*Andi Cipta Asmawaty- www.Konde.co
Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Indonesia rata-rata diisi oleh anak-anak muda yang kemudian pergi untuk bekerja ke kota. Nasib yang tak menentu di desa tempat mereka tinggal, tak cukup punya sumber daya dan pendidikan membuat mereka harus merantau ke kota.
Ini tentu tak mudah. Jika tak cukup mempunyai teman, jaringan dan pengalaman tentu bukan sesuatu yang gampang untuk tinggal di kota. Untuk bekerja sebagai buruh pabrik, kadang harus mengetahui alamat, kesempatan, ketrampilan dan seluk-beluk bekerja disana. Inilah hal yang tak mudah bagi PRT yang pertamakali bekerja di Jakarta. Mahalnya tingkat hidup di ibukota membuat hidup menjadi bertambah rumit.
Ketika menjadi PRT, hal yang paling sering yang mereka rasakan adalah mengalami kesepian yang sangat. Tak punya libur, tak punya waktu untuk bersosialisasi adalah persoalan khas yang dialami para PRT di Indonesia. Merasakan kesepian, tak punya teman adalah problem sosial PRT adalah bagian dari kemiskinan akses.
Ruang yang selalu terkungkung secara domestik dan waktu kerja yang tak terbatas adalah dua realitas kemiskinan waktu yang terus dialami oleh para pekerja rumah tangga hingga kini, selain kemiskinan pendapatan dari upah yang umumnya di bawah standar minimum.
Kesibukannya yang hanya di rumah dan di rumah, membuat mereka tidak memiliki banyak relasi sosial kecuali memanfaatkan teknologi informasi. Dan di tengah-tengah kebosanan dan waktu luang, jika pemandangan dulu, pekerja rumah tangga menonton sinetron kini berganti dengan bermedia sosial dan menonton video dari telepon genggamnya.
Waktunya yang bekerja dari fajar hingga malam hari, tidak membuatnya juga memilliki pertemanan yang dibutuhkan pada usianya yang masih sangat belia. Di kala perempuan remaja dan dewasa kelas menengah perkotaan bisa berteman dengan siapa saja di dunia perkuliahan dan nongkrong di kafe untuk berkumpul, PRT harus merantau, bekerja mencari nafkah, dan mengirim uang kepada keluarganya di desa. Menghadapi tekanan sosial sebagai pekerja rumah tangga juga tidak mudah.
Tekanan sosial yang dialaminya tekanan yang berasal dari keluarga pekerja yang berbeda kelas dan jelas memiliki kuasa, atas diri mereka. Salah satu strategi adaptasi bagi pekerja rumah tangga, dengan menjalin relasi soal yang bukan hanya berkomunikasi via udara, tapi bertemu. Tatap muka.
Beberapa PRT menggunakan sosial media untuk berteman dan terhubung dari dunia luar. Dunia di luar rumah yang selama ini menjadi tempatnya bekerja, ketika tak ada lagi dunia lain yang mereka kenal selain di rumah ini. Mereka menggunakan sosial media untuk berteman, berhubungan dengan keluarga, teman dan hal-hal yang tak bisa mereka jumpai ketika bekerja.
Sejumlah PRT lain yang diberikan waktu libur kemudian menggunakan sosial media untuk berkampanye dan memperjuangkan nasib mereka. Ini banyak dilakukan PRT yang berorganisasi dan mereka menggunakan sosial media untuk mengkampanyekan hak PRT, termasuk mengajak PRT lain untuk berserikat, mengajak PRT turun ke jalan dan memprotes pemerintah.
Namun ada PRT lain yang juga menggunakan sosial media untuk berkencan. Misalnya dari cerita kedua PRT yang saya jumpai di Bogor, Jawa Barat. Dewi, 19, pekerja rumah tangga yang istirahat selepas makan siang, di sela-sela kesibukannya yang tak pernah henti sejak fajar hingga malam hari, memanfaatkan fitur video call di masa-masa senggang.
Dewi menerima kontak video dari calon-calon pacarnya, yang dipertemukan dari aplikasi kencan bernama Tantan. Dewi tidak mau sembarangan. Waktunya yang berharga membuatnya sangat selektif. Filter yang pertama bagi Dewi, adalah laki-laki yang santun dalam bertutur kata baik di teks maupun di perkataan saat kontak telepon terjadi. Filter kedua adalah “nyambung” ketika berbicara dan santun ketika bertemu.
Bagi filter yang kedua, Dewi rupanya sering “kecolongan”. Waktu lowongnya yang hanya malam minggu dan digunakan untuk bertemu dengan laki-laki pilihannya dari dating apps ini, ternyata tidak membawa hasil menggembirakan. Tapi, Dewi tidak merasa gagal, dia terus mencoba dan mencari laki-laki terbaik pilihannya.
Pemanfaatan aplikasi ini juga dilakukan oleh Cici, 23, pekerja rumah tangga yang akhirnya berhasil bertemu dengan pujaan hatinya meskipun hanya bertemu 6 bulan sekali, sebab kekasihnya ini bekerja di Banjarmasin.
“Toh saya juga sibuk,” juga menjadi alasannya yang menjadi hubungan jarak jauh tidak bermasalah baginya.
Ketika aplikasi kencan seperti Tinder dan Bumble marak sejak 6 tahun terakhir bagi kaum remaja dan dewasa di Indonesia, aplikasi Tantan, yang berbahasa Indonesia ternyata lebih ramah bagi pengguna dari kelas pekerja dan dimanfaatkan oleh Dewi dan Cici.
Namun, apalah artinya teknologi jika tidak didukung oleh daya dukung sosial. Bagi orang lain, berkencan kapan saja tidak menjadi masalah berarti, namun tidak bagi pekerja rumah tangga sebagai perempuan yang juga membutuhkan hubungan sosial di luar rumah majikannya.
Pada tahun 2015, Internasional Labour Organisation atau ILO melaporkan temuan surveynya bahwa 71% PRT dewasa dan sebanyak 61% PRT berusia 10 – 17 tahun bekerja selama 6 -7 hari selama seminggu.
Kondisi eksploitatif ini berakar dari fleksibilitas durasi kerja tergantung permintaan majikan dan tidak pernah menguntungkan bagi PRT sendiri. Di saat keluarga majikan membutuhkan, mereka harus siap siaga dan seringkali mengerjakan lima tugas di satu waktu bersamaan dari anggota-anggota keluarga majikan yang berbeda dengan perintah berbeda-beda pula.
Jika pekerja status harian lepas, performa pekerjaannya dilihat dari berapa hari ia bekerja. Namun bagi PRT, performa pekerjaannya dilihat dari seberapa pagi dia bangun, seberapa rajin ia bekerja, seberapa perhatian ia mengurus rumah tangga, dan seberapa malam ia kembali ke tempat tidur. Dan intimidasi pun terjadi di ruang-ruang yang sangat privat, dan jarang diketahui orang lain.
Sebab relasi kuasa jugalah, yang membuat mereka bungkam. “Daripada tidak bekerja” mereka pasif menerima namun juga strategi PRT untuk bertahan 2018, Jala PRT setidaknya menerima 249 kasus diantaranya kekerasan, PHK dan THR tak dibayar sebelum hari raya, serta upah yang tidak dibayar pada tahun 2017.
Untuk ini, saya jadi teringat poster “Kurangi Jam kerja, Perbanyak Bercinta” dari Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Serikat Sindikasi) yang dikeluarkan pada saat hari buruh. Poster dari serikat pekerja media ini menjadi pengingat bahwa waktu itu sudah seharusnya juga digunakan memanusiakan manusia. Dan ini bukan hanya berlaku bagi pekerja formal, atau pekerja lepas, tapi juga pekerja rumah tangga (PRT).
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
*Andi Cipta Asmawaty, mahasiswa pascasarjana Development Studies, International Institute of Social Studies