Film Calalai: In Betweenness, Perjuangan Keberagaman Gender di Indonesia

Setiap tahun pada 25 November- 10 Desember, Indonesia memperingati
16 hari anti kekerasan terhadap perempuan. Ini sebagai bagian dari
kampanye internasional menolak kekerasan terhadap perempuan di seluruh
dunia. 16 hari ini sebagai penanda masih banyak terjadinya kekerasan
yang menimpa perempuan. www.konde.co menjadi bagian dari kampanye
jaringan masyarakat sipil dan Komnas Perempuan #GerakBersama dan 16
FilmFestival. Dalam waktu 16 hari ini, kami akan menuliskan berbagai
persoalan, ide dan perlawanan perempuan terhadap kekerasan. Selamat
membaca.


*Nico Pongmasangka- www.konde.co

Selasa 27 November 2017 adalah pemutaran hari ke-4 dari 16 film panjang dan pendek dalam agenda EnamBelas Film Festival. “Calalai: In Betweenness” karya Kiki Febriyanti dan “Tanah Mama” karya Asrida Elisabeth diputar di Kineforum, Taman Ismail Marzuki, Kawasan Cikini, Jakarta Pusat.

Film “Calalai: In Betweenness,” Menjaga Keberagaman Gender 

Kiki Febriyanti, hadir menemani penonton berdiskusi setelah pemutaran film berakhir. Antusiasme peserta terlihat dari banyaknya komentar dan pertanyaan, peserta menyadari pentingnya eksplorasi lebih dalam lagi mengenai keberagaman gender dalam kebudayaan.

Film dokumenter Calalai in Betweenness berkisah tentang eksistensi perempuan dengan ekspresi gender maskulin di Sulawesi Selatan, dalam kehidupan budaya Bugis di tengah perkembangan dunia yang modern namun didominasi oleh sistem yang biner.

Sejak berabad-abad lalu, masyarakat Bugis telah mengenal adanya keberagaman gender dengan tersiratnya dalam naskah I Lagaligo, yang menyatakan bahwa manusia terdiri dari lima gender dan salah satunya adalah Calalai.

Suku Bugis membagi masyarakat mereka menjadi 5 gender: Makkunrai, Oroané, Bissu, Calabai, dan Calalai. Calalai adalah orang yang terlahir dengan secara biologis adalah betina/female tapi mengambil peran dan ekspresi gender yang tidak feminin.

Pada film tersebut juga dipaparkan bahwa calalai tidak sekedar tentang ciri fisik biologis, tetapi ada orang yang menjadi calalai secara sosial, dimana dia yang terlahir sebagai perempuan tetapi mengambil peran-peran maskulin yang biasanya diidentikkan dengan laki-laki. Secara fisik perempuan akan tetapi memiliki jiwa laki-laki terlihat pada Ibu kepala desa yang ditampilkan pada film ini.

Prof. Dr. Nurhayati Rahman, seorang budayawan sekaligus Guru Besar Filologi dari Universitas Hasanuddin, Makassar ditampilkan dalam film ini sebagai peneliti Lagaligo yang neneknya juga merupakan seorang calalai dan beliau juga menyatakan dirinya sebagai calalai.

Relasi calalai dengan Tuhan terlihat jelas dalam film ini. Bentuk relasi calalai dengan gender yaitu, bissu Temmi pernah menikah dan menjadi bissu pada usia tua, ibu kepala desa juga pernah menikah, begitu juga dengan Prof. Dr. Nurhayati Rahman. Jadi relasi calalai lebih fluid.

Literatur mengenai calalai masih sangat sulit ditemui. Seiring waktu, posisi calalai sebagai bissu (pemimpin ritual dalam agama Bugis tradisional) juga semakin jarang terlihat. Oleh sebab itu, saat ini, tidak banyak orang yang mengetahui tentang keberadaan calalai.

Keberagaman gender sudah ada dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia sejak dahulu lebih beragam dari konsep spectrum gender yang berasal dari konsep barat. Keberagaman gender adalah hal yang terjadi secara alami pada kehidupan manusia bukan karena pengaruh konsep apapun. Peranan masyrakat dan Negara sangat dibutuhkan dalam menjaga keberagaman gender sebagai bentuk kebudayaan Indonesia.

Film “Tanah Mama,” Kisah Hidup Perempuan Papua

Film dokuemnter Tanah Mama berdurasi 62 menit karya Asrida Elisabeth. Ini menceritakan tentang kehidupan Halosina, seorang ibu di Papua yang hidup di perkampungan ladang di lembah pedalaman Yahukimo, sekitar lima jam jalan kaki dari pinggiran kota Wamena. Perempuan yang dipanggil ‘mama’ itu harus berjuang menghidupi diri dan empat anaknya setelah suaminya kawin lagi.

Tanah ladang yang dibukakan oleh sang suami sudah tak subur lagi sehingga tak bisa ditanami. Namun, karena lebih memperhatikan istri keduanya, yang juga memiliki banyak anak, maka Halosina tak bisa mengandalkan suaminya lagi untuk memberinya ladang. Halosina bisa dikatakan tak memiliki akses penghidupan.

Dia hanya bisa menumpang makan kepada keluarga yang memiliki lahan. Perempuan yang tak memiliki lahan, juga tak berhak atas pembagian panen hasil bumi di kampungnya.

Pada situasi himpitan kelaparan anaknya, Halosina terpaksa mencuri ubi di ladang adik iparnya sendiri. Akan tetapi, ikatan kekeluargaan tidak dapat membuat Halosina terbebas dari hukuman. Pemilik ladang dan ketua adat tetap bersikeras bahwa Halosina harus membayar denda seharga satu ekor babi, atau sekitar Rp 500.000,-.

Halosina kabur dari desanya, dan ‘bersembunyi’ di rumah saudaranya di kampung sebelah, karena tidak mempunyai uang sepeser pun untuk membayar denda. Namun, ancaman denda terus mengejarnya, walau ia dengan gigih berupaya menempuh jalan damai dengan membujuk dan meminta maaf ke adik iparnya.

Salah satu adegan film yang juga menggambarkan diskriminasi terhadap Halosina sebagai istri pertama terlihat saat ia berdialog dengan kakaknya. Saat itu, anaknya yang paling kecil sedang menangis, umurnya hampir genap dua tahun, tapi ia belum memiliki nama. “Anak yang paling kecil ini tidak diakui bapaknya. Sehingga sampai sekarang belum memiliki nama, saya panggil dia Anen, yang artinya bukan anak bapaknya,” ucap Halosina.

Selain itu, semua anak dari Halosina tidak sekolah sedangkan anak dari istri kedua semua sekolah.

Pada kehidupan sosial masyarakat papua, laki-laki berperan sentral sebagai kepala keluarga dan membukakan lahan untuk istrinya. Perempuan biasa mengurus ladang, mengurus binatang ternak, juga mengurus anak-anak mereka. Perempuan yang tak dibukakan lahan oleh suaminya berhak mendapatkan makanan yang biasanya disantap bersama-sama satu kampong saat acara bakar batu.

Pada film ini jelas terlihat belum hadirnya dukungan pemerintah dalam memberikan hak kehidupan yang layak dan menciptakan kesetaraan bagi perempuan dan anak.

Ayo Gerak Bersama!

Pembelajaran penting yang dapat diambil dari kedua film yang ditayangkan di Kineforum (28/11), adalah belum hadirnya peranan Negara secara sungguh-sungguh untuk menghormati dan memenuhi hak keberagaman gender dalam budaya kita serta perlindungan hak dalam rangka menciptakan kesetaraan bagi perempuan dan anak. Kita secara bersama harus mendorong Negara dalam menciptakan kesetaraan di Indonesia. #EnamBelasFFest hadir dalam rangka #GerakBerasama untuk mengkampanyekan penghapusan kekerasan berbasis gender dan seksual termasuk kebijakan yang tepat sasaran!

Pemutaran-pemutaran film masih terus berlangsung hingga tanggal 10 Desember 2017, hadiri pemutaran film dalam festival ini karena ini adalah salah satu bentuk kecil dari upaya kita bersama mengkampanyekan penghapusan kekerasan berbasis gender dan seksual.

(Foto: “Calalai: In Betweenness” karya Kiki Febriyanti dan “Tanah Mama” karya Asrida Elisabeth)

*Nico Pongmasangka, Volunteer Penulis #enambelasffest

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!