Nenden Sekar Arum saat mengikuti Aksi Temu Nasional PAKU ITE, Aksi Revisi Total UU ITE di Car Free Day Jakarta tahun 2023.

Nenden Sekar Arum: Ini Tahun Politik, Perempuan Jadi Korban Digital, Tapi Tak Dianggap Vital

Debat-debat calon presiden sudah berjalan, namun persoalan hak perempuan di ruang digital minim diperbincangkan. Ini tahun politik, namun korban digital tak dianggap vital. Direktur SAFEnet, Nenden Sekar Arum bersuara pada Konde.co.

Konde.co menyajikan Edisi Khusus Akhir Tahun soal refleksi perempuan muda yang  berjudul: Ini Tahun Politik, Girls, Refleksi Perempuan Muda di Akhir Tahun 2023. Edisi ini bisa dibaca 28 Desember 2023- 1 Januari 2024

Nenden Sekar Arum (33) bertekad terjun di dunia teknologi setelah ia tahu dunia ini masih didominasi laki-laki. 

Apa yang dijalaninya saat ini tak jauh-jauh dari latar belakang pendidikannya sebagai lulusan Teknik Informatika dan Ilmu Komputer.

Jauh sebelum menjadi Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Nenden pernah menjajal sebagai jurnalis. Profesi ini memang berseberangan dengan latar belakang pendidikannya. Namun, Nenden justru bersyukur karena itu adalah modalnya bisa berlabuh di SAFEnet yang bersinggungan dengan teknologi.

“Isunya SAFEnet itu kayak menggabungkan atau mix atau intersection antara educational background dan professional background-ku,”ujar Nenden dengan sangat antusias saat ditemui Konde.co pada Rabu (13/12/2023).

Nenden pun menceritakan soal pengalamannya bergabung bersama SAFEnet. Profesinya sebagai jurnalis kala itu termasuk kelompok yang rentan dikriminalisasi. Sebab, keberadaan Pasal 27A Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sangat membatasi kerja-kerja jurnalistik. Bunyi pasal tersebut adalah:

“Setiap orang yang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp400 juta.

Adanya teknologi menjadi sebuah keuntungan bagi perempuan, ini seperti bonus demokrasi. Teknologi memudahkan perempuan mengakses informasi dan berkreasi sesuka hati. Namun, teknologi juga bisa menghancurkan hidup perempuan. Persoalan data pribadi yang tak aman masih menghantui perempuan di Indonesia.

Baca Juga: Fatum Ade: Wahai Presiden Baru, Isu Disabilitas Mental Bukan ‘Objek Jualan Politik’

Tepat saat Nenden bergabung menjadi relawan SAFEnet akhir tahun 2019, selama itu juga ada delapan kasus kriminalisasi terhadap jurnalis yang terjadi. Memang angka ini jauh lebih sedikit dibanding tahun sebelumnya yang tembus 25 kasus. Namun, UU ITE tetap merugikan dan mengancam kerja-kerja jurnalistik.

Pasca disahkannya UU ITE, sebanyak delapan orang dari berbagai profesi berkumpul di Bali. Mereka memiliki keresahan yang sama soal Pasal 27 Ayat 3 yang berkaitan dengan pencemaran nama baik. Kesamaan visi inilah yang membuat mereka pun berkomitmen untuk mendirikan SAFEnet.

“Sejak 2013 itu memang SAFEnet akhirnya fokus untuk mengawal isu-isu kebebasan berekspresi. Nggak cuma di Indonesia sebetulnya, tapi di regional Southeast Asia, makanya namanya SAFEnet,”jelas Nenden.

Setelah berdinamika selama lima tahun, SAFEnet akhirnya resmi berbadan hukum pada tahun 2018. Yang awalnya hanya organisasi cair, kini sudah menjadi perkumpulan. Isunya pun meluas sampai hak-hak digital seperti akses internet, keamanan digital, dan lain sebagainya.

“Kami bisa cukup pede (percaya diri) bilang bahwa SAFEnet salah satu organisasi yang cukup terdepan untuk mengawal isu-isu digital di Indonesia,”ujar Nenden dengan rasa bangga.

Keamanan Digital yang Lemah Rugikan Perempuan

Sehari-hari, Nenden melakoni pekerjaannya secara daring. Maklum, ia bekerja dari kota gudeg alias Yogyakarta, sementara SAFEnet berlokasi di Pulau Dewata, Bali. 

Dirinya juga tak sendiri, masih banyak relawan lain yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Pekerjaan jarak jauh ini tak pernah menjadi masalah karena sedari awal SAFEnet memberlakukan bekerja dari mana saja alias work from anywhere.

Berada di ruang digital, artinya data-data pribadi pun akan tersimpan di sana. Mau diakui atau tidak, data pribadi tersebut nyatanya tak benar-benar aman. Apalagi sistem perlindungan data pribadi di Indonesia ini sangat lemah.

Lihat saja, misalnya yang terjadi November lalu, sebanyak 500.000 daftar pemilih tetap (DPT) di Komisi Pemilihan Umum (KPU) bocor. Data ini dijual oleh peretas bernama Jimbo sebesar Rp1,1 miliar ke situs BreachForums, sebuah situs yang digunakan untuk jual beli hasil peretasan. Kejadian seperti ini tak hanya sekali menimpa KPU. Sayangnya, pembenahan sistem tak kunjung dilakukan dengan serius.

Menurut Nenden, keberadaan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) pun tak menjamin keamanan data digital masyarakat. Aturan ini lebih banyak mengatur ke sektor privat, tetapi minim dalam sektor publik. Hal tersebut seolah menyingkirkan fakta bahwa selama ini peretasan sering terjadi di lembaga pemerintahan.

“Pemerintah itu kebanyakan denial (mengelak) gitu ya. Yang mereka tuh seolah-olah tidak mau mengakui bahwa mereka punya kelemahan dalam konteks perlindungan data pribadi. Dan itulah yang bahaya,”tegas Nenden.

Jika masalah seperti ini dibiarkan, maka akan berdampak pada perempuan. Data pribadi yang bocor akan rentan disalahgunakan oleh oknum tak bertanggung jawab. Biasanya, penyalahgunaan ini untuk motif ekonomi. Lantas, apa saja yang termasuk data pribadi?

Baca Juga: Fatia Maulidiyanti: Joget Gemoy? No! Anak Muda Butuh Politik Gaya Baru

Menurut SAFEnet, data pribadi melingkupi nama lengkap, nama semasa kecil, nama ibu, NIK, NPWP, SIM, nomor paspor, plat kendaraan, nomor anggota rumah sakit, rekening bank, nomor kartu kredit, alamat rumah, email, nomor kontak pribadi, dan masih banyak lagi.

“Yang lebih parahnya hal tersebut (kebocoran data) dampaknya bisa lebih besar kepada korban perempuan, karena biasanya bentuk-bentuk penyalahgunaan datanya pun berbeda dibanding dengan pemilik data laki-laki. Perempuan biasanya ada kecenderungan misalnya untuk digunakan atau disalahgunakan bernuansa seksual atau gender based,”jelas Nenden.

Nenden mengambil contoh soal pinjaman online (pinjol). Sama-sama menjadi korban pinjol, perempuan akan terkena ancaman berlapis. Para penagih pinjaman bisa saja melakukan pelecehan kepada perempuan. Bahkan tak segan mereka juga mengancam akan menyebarkan konten intim atau pribadi hingga melakukan pemerkosaan.

“Belum lagi misalnya datanya disalahgunakan bikin akun dating apps (aplikasi kencan). Kemudian ‘dipromosikan’ sebagai pekerja seks,”tambahnya.

Membantu dengan Segala Keterbatasan

Jika tengah malam adalah waktunya beristirahat, tapi tidak berlaku buat Nenden. Ia bercerita, ada sejumlah momen saat korban yang didampinginya ingin mengakhiri hidup karena kasus yang menimpanya. 

Tak pelik bahwa persoalan ini membuat Nenden sebagai pendamping merasa stress dan tertekan.

“Tengah malam terus dia (korban) pengen bunuh diri, mau nggak mau kan kita juga yang kemudian terlibat itu jadi stress juga,”cerita Nenden saat menghadapi kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO).

Nenden pernah memegang hotline pengaduan KBGO di SAFEnet pada tahun 2020-2021. Proses pendampingan ini juga dibilang cukup menantang bagi Nenden karena harus berpacu dengan waktu. Di satu sisi, dirinya harus hati-hati dalam bertindak, tetapi juga perlu cepat agar konten tak disebarkan oleh pelaku.

Menurutnya, ancaman terus meningkat sampai tengah malam. Ia seolah menghabiskan waktu 24 jam untuk berkomunikasi dengan korban dan memastikan dalam kondisi baik-baik saja. Nenden mengaku keterbatasan membuatnya tak bisa mengendalikan pelaku, terlebih fokus SAFEnet hanya intervensi langsung kepada korban.

“Jadi itu yang agak menjadi dilema, pengen bantuin tapi terbatas juga sumber dayanya. Dan takut juga kalau nggak dibantuin kenapa-kenapa,”ujarnya.

Keterbatasan inilah yang membuat SAFEnet bekerja sama dengan pihak-pihak terkait. SAFEnet hanya bisa membantu menurunkan konten-konten yang berbahaya untuk korban. Selebihnya, mereka akan merujuk kepada lembaga yang dibutuhkan korban seperti konseling dan lembaga bantuan hukum (LBH).

“Misalnya mereka butuh bantuan supaya nggak di-hack, atau supaya nggak ada yang bikin akun baru yang mengatasnamakan dirinya. Nah itu SAFEnet mungkin bisa bantu ya. Dan bisa bantu juga untuk take down (menurunkan) konten-konten yang mungkin dirasa berbahaya,” imbuhnya.

Baca Juga: Feby Damayanti: Bagaimana Hidup Transpuan di antara Janji Capres dan Caleg
Kekhawatiran Soal HAM
Nenden saat Konsultasi AICHR terkait Freedom of Opinion and Expression di Jakarta pada Desember 2023.
Nenden saat Konsultasi AICHR terkait Freedom of Opinion and Expression di Jakarta pada Desember 2023.

Jika ada publik yang menganggap isu hak asasi manusia (HAM) hanya digoreng setiap lima tahun, maka itu adalah salah besar. Persoalan HAM masih terus diperjuangkan setiap hari, meski pemerintah juga terus berjanji akan menyelesaikannya.

Bicara soal HAM berarti juga bicara tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi. Sayangnya, tren kebebasan ini justru semakin menurun tiap tahunnya. Apalagi jika dilihat dari indikator seberapa nyaman dan terbukanya masyarakat saat mengkritik.

“Orang-orang semakin takut untuk menyuarakan aspirasinya, menyampaikan kritiknya di media sosial ataupun online secara digital, bahkan secara langsung. Karena banyaknya upaya-upaya kriminalisasi,”ujar Nenden.

Kembali lagi, UU ITE seolah merenggut kebebasan berdemokrasi masyarakat Indonesia. Pasal-pasalnya yang bermasalah meski sudah melalui revisi juga berpotensi membuat masyarakat takut menyatakan pendapatnya. Ditambah dengan adanya istilah “jejak digital tidak akan hilang”.

Nenden khawatir, ketiga pasangan calon tak menjadikan isu HAM sebagai sesuatu yang serius. Nyatanya, mereka memang belum memiliki rekam jejak yang baik dalam melindungi, menghormati, dan memenuhi hak asasi manusia, khususnya kebebasan berekspresi. Mereka punya sejarah merepresi kelompok tertentu.

“Jangan-jangan siapapun yang terpilih nanti belum tentu ada upaya yang dilakukan untuk melindungi hak asasi manusia secara umum. Bisa jadi peluang melakukan represi itu akhirnya juga masih ada yang sangat mungkin terjadi,”jelasnya.

Meski sering menghabiskan waktu untuk bekerja dan menjalankan hobi, Nenden tetap menyempatkan diri mengecek program kerja para calon presiden Indonesia. Sejauh ini, belum ada pasangan calon yang memberikan secara spesifik bagaimana program kerja tersebut nantinya akan diimplementasikan.

“Ketika sudah mention (menyebut) pemberdayaan perempuan, bagaimana kemudian merealisasikan hal tersebut tanpa mengesampingkan perspektif yang lebih baik menyokong kesetaraan gender,”ucap Nenden. “Jangan sampai konteks pemberdayaan perempuannya juga dalam lensa atau perspektif patriarki.”

Baca Juga: Khristianti Weda Tantri: Dear Calon Presiden 2024, Sudahkah Anda Peduli dengan Isu Kekerasan Seksual?

Oleh karena itu, Nenden sangat berharap dengan anak-anak muda yang menjadi mayoritas pemilih dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Ia percaya bahwa anak muda memiliki pemikiran yang kritis, tak mudah dibohongi, dan tak mudah menerima informasi mentah-mentah. Dengan begitu, anak muda bisa bijak memilih pemimpin dan tak mudah termakan janji-janjinya.

“Alangkah sangat baik juga kalau mereka (anak muda) tidak terjebak gimmick yang dilakukan capres (calon presiden) manapun yang hanya seolah-olah mengajak orang muda untuk melupakan substansi,”tuturnya.

Nenden memang tak berekspektasi apapun kepada masing-masing pasangan calon. Ia hanya meminta agar momen pemilu bisa memberikan ruang aman bagi perempuan dan kelompok rentan dan tak melulu dijadikan komoditas. Mengingat banyak perempuan yang terjun ke dunia politik justru menjadi objek pelecehan.

“Bagaimana mereka (Capres) bisa melibatkan partisipasi masyarakat sipil pada isu-isu kebebasan sipil, isu-isu internet dan kebebasan berekspresi, serta bagaimana upaya mereka dalam meningkatkan safe space (ruang aman) bagi perempuan dan kelompok rentan di Indonesia,”tutup Nenden.

Rustiningsih Dian Puspitasari

Reporter Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!