Pemilu Untuk Rakyat, Bukan Hajat Para Elit: 5 Hal Penting Maklumat Politik KUPI

Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) mengeluarkan Maklumat Politik Ulama Perempuan. Ada 5 poin penting yang diserukan ini menyikapi situasi politik hari ini.

Hari-hari kita belakangan ini, dipenuhi wacana yang berkaitan dengan Pemilu 2024. Berbagai wacana yang muncul, menghadirkan banyak narasi yang mengoyak rasa keadilan hingga melahirkan rasa keprihatinan terhadap demokrasi. 

Menyikapi hal ini, Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menggelar Maklumat Politik Ulama Perempuan di Auditorium FISIP Kampus II UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada Senin, 20 November 2023.

Maklumat Politik Ulama Perempuan ini bertajuk “Pemilu Bersih dan Bermartabat untuk Peradaban Berkeadilan”. 

Ketua Majelis Musyawarah KUPI, Badriyah Fayumi menyerukan, KUPI beserta elemen masyarakat sipil lainnya perlu mengawal demokrasi dan Pemilu 2024 berjalan dalam norma dan dengan cara yang ma’ruf. Kata ma’ruf ini merujuk pada pemilu yang adil, bersih, dan jujur. 

Baca Juga: KUPI Jadi Milestone Gerakan Perempuan Islam di Dunia

Badriyah menjelaskan bahwa concern KUPI bukan pada partisan mendukung calon tertentu. Melainkan mengawal pemilu bersih dan bermartabat.

“Pemilu perlu dikawal tidak hanya oleh aktor politik, KPU dan Bawaslu, tapi oleh semua elemen bangsa agar kompetisi berjalan secara ma’ruf. Kontestasi ma’ruf adalah kompetisi yang berjalan di atas norma yang adil, bersih, jujur. Definisi ma’ruf sendiri adalah bisa diterima akal sehat. Oleh karena itu, Pemilu ini harus tidak mencederai rasa keadilan masyarakat” jelas Badriyah dalam acara yang disiarkan daring tersebut.

Lebih lanjut, Badriyah juga menjelaskan bahwa ini bukan pertama kalinya KUPI mengambil peran dalam Pemilu. Pada tahun 2019, KUPI juga hadir menyampaikan pandangan sebagai elemen dari kekuatan sipil atas keprihatinan terhadap demokrasi khususnya menjelang Pemilu.

“5 tahun lalu saat Pemilu, bangsa ini mengalami polarisasi akibat politik identitas dan politisasi agama. Saat itu, KUPI hadir bersama elemen sevisi untuk mengambil peran aktif di ruang fitrah masing2 agar bangsa tetap utuh. Kini menjelang Pemilu 2024, kita dihadapkan pada terkoyaknya rasa keadilan akan hukum dan aparatur yang dijadikan alat pelanggengan kekuasaan. KUPI merasa terpanggil untuk menyampaikan pandangan ulama dan perempuan,” ungkap Badriyah lebih lanjut dalam pidato pembukanya.

Menjawab Kuota Perempuan dan Politik Dinasti

Dalam konferensi pers yang digelar setelah rangkaian acara, KUPI prihatin atas tidak terpenuhinya kuota perempuan di parlemen. Namun KUPI punya strategi lain untuk mengedukasi anggota legislatif agar memiliki perspektif perempuan, baik anggota laki-laki maupun perempuan. 

Ke depannya KUPI akan berupaya memenuhi jumlah kuota perempuan dengan cara melakukan sistem pengkaderan, pembibitan, pelatihan bagi calon anggota legislatif. 

Ketika ditanya tentang pandangan KUPI mengenai politik dinasti salah satu calon eksekutif, KUPI menjawab pada prosedur demokrasi yang terbuka, politik dinasti biasa saja dan bisa terjadi. Namun yang menjadi masalah, Undang-Undang dipakai untuk membuka dinasti itu. 

Landasan KUPI adalah kemakrufan, artinya, sesuatu diterima sesuai peraturan, akal sehat dan menenangkan hati rakyat. 

Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan bahwa itu tidak etis, tidak makruf, artinya tidak selaras dengan nilai-nilai KUPI. “Kita perlu mengingatkan pemerintah terutama presiden agar perangkat negara bisa bersikap netral” ujar Gun Gun Heryanto.

Pemilu Bukan Hajatan Elit

Dalam rangkaian acara ini juga menghadirkan sesi talkshow yang diisi oleh Alissa Wahid dan Gun Gun Heryanto. Dalam masa Pemilu seperti ini banyak wacana yang hadir di publik. Gun Gun menjelaskan bahwa masyarakat perlu nalar dalam menyikapi, karena Pemilu bukanlah hajatan elit saja, namun juga hajatan seluruh masyarakat. Sehingga, perlu adanya nilai-nilai kewarganegaraan dalam penyelenggaraan Pemilu baik eksekutif maupun legislatif.

“Pemilu bukan hajatan elit saja, ini hajatan kita semua. Pemilu harus menjadi pantulan dari kewarganegaraan, jadi jika tidak ada pantulan kewarganegaraan maka ada pertanyaan dari penyelenggaraan pemilu itu” jelas Gun Gun.

Selain itu Gun Gun juga menyoroti asas representativeness atau keterwakilan yang adil. Hal ini berkaitan dengan posisi kelompok marjinal dalam Pemilu yang sering terabaikan. Kelompok seperti disabilitas dan perempuan seringkali menjadi kelompok yang tidak mendapatkan informasi dan akses proporsional dalam Pemilu. 

Baca Juga: ‘Open Mic’ Perempuan Pemilu: Politisi Sibuk Pasangkan Capres, Tak Ada Tawaran Konkret untuk Perempuan

Selain itu, nilai kompetitif atau asas competitiveness juga hal yang harus dijunjung, dimana Pemilu adalah ajang kompetisi mencari pemimpin, bukan kompetisi yang sengaja didesain untuk memenangkan dan menguntungkan salah satu calon saja.

“Asas representativeness ini penting, keterwakilan perempuan, kelompok termarjinalkan dan disabilitas masih sering diabaikan. Juga competitiveness, bukan kompetisi semu yang sudah didesain untuk siapa yang menang, apalagi menggunakan instrumen kekuasaan. Ketika kita bicara Pemilu kita tidak hanya bicara electoral tapi juga hukum dan asas yang menyertai. Jadi jika electoral law nya bermasalah maka tidak akan ada trust dalam demokrasi prosedural ini” terang Gun Gun.

Gun Gun juga menyoroti peran perangkat Pemilu seperti KPU dan Bawaslu yang sangat vital dalam hal elektoral manajemen. Perangkat Pemilu ini harus independen dan bebas dari intervensi. Hal lain yang juga berhubungan dengan elektoral manajemen ini adalah terpenuhinya hak orang-orang yang selama ini terpinggirkan.

“Elektoral manajemen, ranahnya ada di KPU dan Bawaslu, jangan sampai ada ketidak independensi-an, maka harus ada imparsialitas, termasuk hak-hak yang kerap terpinggirkan, misal informasi untuk kelompok disabilitas atau kerentanan dan juga di daerah yang akses terbatas” lanjut Gun Gun.

Menekankan Sudut Pandang Perempuan

Di sisi lain, Alissa Wahid yang juga mengisi sesi talkshow tersebut juga menyoroti hal-hal yang seharusnya menjadi agenda atau tuntutan atas eksekutif maupun legislatif yang akan dipilih. 

Alissa memberikan agenda-agenda tersebut dengan sudut pandang perempuan. Terdapat tiga hal yang menjadi poin dalam agenda Alissa, yaitu keadilan hakiki, keberpihakan terhadap yang terpinggirkan dan afirmasi atau agenda khas perempuan. 

Afirmasi ini menjadi poin penting mengingat perempuan masih terpinggirkan meskipun memiliki peran yang besar. Agenda pertama untuk pemimpin dan wakilnya adalah memastikan bahwa mereka mampu menciptakan keadilan hakiki, setiap kebijakan dibuat berdasar pandangan keadilan, bukan formalitas dan prosedural saja. 

Baca Juga: Gimana Nasib Perempuan di Pemilu 2024? Kita Hanya Lihat Barisan Bapak-bapak Politisi sampai Politik Dinasti

Sementara kedua, mewujudkan keadilan itu harus memiliki keberpihakan kepada yang tertinggal dan terpinggirkan, mereka yang dilemahkan oleh sistem seperti kelompok disabilitas, kelompok adat dan perempuan. Memastikan agenda pembangunan berperspektif adil gender. Yang ketiga adalah afirmasi atau agenda khas perempuan.

“Ketika kita tahu ada ketidakseimbangan dalam permainan, itulah mengapa ada kuota 30 persen” tegas Alissa.

Agenda khas perempuan ini disebut Alissa, menjadi poin tersendiri yang penting karena perempuan kerap belum mendapatkan hak atas kebutuhan mereka. Hal ini yang membuat perempuan semakin tertinggal dan terpinggirkan. Agenda khas perempuan ini sendiri meliputi pendidikan, kesehatan, serta upaya mencegah perilaku yang membahayakan perempuan dan akses atas potensi.

Menurutnya, agenda khas perempuan ini adalah akses pendidikan atas perempuan. Juga kesehatan perempuan dan anak perempuan, lalu juga perawatan khusus itu perempuan seperti hamil 9 bulan. Ada pula, ketiga adalah praktik yang membahayakan perempuan yang harus dicegah. 

“Kita sadar betul akhir-akhir ini banyak kasus kekerasan yang intensitasnya makin mengerikan dan jumlahnya juga meningkat. Ini harus diperhatikan, sama seperti perkawinan anak, perkawinan yang tidak dicatat, pemaksaan perempuan. Terakhir adalah akses pengembangan potensi terhadap perempuan, memastikan dunia kerja aman terhadap pengalaman perempuan” kata Alissa.

Maklumat Politik Ulama Perempuan

Merespon perkembangan politik tanah air, Jaringan Ulama Perempuan Indonesia mengeluarkan maklumat politik sebagai berikut:

Pertama, bahwa cita-cita luhur berbangsa dan bernegara sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 adalah mewujudkan Indonesia yang benar-benar merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. 

“Oleh karena itu, kekuasaan yang dipercayakan kepada para penyelenggara Negara adalah semata untuk mencapai cita-cita tersebut. Serta bukan untuk digunakan secara sewenang-wenang sehingga mengkhianati nilai-nilai kemanusiaan, melukai rasa keadilan bangsa, dan merendahkan prinsip kedaulatan rakyat,” ujar mereka. 

Kedua, sistem demokrasi di Indonesia mensyaratkan pemilihan presiden dan anggota legislatif sebagai wasilah (sarana) menuju pencapaian cita-cita luhur berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, norma-norma dan proses-prosesnya harus ma’ruf, dalam arti sesuai peraturan perundang-undangan, menjunjung tinggi akal sehat, dan memberi ketenangan batin rakyat. 

“Segala upaya pelemahan demokrasi, manipulasi hukum, praktik money politic, dan penyalahgunaan kekuasaan dalam kontestasi politik tidak bisa dibenarkan,” imbuhnya. 

Ketiga, perempuan sebagai warga negara yang mencakup separuh penduduk Indonesia merupakan subjek penuh dalam membangun kehidupan bangsa dan negara. Perempuan selalu hadir pada saat-saat genting untuk ikut menjaga dan merawat tanah air, warga dan anak bangsa. 

“Oleh karena itu, perspektif, kepentingan, kemaslahatan, dan keterwakilan perempuan merupakan keniscayaan yang tidak dapat diabaikan dalam seluruh aspek penyelenggaraan pemilu, agar bermartabat dan berintegritas, sehingga dapat mewujudkan peradaban yang berkeadilan.” 

Baca Juga: Politik Dinasti Bisa Jadi Ancaman di Pemilu 2024, Kita Bisa Apa?

Keempat, masyarakat sipil berfungsi sebagai pilar penyangga bangsa yang tak henti memperjuangkan cita-cita luhur berbangsa dan bernegara dan yang tanpa lelah membela mereka yang tersingkir, terpuruk dan terluka dalam perjalanan bersama yang penuh liku-liku. “Oleh karena itu, daya kerja dan ruang gerak masyarakat sipil perlu terus dikuatkan, dipertahankan dan dirawat sebagai bagian dari kekuatan warga bangsa, guna memastikan berlangsungnya proses berdemokrasi yang sejati.”

Kelima, ulama perempuan Indonesia telah berperan penting dalam sejarah perjuangan bangsa dan negara, dan terus berperan aktif dalam merawat NKRI, menjaga kedaulatan rakyat, memajukan perdamaian dan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Oleh karena itu, atas dasar keterpanggilan iman dan keniscayaan sejarah, ulama perempuan Indonesia bertekad mengambil peran kepemimpinan untuk ikut mengawal proses berdemokrasi yang sejati.  

“Sebagai bagian dari kekuatan masyarakat sipil untuk mencapai cita-cita luhur berbangsa dan bernegara melalui pemilu bersih, jujur, aman dan berintegritas demi terwujudnya peradaban yang berkeadilan,” pungkasnya. 

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!