*Alea Peatiwi- www.Konde.co
Entah kenapa, selalu ada permbicaraan tentang sahabat sejati. Pertanyaan dimulai ketika kita mulai berpikir dan menanyakan “siapa sahabat sejati?.”
Perbincangan seperti ini juga menarik di banyak kelompok perempuan kami. Kami melontarkannya di rumah, di café, di kampus-kampus kami dulu. Apalagi di reuni-reuni sekolah yang sering kami bikin.
Simpel saja, buat saya sahabat sejati adalah orang yang ketika ada ketika saya susah, jatuh, tidak tahu harus kemana. Sahabat seperti ini biasanya akan datang, sekonyong-konyong tanpa diminta. Ia datang menawarkan bantuan. Benar-benar ini yang namanya ketulusan hati. Begitu selalu yang ada dalam pikiran saya.
Kawan perempuan saya yang lain berpikir tak jauh beda. Ia bilang, sahabat sejati adalah sahabat yang datang waktu ia susah, waktu ia butuh dibantu.
Lalu pernyataan selanjutnya adalah: sungguh kasian para sahabat ini, mereka adalah orang yang kita posisikan sebagai orang baik yang selalu datang ketika kita susah.
Tapi apakah kita pernah merawat persahabatan ini? Pernah kita memperlakukan hal yang sama pada dia? Jangan-jangan kita hanya bertemu ketika kita susah dan membutuhkan sesuatu.
Dimanakah waktu kita senang? Apakah kita juga mengingatnya?
Hampir 50 persen sahabat-sahabat perempuan saya ini mengatakan bahwa ternyata sahabat sejati mereka adalah ibunya. Ibu adalah orang yang tak pernah capek ketika kita minta tolong.
Waktu itu Rita, salah satu sahabat saya habis melahirkan. Yang dia lakukan pertamakali adalah: ia mau melahirkan di kota tempat ia berasal. Karena apa? Karena ia ingin dekat dengan ibunya. Waktu anak pertamanya rewel, ia bisa minta tolong ibunya, waktu ia capek luar biasa karena menjaga anak seharian, yang dimintain tolong untuk berjaga adalah ibunya.
“Ibu adalah perempuan luar biasa yang ternyata ada di sekeliling kita, termasuk kalian loh…,” Kata Rita.
Teman saya yang lain juga merasakan hal yang sama. Dengan temannya, ia bisa merasakan sungkan ketika meminta tolong, tetapi dengan ibunya ia bisa meminta tolong apa saja, kapan saja.
“Ternyata emakku itu orang yang paling bisa kuharapkan dalam hidupku,” Kata Sania.
Lalu kami mulai menghitung, apakah selama ini kami sudah menyediakan waktu untuk sahabat kami? Untuk ibu kami?
Intinya, perbincangan seperti ini selalu mengingatkan kami pada makna persahabatan diantara kami. Dan ibu, perempuan ini selalu berada di tempat paling spesial bagi kami. Ibu adalah perempuan yang selalu menyediakan waktu untuk kami, ibulah yang mengajari kami bagaimana memaknai persahabatan di dunia kami. Mungkin ini yang sering kita namakan sisterhood.
Maggie Humm dalam ensiklopedia feminism pernah menulis, sisterhood ini kadang-kadang disebut juga sorority (perkumpulan) perempuan yang mencakup gagasan dan pengalaman ikatan perempuan, penguatan diri yang berpusat pada perempuan dan pengalaman perempuan. Ada juga yang menyebut sebagai tempat pertemuan sejarah pribadi para perenpuan.
Bell Hooks dan para feminis kulit hitam menyatakan bahwa perkumpulan seperti ini mempunyai fungsi untuk menghapus perbedaan. Pertemuan ini tentu tak hanya berfungsi untuk berbicara, bertukar gagasan tentang perempuan, namun untuk perjuangan menghapus diskriminasi untuk perempuan.
(foto/ Ilustrasi: Pixabay)
*Alea Pratiwi, Blogger