Poedjiati Tan – www.konde.co,
Malang, Konde.co – Sudah banyak cerita tentang kampung warna ini. Saya mencoba menelisik, geliat apa yang dilakukan para perempuan di kampung warna ini? benarkah para perempuan di kampung warna memberikan kehidupan yang marak pada lingkungan sekitarnya? Ikuti saya.
Kampung warna Jodipan menjadi salah satu tujuan wisata baru yang menarik untuk dikunjungi bila ke kota Malang-Jawa Timur. Bila hari Sabtu – Minggu atau hari libur, tempat ini pasti ramai dikunjungi para wisatawan lokal ataupun anak muda yang ingin berfoto atau selfi di kampung warna. Menurut informasi pengunjung yang datang ketika akhir pekan dan hari libur bisa mencapai 300 orang pengunjung.
Sebelum memasuki kampung Jodipan, kita bisa berfoto terlebih dahulu di atas jembatan dengan latar belakang Kampung warna. Ada beberapa pintu masuk menuju kampung warna. Di dalam kampung warna banyak spot yang cantik untuk foto. Ketika saya mengunjungi kampung tersebut, banyak sekali anak muda yang sedang datang dan berfoto-foto. Bila ingin berfoto di salah satu spot, kita harus sabar menunggu bergantian dengan yang lain.
Beruntung waktu itu saya datang ditemani salah seorang sahabat yang kebetulan saudaranya tinggal di kampung Jodipan dan termasuk salah satu sesepuh di kampung tersebut. Kamipun mengunjungi beliau sebelum berliling kampung.
Kiprah Perempuan di Kampung Warna
Bu Sri begitu biasa dipanggil. Bu Sri tinggal di kampung Jodipan sejak tahun 1961. Ketika pertama kali kampung ini hendak di cat yaitu pada bulan Juni 2016, semua warga kampung yang terdiri dari 3 RT diajak rapat. Menurut Bu Sri, kampung warna atau yang dikenal dengan nama kampung Juanda ini dulunya sangat kotor dan kumuh. Orang sering buang sampah di kali dan jorok, sehingga kalinya menjadi kotor dan kadang kalau hujan deras, airnya meluap masuk ke rumah-rumah warga.
Kampung warna Jodipan tidak saja mewarnai bangunan rumah-rumah di sana, namun juga memberikan warna kehidupan yang baru bagi 105 kepala keluarga.
Secara ekonomi, objek wisata kampung warna ini memberikan pemasukan bagi warganya. Pemasukan dari parkir dan tiket masuk yang digunakan untuk mengelola sampah, kebersihan kampung dan gaji petugas piket parkir serta loket tiket. Yang bertugaspun bergantian, sehingga semua orang mendapatkan pembagian hasil tersbut.
Untuk perawatan mengecat kembali kampung warna, warga Jodipan mendapatkan potongan harga cat dengan membawa surat dari RT dan RW setempat. Mereka mengatakan untuk mengecat kampung warna ini menghabiskan kurang lebih 2 ton cat.
Bagaimana dengan para perempuan di kampung warna? Apa dampak dari situasi dibuatnya objek wisata untuk kampung mereka? Ibu-ibu yang saya tanyai mengatakan senang kampungnya menjadi bersih.
Beberapa orang juga bisa berjualan makanan dan minuman untuk pengunjung kampung warna, sehingga bisa mendapatkan pemasukan bagi mereka. Dampak lainnya adalah kampungnya menjadi terlalu ramai, sehingga jam istirahat mereka nenjadi terganggu. Selain itu mereka juga harus menjaga keamanan rumah mereka dari para pencuri yang menyamar menjadi pengunjung.
Mungkin yang perlu dikembangkan adalah memberikan pelatihan wira usaha buat penduduk kampung di sana, sehingga mereka bisa membuat wira usaha yang berkelanjutan. Misalnya mereka dilatih untuk pembuatan souvenir kampung warna, dan menjualnya, serta mendirikan koperasi buat mereka sehingga dapat meningkatkan perekonomian warga setempat. Melatih warga untuk mengelola dan mengembangkan obyek wisata secara profesional dan mandiri. Dan akhirnya kampung warna bisa benar-benar mewarnai kehidupan dan perekonomian warga.
(Suasana Kampung Warna Jodipan di Malang, Jawa Timur/ Foto: Poedjiati Tan)