Tahukah Kamu: Pekerja Seks adalah Pekerja yang Menanggung Stigma Buruk dan Beban Ekonomi?

Memilih bekerja menjadi pekerja seks atau perempuan yang dilacurkan, bukanlah perkara mudah. Ada kekerasan, stigma yang harus ditanggung ketika memilih pekerjaan ini.

*Aprelia Amanda- www.Konde.co

Jakarta, Konde.co- Perempuan pekerja seks atau perempuan yang dilacurkan, selama ini telah distigmakan sebagai perempuan yang membahayakan dan meresahkan. Tak jarang mereka juga dianggap musuh masyarakat.

Ini bisa dilihat dari sejumlah peristiwa. Misalnya, ketika mereka mengalami kekerasan seksual, maka perlakuan ini akan dianggap wajar jika menimpa mereka. Jika mereka mendapat pelecehan, maka dianggap memang sudah layak mereka menerima itu semua.

Para pekerja seks juga sering dianggap kotor dan tidak layak mendapatkan fasilitas kesehatan. Jika mereka hamil, ada anggapan bahwa mereka tidak mempunyai moral. Ketika mereka membesarkan anaknya sendiri, mereka dianggap sebagai ibu yang tidak baik dan pasti akan merusak masa depan anaknya. Bila anaknya dititipkan ke keluarganya karena mereka harus bekerja, maka ada anggapan bahwa mereka adalah perempuan yang tidak bertanggung jawab.

Stigma ini dilekatkan oleh masyarakat, juga oleh pemerintah. Mediapun kerap melakukannya. Peliputan tentang pekerja seks di televisi, selalu menampilkan polisi yang sedang mengejar pekerja seks. Mereka dianggap orang yang berdosa, dan harus dikejar oleh aparat yang dianggap benar untuk menegakkan aturan, padahal laki-laki pengguna selalu lepas dari sasaran. Kita bahkan sudah terlalu banyak mendengar kasus-kasus yang menimpa perempuan yang dilancurkan.

Baru-baru ini peristiwa kekerasan dan stigmatisasi juga menimpa NN, seorang perempuan yang dilacurkan (Pedila) di Padang yang ditangkap anggota DPR RI dan politisi Partai Gerindra, Andre Rosiade pada 26 Januari 2019. Peristiwa ini menunjukkan bahwa pemerintah tak hanya memberikan stigma, tetapi juga melakukan kekerasan.

NN adalah seorang ibu yang memiliki anak berusia dua tahun. Ia juga diduga adalah korban perdagangan orang. NN dihabisi olah banyak pihak ketika peristiwa penangkapan yang diduga penuh jebakan itu. Isunya kemudian digoreng untuk menaikkan derajat moral seseorang.

Komnas Perempuan melihat, kasus yang menimpa NN adalah sebuah bentuk kriminalisasi terhadap perempuan dan menjadikan perempuan sebagai korban eksploitasi seksual. Komnas perempuan menyebut kasus NN sebagai tindakan prostitusi paksa.

NN memasuki dunia prostitusi dalam keadaan terpaksa karena ada faktor eksternal yang mempengaruhinya, yaitu kemiskinan. NN merupakan perempuan miskin yang harus menghidupi anak-anaknya. Ia juga berpindah dari Jawa Barat ke Padang untuk mencari uang. Hal-hal ini perlu dilihat dari konteks bahwa NN adalah seorang korban.

Menurut Theresia Iswarini, Komisioner Komnas Perempuan yang ditemui www.Konde.co, hukum di Indonesia tidak punya kacamata yang cukup baik untuk melihat kekerasan terhadap perempuan. Ada tiga hal elemen di dalam hukum, yaitu substansi, budaya hukum, dan aparat penegakan hukum.

“Secara subtansi isi hukum masih melihat perempuan hanya sebagai pelaku. Secara budaya hukum perempuan dianggap penggoda secara seksual. Ketika perempuan dipandang seperti itu maka seluruh alam pikir kita melihat tubuh perempuan, kerlingan mata, dan senyumannya adalah godaan seksual. Perspektif patriarkis ini diinternalisir seluruh aparat penegak hukum kita,” tuturnya.

Menurut Veryanto Sitohang, Komisioner Komnas Perempuan lainnya, kasus NN yang terus-menerus diberitakan media membuat NN memikul beban berlipat sebagai korban.

“Masuknya NN ke dalam prostitusi saja sudah membuatnya menjadi korban, ditambah penggerebekan dan pemberitaan media yang menyudutkan membuat NN berulang kali menjadi korban”, tuturnya.

Mariana Amiruddin menyoroti kasus-kasus kesusilaan yang banyak diberitakan media dan kebanyakan selalu menyerang perempuan. Di dalam hukum identitas korban harus dilindungi, tetapi dalam kasus prostitusi justru identitas korban diekspose.

Isu prostitusi dan perempuan di dalamnya akhirnya menjadi produk yang digunakan untuk menaikkan derajat seseorang dalam standar moralitas laki-laki.

“Perempuan dalam prostitusi rentan terhadap kekerasan, politisasi, dan mereka menjadi obyek bullying yang dijual dalam bentuk berita yang tersebar menjadi gosip di kalangan masyarakat,” ujarnya.

Mariana juga menyayangkan pemerintah dan masyarakat seperti tidak pernah memahami bagaimana kehidupan seorang pekerja seks di dalam prostitusi yang sangat rawan akan kekerasan.

Komnas Perempuan akan terus melakukan pemantauan terhadap kasus NN, hal ini diungkapkan dalam acara konferensi pers terkait kriminalisasi perempuan dan prostitusi pada 13 Februari 2020.

Dalam kasus NN, Komnas Perempuan terus melakukan pemantauan dan fokus pada unsur Hak Asasi Manusia (HAM), dimana seharunya negara melindungi hak-hak NN sebagai seorang manusia, namun dalam kasus ini pemerintah malah menghukum NN. Pemerintah tidak mampu melindungi NN dari kemiskinan, kekerasan, dan jeratan kasus kriminalisasi. Pemerintah bersama masyarakat malah kembali menghukum NN dengan cara menggerebeknya.

Komnas Perempuan berharap agar kepolisian tidak melanjutkan proses hukum NN.

“Kita tidak boleh menjadikan NN menjadi korban berulang. Kasus seperti ini tidak boleh lagi terjadi, apalagi kasus ini dilakukan oleh pejabat negara yang sebenarnya memiliki kewajiban untuk menjamin kehidupan yang lebih baik untuk semua orang”, ujar Veryanto.

Catatan lain tentang Pedila menyebutkan bahwa perspektif yang kemudian digunakan melihat pekerja seks perempuan sebagai perempuan yang tak bermoral. Identitas laki-laki pengguna tak pernah disebut dan selalu lepas dari penilaian. Seolah apa yang dilakukan laki-laki harus dimaklumi sebagai sesuatu yang harus dimaklumi. Maklum, laki-laki khan tak pernah salah?, itu ungkapan yang sering kita dengar.

Selama ini banyak yang melihat dan menilai bahwa pekerja seks adalah orang yang berdosa. Hal – hal ini terlontar karena sebenarnya banyak yang tidak pernah mengetahui kehidupan sebenarnya dari pekerja seks, banyak yang bekerja menjadi pekerja seks karena kemiskinan. Maka kata pekerja seks kemudian diganti dengan perempuan yang dilancurkan, karena mereka memilih pekerjaan ini karena situasi buruk yang terjadi.

*Aprelia Amanda, biasa dipanggil Manda. Menyelesaikan studi Ilmu Politik di IISIP Jakarta tahun 2019. Pernah aktif menjadi penulis di Majalah Anak (Malfora) dan kabarburuh.com. Suka membaca dan minum kopi, Manda kini menjadi penulis dan pengelola www.Konde.co

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!