*Aprelia Amanda- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co- Siapa yang paling efektif diajak untuk mengatasi persoalan perkawinan anak di Indonesia? Jawabannya adalah anak muda.
Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mengajak anak-anak muda di 21 provinsi di Indonesia untuk melakukan kampanye stop perkawinan anak di Indonesia. Gerakan untuk stop perkawinan anak ini dilakukan karena banyaknya jumlah perkawinan anak di Indonesia. Padahal pada usia anak, mereka masih memiliki banyak pilihan kegiatan yang bermanfaat dan menunjang masa depan. Inilah yang dilakukan KPI pada konferensi pers 23 Juli 2019 kemarin di Jakarta.
Data di tahun 2017 menunjukkan jumlah pernikahan anak di Kalimantan Selatan sebesar 21.53%, Jawa Timur 18,44%, dan Jawa Barat 17,28%. Sedangkan pada 2018 jumlah pernikahan di Kalimantan Selatan menjadi 22,77%, Jawa Barat 20,93%, dan Jawa Timur 20,73%. Jumlah ini sangat memprihatinkan karena perkawinan anak pada akhirnya akan merenggut hak-hak anak-anak. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik atau BPS di tahun 2018 terjadi peningkatan jumlah perkawinan anak di beberapa provinsi.
KPI kemudian ikut mendorong agar pemerintah menerbitkan peraturan untuk menaikan batas usia menikah anak perempuan yang sebelumnya 16 tahun menjadi 19 tahun.
Ambang Batas Usia Anak yang Bermasalah
Masih tingginya tingkat perkawinan anak seperti dipaparkan Deputi 1 Sekjend Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Sutriyatmi selain didorong oleh faktor ekonomi dan sosial, juga ditengarai karena adanya tumpang tindih peraturan yang terdapat dalam UU Perlindungan Anak dan UU Perkawinan.
Dalam UU Perlindungan Anak, yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan dalam UU Perkawinan pasal 7 ayat 1, disebutkan bahwa perkawinan diizinkan jika pihak laki-laki sudah mencapai usia 19 tahun dan perempuan 16 tahun.
Ambang batas usia menikah pada anak perempuan inilah yang menjadi masalah. Batas usia 16 tahun masih masuk dalam kategori anak sehingga UU Perkawinan yang ada saat ini belum mampu melindungi anak perempuan dari perkawinan anak. Oleh karena itu setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian judicial review UU Perkawinan, KPI bersama jejaringnya melakukan beberapa upaya tindak lanjut.
KPI bersama Koalisi 18+, Universitas Gajah Mada, telah menyampaikan usulan perubahan terbatas Undang Undang UU Perkawinan dan Naskah Akademik kepada Badan Legislasi DPR RI pada 25 Juni 2019. Selain itu KPI dan jejaring kerja juga melakukan lobby kepada pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak KPPPA dan Kementrian Agama untuk mendorong perubahan pada UU Perkawinan. Mereka mendorong agar batas usia menikah pada anak perempuan dinaikan menjadi 19 tahun, sama dengan batas usia menikah pada laki-laki.
“Dengan menaikkan ambang batas usia perkawinan bukan berarti dapat sepenuhnya menghentikan laju pernikahan anak. Efektifitas dari penegakan aturan ini juga harus diperkuat salah satunya dengan memperketat pemberian surat izin dispensasi perkawinan anak oleh Pengadilan Agama. Laporan tahunan Mahkamah Agung menyebutkan sepanjang tahun 2018, Pengadilan Agama di berbagai daerah menerbitkan surat dispensasi kawin sebanyak 13.215 putusan,” ujar Sutriyatmi.
KPI sudah berdiskusi dengan Mahkamah Agung mengenai masalah ini. Saat ini Mahkamah Agung sedang menyusun draf Rancangan Peraturan Mahkamah Agung (Raperma) tentang Pembatasan Dispensasi Perkawinan. KPI mengusulkan agar memperketat persyaratan dalam mengajukan dispensasi perkawinan sebab surat dispensasi dinilai masih terlalu mudah diberikan.
Di lingkup yang lebih kecil KPI kemudian juga ikut mendorong adanya kebijakan publik di tingkat desa yang mengatur pendewasaan usia perkawinan.
Saat ini sudah ada 15 surat edaran kepada kepala desa dari lima kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Barat yang disebarkan oleh KPI. Surat ini cukup efektif dalam melakukan pencegahan maupun penanganan jika ada kasus terjadi. Harapannya, upaya ini dapat melahirkan sebuah peraturan desa (perdes) mengenai pendewasaan usia perkawinan.
Kampanye Anak Muda
Maka KPI melihat, sangat efektif mengikutsertakan anak-anak muda. Anak muda dinilai akan lebih efektif dalam merangkul anak muda lainnya untuk menyampaikan dampak buruk dan kerugian-kerugian yang akan dialami jika melakukan pernikahan pada usia anak.
KPI mulai mendampingi anak muda di berbagai wilayah dengan membentuk kelompok Pelajar, Pemuda, dan Mahasiswa (PPM). Dalam pembinaan KPI, PPM melakukan berbagai kegiatan untuk mensosialisasikan masalah perkawinan anak. Hasilnya menggembirakan, mereka berhasil membuat pemerintah desa menerbitkan surat edaran pencegahan perkawinan anak. Mereka juga mulai dilibatkan dalam Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrembang).
“Hal lainnya mendorong pemerintah dan DPR RI untuk segera mengesahkan perubahan terbatas UU Perkawinan khususnya pasal 7 dengan menaikan batas minimal usia perkawinan pada anak perempuan dan memperketat mekanisme dispensasi nikah yag dilakukan sebelum batas minimum.”
Ketiga, mengajak seluruh anak muda atau remaja Indonesia untuk membangun cita-cita, menjalani pendidikan, menikmati masa perkembangan remaja, dan mengisinya dengan kegiatan seperti bermain musik, kegiatan seni, olah raga, mengembangkan bisnis, dsb.
Keempat, meminta pemerintah untuk membuka peluang lebih besar dan menyediakan sarana-prasarana yang dibutuhkan anak muda dalam pendidikan, mengembangkan potensi dan kreatifitas di seluruh Indonesia terutama di daerah pedesaan, terpencil, pulau-pulau terluar dan daerah perbatasan.
*Aprelia Amanda, biasa dipanggil Manda. Menyelesaikan studi Ilmu Politik di IISIP Jakarta tahun 2019. Pernah aktif menjadi penulis di Majalah Anak (Malfora) dan kabarburuh.com. Suka membaca dan minum kopi, Manda kini menjadi penulis dan pengelola www.Konde.co