“Dengan body yang seperti ini, sudah mantap kamu. Jangan sering kegiatan diluar, kulitmu nanti jadi hitam. Kalau kamu putihkan sedikit wajahmu, nanti kamu aku ajak makan di luar.”
VR- www.Konde.co
Mendengar ini, aku langsung geram. Rasanya aku ingin cepat sekali melayangkan sebuah pukulan di depannya. Tapi aku bisa apa?
Tepat beberapa hari setelah adanya pelecehan kasus seorang dosen di sebuah universitas di Semarang mencuat, akupun merasakannya.
Siang itu, aku menemui seorang pejabat di kampusku dimana aku belajar. Aku mau masuk ke ruangannya untuk meminta tanda tangan surat perizinan untuk tidak mengikuti perkuliahan karena akan mengikuti kegiatan diluar. Aku rasa tidak ada yang salah, akupun berbicara secara sopan.
Aku mengenakan baju batik dengan celana kain dan kerudung hitam serta membawa tas gendong yang kusematkan dipunggungku. Menurutku itu sudah sangat sopan untuk bertemu seorang pejabat kampus yang mengurusi mahasiswa.
Hari itu aku masuk ke ruangan seorang pejabat kampus itu setelah dua hari sebelumnya seseorang memberi tahu bahwa sang pejabat suka sekali melecehkan mahasiswanya. Aku geram mendengar cerita ini, namun berharap bahwa itu tidak terjadi padaku. Dan ternyata aku salah.
Aku duduk berhadapan dengannya dan beliau bertanya ini dan itu semua hal, termasuk menanyakan apakah aku sudah mengikuti beasiswa atau belum, yang kujawab dengan sebuah cerita mengapa aku susah mendapatkan beasiswa.
Tepat setelah itu, ia membahas mengapa aku mengikuti acara tersebut, dimana aku harus meminta izin kampus untuk melakukannya.
“Kamu kenapa mengikuti kegiatan itu? dikurangi saja kegiatan yang seperti itu. Lihat tuh, kamu jadi hitam begitu padahal kamu manis lho”
Aku hanya bisa mengangguk dan memberi jawaban, “Iya, pak”.
Padahal dalam hati aku berteriak kalau aku sedang dilecehkan. Rasanya seperti kamu harus menginjak sesuatu yang kotor di jalan, dan kini aku sedang menginjaknya.
“Lha iya.. kamu udah bodynya segini aja, udah mantap. Jangan sering kegiatan diluar, kulitmu nanti jadi hitam. Putihkan sedikit, nanti aku ajak kamu makan di luar.”
Kira-kira seperti itu yang dikatakannya. Ini adalah pelecehan yang hampir sama yang diterima temanku sebelumnya. Pelecehan yang mungkin aku ingat betapa membuat aku merasa insecure dan malu pada diriku sendiri dan merasa jijik pada si pelaku. Kata-kata itu selalu menempel kuat di pikiranku tanpa pernah aku membukanya bahkan ada teman dekatku.
Aku marah, aku kesal, tapi aku tidak tahu harus berbuat apa saat itu. Satu hal yang aku lakukan hanya mengumpat dalam hati dan berharap aku diizinkan untuk segera pergi.
Tapi tidak ada kalimat yang keluar, aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk, tersenyum dan mengiyakan dengan hati yang sangat geram karena marah.
Aku masih dikungkung relasi kuasa. Seringkali, aku selalu mendukung perempuan untuk mau berbicara, untuk mau berjuang dan melawan setiap tindakan seperti yang aku alami di atas, tapi aku kemudian menyadari bahwa hal itu sangat susah, terlebih aku sadar bahwa ada beberapa lingkungan di sekitarku yang menormalisasikan yang terjadi padaku.
Di sisi lain, ketakutan untuk berbicara itu sangat susah jika menyangkut apa yang aku butuhkan dari yang punya kuasa di kampus walaupun pada akhirnya melecehkanku.
Aku bungkam. Tidak memberi tahu siapapun. Sempat merasa takut bahwa ternyata aku sedikit naif dan pengecut karena aku tidak pernah mau membuka ini padahal aku tahu diluar sana banyak perempuan yang sama menderitanya dengan apa yang aku alami dan merasa sakit berhari-hari.
Tapi pada akhirnya, malam ini aku memberikan perlawanan pada diriku, bahwa ini tidak benar dan harus aku lawan.
Perlawanan ini aku tulis sebagai bentuk perlawananku atas pelecehanku dan dukungan kepada sesama perempuan untuk mau bersuara atas hal yang pernah menimpa mereka. Bahwa aku ingin mengatakan kepada kalian kalau kalian tidak sendiri.
Institusi pendidikan seharusnya menjadi ruang aman untuk mencari ilmu. Jangan sampai institusi pendidikan menjadi salah satu alat untuk melanggengkan kekerasan seksual apalagi menjadikan peserta didik sebagai objek kekerasan seksual dan setelahnya berlindung di balik kuasa sebagai tameng. Ini berlaku untuk semua warga institusi tidak hanya untuk mereka yang duduk di kursi putar, ini juga untuk kalian yang duduk dikursi-meja belajar. Tolong, jangan perbanyak lagi aku-aku yang lain.
Untuk para kalian yang membaca ini dan mengalami hal yang sama, aku berpesan jangan pernah merasa sendiri. Jangan pernah takut untu memberikan perlawanan walaupun kecil bentuknya.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
VR, mahasiswa salah satu universitas di Jawa Tengah