Seorang laki-laki tiba-tiba bicara di tengah persiapan pelatihan aksi bencana yang kami selenggarakan.
“Perempuannya nggak usah banyak-banyak yang dilibatin mbak, kan nanti laki-laki yang urus kalau terjadi bencana.”
Ini merupakan celetukan seorang laki-laki, saat kami sedang diskusi persiapan pelatihan aksi antisipasi kekeringan bagi pemerintah, mitra, dan aktor lokal di desa.
Laki-laki ini bukan orang awam dalam urusan bencana. Sependek pengetahuan saya berdasarkan informasi dari tim kerja yang sudah lama menggeluti isu kebencanaan, laki-laki ini sebelumnya pernah menjadi anggota forum pengurangan risiko bencana.
Respon spontannya benar-benar mengusik hati saya. Ternyata untuk sekadar mendapatkan informasi, masih saja susah bagi perempuan di desa. Untuk terlibat dalam peningkatan pengetahuan dan kapasitasnya soal kebencanaan, ternyata masih sulit. Masih ada beragam tembok yang menghalang. Tembok prasangka bahwa hal-hal terkait kebencanaan bukanlah urusan perempuan.
Tentu, saya tidak bisa serta merta menyalahkan bapak ini, bermodalkan satu celetukannya. Juga, tentu saja, saya tidak menggeneralisir bahwa begitulah laki-laki, tidak adil bagi laki-laki lain yang peduli. Pimpinan saya laki-laki dan dia peduli, bahkan paling sering mengingatkan jangan melupakan kelompok rentan.
Baca Juga: Dilecehkan Sampai Sulit Dapat Pembalut: Ini Yang Dialami Perempuan di Lokasi Bencana
Barangkali begitulah referensi yang dia temukan selama bertahun-tahun terlibat dalam urusan kebencanaan, sehingga terekam di alam bawah sadarnya demikian. Bisa jadi juga, saat dirinya mengikuti pertemuan baik di tingkat provinsi hingga ke level desa, aktor kunci yang dia temukan adalah laki-laki; narasumbernya laki-laki, fasilitatornya laki-laki, eksekutornya pun laki-laki, bisa jadi demikian.
Atau, bisa jadi juga karena aktor-aktor kunci perempuan terlalu dipojokkan untuk berada di ruang isu perempuan dan anak. Sibuk mengurus urusan domestik karena laki-laki tak mau mengurusnya.
Bisa jadi pula, memang sulit bagi perempuan untuk masuk ke dalam circle itu karena tidak diberikan tempat. Lalu menjadi minder untuk mengungkapkan pendapat karena tidak pernah dilibatkan dalam urusan publik
Saat laki-laki tadi nyeletuk seperti itu, saya sempat terdiam sejenak untuk memproses di kepala, menanyakan diri sendiri, kata-kata seperti apa yang pas untuk saya respon. Saya merasa seperti terjebak dalam dejavu berulang kali, seperti berada dalam pertarungan yang serupa selama puluhan tahun, juga seperti mengikuti lomba lari, mau meraih finish, tapi terjebak di garis start terus-menerus.
Sebagai orang yang juga masih belajar soal isu kebencanaan, untuk mencoba mengetahuinya lebih dalam, salah satu jalan ninja tercepat yang bisa saya lakukan adalah ngobrol dengan ahlinya langsung, guru kebencanaan saya menyebutnya.
Voala! fakta menarik yang saya dapat adalah lebih dari 96 persen yang menyelamatkan masyarakat dari bencana adalah diri sendiri, keluarga, tetangga, dan masyarakat sekitar, baru pihak-pihak lainnya. Dan dari 96% ini banyak perempuan yang sudah terlibat dalam urusan kebencanaan.
Baca Juga: ‘Bedol Desa’ di Pantura Akibat Perubahan Iklim, Warga Butuh Kebijakan Perlindungan
Saya menggarisbawahi kata “diri sendiri”, ternyata diri sendirilah yang bisa menjadi juruselamat paling pertama dan utama saat terjadi bencana, baru kemudian pihak-pihak yang lain.
Hal ini bagi saya memiliki dua makna; pertama, artinya ketika perempuan terus menerus dalam situasi dianggap tidak tepat terlibat. Maka, sudah bisa dipastikan mereka akan menjadi yang paling rentan dalam setiap bencana yang menghampiri, apapun bentuknya, tidak hanya kekeringan. Perempuan tak akan mendapatkan haknya seperti kesehatan reproduksinya, pembalut yang minim, akses kamar mandi bersih ketika haid, menyusui.
Di luar itu, para aktivis perempuan yang mengurus kebencanaan, ikut mencegah dan mengurus kekerasan seksual dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang selama ini sering terjadi dalam situasi bencana.
Kedua, maknanya adalah ketika perempuan secara individu maupun kelembagaan terlibat dan memiliki kapasitas. Maka, tingkat ketahanan atau resiliensi merekapun akan meningkat. Upaya penguatan kapasitas akan meminimalkan risiko bencana akibat ancaman yang dihadapi.
Jika ditelusuri konteks kebijakannya, ternyata sudah ada Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pengarusutamaan Gender di Bidang Penanggulangan Bencana.
Kebijakan ini menjadi perangkat penting mengintegrasikan pendekatan gender di bidang penanggulangan bencana, amanah peraturan ini bahwa penguatan kapasitas kelompok perempuan mutlak dilakukan. Sekali lagi saya ulangi mutlak dilakukan.
Baca Juga: Perempuan Rentan Alami Kekerasan Berbasis Gender Saat Darurat Bencana
Dalam prinsip-prinsip pengembangan Desa Tangguh Bencana (DESTANA) pun terpaparkan bahwa pentingnya keadilan dan kesetaraan gender, inklusif, dilakukan secara partisipatoris, berpihak kepada kelompok rentan, berlandaskan kemanusiaan. Juga, pentingnya membangun persepsi bersama bahwa bencana adalah urusan bersama; laki-laki dan perempuan, anak-anak dan lansia, disabilitas, masyarakat adat dan semuanya tanpa terkecuali. No one left behind, tak ada satupun yang boleh tertinggal.
Aturannya sudah mantap, prinsipnya sudah top markotop, tapi realitasnya masih membutuhkan perjalanan yang panjang bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam kebencanaan. Maka, upaya pengarusutamaan gender dalam kebencanaan dengan melibatkan multi aktor dan sektor perlu untuk terus diikhtiarkan. Dan inilah saatnya.
BMKG memprediksi bahwa musim kemarau tahun 2023 akan tiba lebih awal dibandingkan tahun sebelumnya, dan akan lebih kering dari biasanya. Puncaknya hingga September, bahkan diprediksi bisa lebih dari itu.
Hal ini dipertegas Kembali oleh ketua BMKG, ibu Dwikorita melalui konferensi pers yang dilaksanakan di Istana Negara. Ia menyatakan, ancaman El-Nino dikhawatirkan akan berdampak pada ketersediaan air yang akan mengganggu ketahanan pangan, sumber penghidupan, hingga kesehatan.
Hal ini menjadi dasar instansi dan lembaga terkait untuk bergerak, baik pemerintah maupun non pemerintah untuk melakukan tindakan antisipasi.
Salah satunya aksi antisipasi kekeringan. Dan saya terlibat menjadi field facilitator, dalam upaya melakukan aksi antisipasi kekeringan di Kabupaten Lombok Barat, NTB.