*Aprelia Amanda- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co- Sejumlah rencana peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Kota Depok dinilai rawan, karena tidak terkonsentrasi pada konsep keberagaman, berpotensi mendiskriminasi perempuan dan mengatur tubuh perempuan.
Salah satunya adalah Rencana Peraturan Daerah (Perda) Syariah oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Depok. Rencana ini kini sudah ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Depok DPRD.
Setelah masalah Perda Syariah yang ramai ditolak masyarakat dan DPRD, Pemkot Depok merencanakan pemisahan tempat parkir antara laki-laki dan perempuan yang menarik perhatian banyak orang. Rencana ini menuai penolakan dari beragam kelompok masyarakat.
Pemerintah Kota Depok memang sering mengeluarkan peraturan-peraturan yang kontroversial termasuk peraturan yang dinilai berpotensi mendiskriminasi kelompok tertentu.
Reporter www.Konde.co, Aprelia Amanda mewawancarai anggota DPRD Depok 2014-2019, Sahat Farida Berlian yang getol memperjuangkan keberagaman di Kota Depok. Dalam wawancara ini, Sahat Farida berbagi cerita tentang maraknya intoleransi khususnya di Kota Depok. Berikut hasil wawancara www.Konde.co dengan Sahat Farida Berlian yang dilakukan pada 24 Agustus 2019 lalu:
Seberapa genting masalah intoleransi di Kota Depok?
Bukan hanya di Depok tapi di seluruh Indonesia. Toleransi baru sekedar kata-kata. Mungkin banyak kejadian intoleransi di luar Depok ya, tapi ini kemudian berimbas kepada Depok yang merupakan salah satu kota yang ada di pinggir ibu kota Jakarta.
Apa indikatornya bahwa ini merupakan problem serius?
Indikator mengapa ini menjadi problem, karena muncul kekhawatiran dan sensitivitas yang terbangun akibat keringnya toleransi. Bisa dibuktikan dengan hajatan politik kemarin. Artinya kita perlu lagi menumbuhkan toleransi seluas-luasnya, bahwasanya negara Indonesia saling menghormati berdasarkan amanat konstitusi. Tidak mendiskriminasi orang atas suku, agama, dan orientasi seksualnya.
Pemerintah Kota Depok sempat mengusulkan Peraturan Daerah (Perda) Syariah, bagaimana sikap yang diambil DPRD?
DPRD sudah menolaknya. Memaknai soal religiusitas itu sendiri kita harus duduk bersama, sedangkan ini kita tidak duduk bersama. Kelompok agama tertentu sebagai mayoritas juga harus difasilitasi agar bisa menjaga toleransi itu sendiri. Duduk bersama untuk membicarakan konsep religiusitas seperti apa yang mau dibangun, bukan pemerintah kota yang mengatur kehidupan beragama sampai mengatur tata cara berpakaian. Ini kan jadi persoalan, kenapa sih harus takut dengan tata cara berpakaian? Perda ini langsung kami tolak karena bertentangan dengan filosofi yang kami pandang dan tidak ada cantolan hukum yang lebih tinggi. Harusnya lebih progres dong jika akan mengajukan Perda.
Apa yang dilakukan DPRD Depok untuk menjaga toleransi di Kota Depok?
Salah satunya Perda yang diskriminatif sudah dicegah. Kemudian dari fungsi DPRD itu kan ada fungsi pengawasan, penganggaran, dan pembuatan peraturan daerah. Di penganggaran harus dicek fungsinya, misalkan aktivitas-aktivitas yang berasis keagamaan apakah sudah proporsional?. Konsep adil memang tidak semua harus selalu sama, tapi kita harus berbicara komponennya seperti apa. Dalam pengawasan, saya kira ini sensitif ya, tapi harus dilihat bagaimana kerukunan umat beragama di Kota Depok itu sendiri. Kita tidak bisa sekedar bilang “Kita nggak ada apa-apa kok, kita nggak ada masalah”. Kita harus membuka lebar-lebar mata hati dan mata jiwa bahwa ternyata ada apa-apa loh. Jangan sampe menimbulkan ketakutan dari seseorang atau kelompok karena keyakinan yang mereka anut.
Siapa pihak yang bertanggung jawab dengan intoleransi yang saat ini marak terjadi khususnya di Depok?
Tidak hanya di Depok ya tapi di kota-kota lain kita sudah melihat ada kelompok-kelompok yang mempopulerkan sebuah kepercayaan atau agama secara berlebihan. Seolah-olah ketika dia ingin meyakini suatu hal, hal lain dianggap tidak perlu dihormati. Kelompok ini ada dan bukan hanya di Depok. Buat saya inilah yang menggangu proses keindonesiaan kita. Indonesia kan bukan sebuah kata final ya, tapi ia adalah sebuah proses menjadi. Kami melihat, menghargai perbedaan adalah salah satu fondasi yang harus dipertahankan.
Bagaimana tanggapan masyarakat Depok dengan situasi saat ini?
Banyak yang tidak setuju tapi tidak berani menyuarakan. Karena kalau ada masyarakat yang berbeda dengan opini yang dibangun pemerintah, jadi dia yang dipersalahkan. Misalkan rencana soal tempat parkir yang dibedakan jenis kelaminnya. Itu kan salah kaprah, bukan untuk perlindungan perempuan tapi justru segregasi. Cuma kita mau bicara kesana tapi imajinasi Pemkot Depok tidak sampai. Kalau mau bicara soal perlindungan perempuan, tidak usah membuat parkir yang berbeda tempat karena jenis kelamin. Cukup rapikan saja tempat parkirnya.
Selain faktor masyarakat Depok yang tidak berani menyuarakan, Pemkot Depok juga tidak merespon saat ada pengaduan. Seperti twitter Pemkot Depok yang malah lebih aktif digunakan untuk membagikan acara seremonial-seremonial Pemkot, daripada merespon persoalan-persoalan yang dilaporkan warga Depok.
Siapakah pihak-pihak yang sudah diajak untuk menyelesaikan masalah intoleransi?
Pernah kita mengadakan dialog dengan Aliansi Masyarakat Cinta Depok, juga banyak komunitas-komunitas kecil yang juga ikut resah dengan persoalan-persoalan yang terjadi di Kota Depok. Tapi ini kan seolah-olah tidak didengar oleh Pemkot.
Kalau untuk masalah tempat parkir kita tidak punya prototype seperti apa Dinas Perhubungan (Dishub) harus mengelola tempat parkir. Jika konteksnya retribusi, ini merupakan salah satu pendapatan keuangan daerah.
Walaupun sudah ada perubahan setelah kita kasih tahu jika mengelola tempat parkir seharusnya bagaimana. Ini proses yang cukup alot karena pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mau mendengar aspirasi warganya. Nah, pemerintah Kota Depok mau atau tidak mendengar aspirasi warganya?
(Foto: DPRD.Depok.go.id)