*Abdus Somad- www.Konde.co
Yogyakarta, Konde.co – Awal pekan kemarin, sejumlah organisasi memberikan dukungan pada para mahasiswa pengelola penerbitan Balairung Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Pasalnya pada Senin, 7 Januari 2019 lalu salah satu wartawan pers mahasiswa Balairung, Citra Maudy diperiksa oleh penyidik kepolisian sebagai saksi terkait dugaan tindak pidana pemerkosaan dan pencabulan kepada mahasiswa UGM, Agni yang dilaporkan oleh Arif Nurcahyo, Kepala Satuan Keamanan Kampus Universitas Gadjah Mada (SKK UGM).
Menurut penyidik kepolisian seperti termuat dalam pernyataan sikap dukungan dari organisasi-organisasi, laporan ini berdasar pada berita berjudul Nalar Pincang UGM Atas Kasus Perkosaan yang diterbitkan Badan Penerbitan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung di situs web http://www.balairungpress.com/2018/11/nalar-pincang-ugm-atas-kasus-perkosaan/, sehingga jurnalis BPPM Balairung tersebut dirasa perlu untuk dimintai keterangan.
Namun, pers mahasiswa Balairung serta organisasi seperti LBH Yogyakarta, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, LBH Pers dan 87 organisasi lainnya menilai ada hal yang ganjil disana. Saat Citra diperiksa, penyidik justru banyak mengulik isi berita dan proses reportase/ liputan yang dilakukan.
“Pertanyaan-pertanyaan yang garis besarnya seperti, siapa saja narasumber yang ditemui, di mana menjumpainya, apa yang disampaikan si narasumber hingga pertanyaan aneh: apakah berita ini benar atau hoax, malah dimunculkan oleh penyidik.”
Sudah barang tentu, materi pertanyaan ini tidak selaras dengan unsur-unsur pasal yang digunakan sebagai basis penyidikan, yakni pasal 285 dan pasal 289 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Sementara, penting diketahui, dalam kasus Agni, posisi BPPM Balairung hanya sebagai pewarta yang mencari berita, yang kerjanya terikat dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Dalam pasal 4 ayat 4 UU 40/1999 sudah terang dinyatakan, dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan punya hak tolak.
Tujuan utama hak tolak adalah agar wartawan dapat melindungi sumber-sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hal tersebut dapat digunakan jika wartawan dimintai keterangan oleh pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di pengadilan.
Serupa dengan pasal 4 ayat4, di dalam Pasal 7 KEJ juga sudah memberikan batasan bagi jurnalis, di mana jurnalis punya hak tolak.
Hak tolak adalah hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya. Namun polisi tampaknya abai terhadap ketentuan ini. Kesan hendak mempersoalkan BPPM Balairung makin nampak dari pernyataan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Provinsi DIY, Kombes Hadi Utomo.
Pernyataan ini tentu jauh dari unsur-unsur perbuatan pemerkosaan dan pencabulan yang dilaporkan Arif Nurcahyo. Padahal, laporan tersebutlah yang dijadikan sebagai salah satu dasar pemanggilan Citra Maudy.
Selain itu, bila merujuk pada berita Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan tersebut, frasa perkosaan yang digunakan sudah sesuai dengan definisi yang dirilis oleh Komisi Nasional (Komnas) Perempuan.
Dalam buklet “15 Bentuk Kekerasan Seksual” yang dirilis di laman Komnas Perempuan, perkosaan dapat diidentifikasi dalam bentuk pemaksaan hubung dengan memakai penis ke arah vagina, anus, maupun mulut korban. Bisa juga menggunakan jari tangan atau benda-benda lainnya. Serangan dilakukan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, penahanan, tekanan psikologis, penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang penuh paksaan.
Maka, penggunaan definisi tersebut oleh BPPM Balairung, justru menjadi salah satu langkah untuk mengenalkan perspektif tersebut kepada masyarakat. Bukan menyebarkan berita bohong atau hoax.
Bertolak dari keganjilan itu, sejumlah organisasi kemudian menengarai ada alamat untuk mengkriminalisasi wartawan BPPM Balairung.
Bila memang demikian, UGM betul-betul melakukan kesalahan fatal dengan mencelakakan mahasiswanya sendiri yang telah mengungkap kebenaran lewat kerja jurnalistik. Pun demikian dengan polisi. Bilamana polisi sampai memasalahkan bahkan mengkriminalkan jurnalis BPPM Balairung, karuan saja akan semakin menciderai nilai demokrasi yang tumbuh dan hidup di Indonesia. Perlu digarisbawahi, kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis.
Berangkat dari pembacaan di atas, sejumlah organisasi yang tergabung dalam Aliansi UntukBPPBalairung menyatakan sikap untuk menolak segala upaya pengaburan isu penyelesaian kasus kekerasan seksual di UGM.
Lalu menuntut pihak-pihak berkepentingan untuk menuntaskan kasus Agni, mengecam keras intimidasi dan kriminalisasi terhadap kerja-kerja yang dilakukan jurnalis pers mahasiswa, menolak kriminalisasi terhadap jurnalis BPPM Balairung. Yang terakhir mendesak Rektor UGM untuk melindungi penyintas dan pihak-pihak yang melakukan kerja-kerja pengungkapan kasus kekerasan seksual di UGM.
*Abdus Somad, penulis dan aktivis lingkungan. Koresponden www.Konde.co di Yogyakarta
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)