringan Gusdurian, JFDG, PAWIN, PAMFLET, LBH Masyarakat, Jurnal Perempuan, Puska Genseks UI, Hollaback! Jakarta, Departemen Kriminologi UI, IPP NU, KOPRI PMII, KOHATI, Fatayat NU, Migrant Care, Andaru Selaras, WONDER/YSI, PKBI, Perempuan Peduli, Never Okay Project, Help Nona, PERUATI, IKa, Ardhanary Institute, KONTRAS, AJAR, Koalisi Perempuan/KPI, Akara Perempuan, Solidaritas Perempuan, Lentera Sintas Indonesia, IPPI, Aliansi Satu Visi, KITASAMA, ELSAM, Arus Pelangi, Yayasan Cahaya Guru, GMKI, Savvy Amira, WRI, SWARA Kapal Perempuan, Rumah KitaB, Institut Perempuan, Bandung Wangi, Yayasan Parinama Astha, Samuha Yoni, GEMPITA, FAHMINA, SEJUK, Kajian Gender UI, ICJR, DROUPADI, LBH APIK Aceh, PUPA Bengkulu, WCC Bengkulu, WCC Palembang, SAPA Institut, Yayasan Nurani Perempuan, Hapsari, SPI Labuan Batu, WCC Jombang, KPR Tuban, WCC Malang, WCC Pasuruan, LBH APIK Bali, LBH APIK NTB, ElSPA Kalteng, Sapa Indonesia, Yayasan Pulih, LBH APIK Banten, LBH Keadilan Banten, WCC Pasundan Durebang, Lensa Sukabumi, GAZIRA Ambon, LAPAN Ambon, SPP Soe, Swapar Manado, LBH APIK Makasar, Yabiku Tatu NTT, RPK Kupang, TrukF, Yayasan Suara Ibu Papua, Daur Mala, ALPEN Kendari, LRC KJHAM, LAMBU INA, SAPER MAGELANG, RIFKA ANNISA, Seperti Pagi Foundation, ANSIPOL, GPSP, Lembaga Pemberdayaan Perempuan, JALA PRT, Biro Hukum Perempuan dan Anak – Negeriku Indonesia Jaya, SBMI, Kabar Bumi, JBM, KSBSI, SPN, FBLP, YAPESDI, www.konde.co, Xpedisi Feminis, Bale Perempuan Bekasi, Institut Ungu, House of the Unsilenced, Perhimpunan IPT65, Flower Aceh, SADA AHMO, PPSW Sumatra, LPPM, APM Jambi, Cahaya Perempuan, STN, PurpleCode Collective, Kapal Perempuan, RAHIMA, SWARA, KUPI, ALIMAT, SGRC, Garteks KSBSI, SPTSK-KSPI, F-SARBUMUSI, KPKB, Yayasan Perlindungan Insani, SDI, Kemitraan

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!