Benarkah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Akan Dihapuskan?

*Aprelia Amanda- www.Konde.co

Jakarta, Konde.co- Mengapa setiap pergantian presiden selalu ada isu untuk menghapus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak?. Isu ini sepertinya selalu dihembuskan setiap 5 tahun ketika presiden yang baru akan membentuk kabinetnya.

Para aktivis perempuan merasa hal ini merupakan tanda bahwa negara masih memandang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) sebagai kementerian yang kurang penting. Padahal KPPPA menaungi seluruh perempuan di Indonesia yang artinya setengah dari penduduk Indonesia Itu sendiri.

Rencana perubahan nama KPPPA menjadi Kementrian Ketahanan Keluarga yang diusulkan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise, dianggap sebagai bentuk mendomestikasikan perempuan kembali. Perubahan nama ini adalah tanda bahwa KPPPA tidak memahami sejarah berdirinya KPPPA sebagai amanat deklarasi internasional anti diskriminasi terhadap perempuan atau CEDAW yang sudah kita ratifikasi sejak tahun 1983 lalu.

Pada 5 September 2019 kemarin, Gerakan Perempuan Peduli Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang terdiri dari beberapa organisasi perempuan beserta Komnas Perempuan mengadakan konferensi pers untuk membahas masa depan KPPPA.

Salah satunya, gerakan perempuan Peduli KPPPA berencana memberi usulan kepada presiden tentang kriteria yang harus dipenuhi calon menteri pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Penentuan menteri sangat krusial karena dibutuhkan seseorang yang benar-benar mengerti tentang masalah perempuan, memahami sejarah perjuangan terbentuknya KPPPA termasuk instrumen Convention on The Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW).

Dalam konferensi pers ini hadir sejumlah aktivis perempuan Ani Soetjipto, Zumrotin K. Susilo, dan Musdah Mulia. Ketiganya menyoroti isu pergantian nama KPPPA menjadi Kementerian Ketahanan Keluarga. Pergantin nama menjadi Kementerian Ketahanan Keluarga dikhawatirkan akan mengembalikan perempuan ke ruang domestik dan membiarkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dengan alasan ketahanan keluarga.

Menurut Zumrotin definisi keluarga sendiri masih belum clear.

“Definisi keluarga yang ada saat ini, keluarga terdiri dari bapak, ibu, dan anak. Dia tidak mempertimbangan perkembangan zaman. Dia tidak melihat berapa banyak perempuan yang menjadi kepala keluarga”.

Pendefinisian yang tidak melek dengan realitas sosial mengakibatkan perempuan single parent terutama yang miskin, tidak mendapatkan akses ke program pemerintah karena tidak memenuhi definisi sebagai keluarga.

Ani Soetjipto melihat Indonesia saat ini sedang menghadapi konservatisme agama yang menyasar perempuan disamping masalah-masalah perempuan yang belum rampung. Menguatnya konservatisme agama turut masuk ke dalam institusi-institusi pemerintahan sehingga melahirkan kebijakan yang mendiskriminasi perempuan.

Penelitian yang dilakukan Musdah Mulia senada dengan yang diungkapkan Ani Soetjipto. Beberapa tahun belakangan ini muncul banyak Peraturan (Perda) konservatif yang bertujuan untuk mengontrol tubuh perempuan. Alasan agama selalu digunakan sebagai landasan peraturan-peraturan yang mendiskriminasi perempuan.

Ketiga pembicara sepakat bahwa pengarusutamaan gender harus naik level menjadi intersection. Sebab masalah perempuan tidak tunggal tapi menyebar di isu-isu lainnya. Sangal penting melihat masalah perempuan secara intersection agar perempuan tidak tertinggal.

“National missionaries harus bersinergi dengan lembaga-lembaga lain di segala tingkat untuk mengintervensi peraturan yang berimbas pada perempuan. Oleh sebab itu menteri yang baru haruslah orang yang berani bertarung untuk memperjuangkan pemberdayaan perempuan.”

Rencananya Gerakan Perempuan Peduli KPPPA akan bertemu presiden sebelum Oktober 2019 mendatang. Pertemuan ini akan membahasas usulan kriteria menteri pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak untuk periode kedepan.

Gerakan Perempuan Peduli KPPPA juga mendorong presiden agar memberikan mandat yang jelas kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai kementerian yang penting. Mandat dari presiden diperlukan agar tidak muncul isu penghapusan KPPPA setiap pergantian presiden. Perlu ada penegasan bahwa KPPPA adalah ujung tombak dari perjuangan dan pemberdayaan perempuan Indonesia.

“Memang masa depan generasi mendatang ada di tangan perempuan, tapi perempuan yang bangaimana dan kualitas perempuan yang seperti apa yang akan memajukan generasi mendatang. Itu masalah yang harus kita pikirkan,” ujar Musdah Mulia.

*Aprelia Amanda, biasa dipanggil Manda. Menyelesaikan studi Ilmu Politik di IISIP Jakarta tahun 2019. Pernah aktif menjadi penulis di Majalah Anak (Malfora) dan kabarburuh.com. Suka membaca dan minum kopi, Manda kini menjadi penulis dan pengelola www.Konde.co

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!