|
Saya melakukan wawancara, menemui beberapa perempuan dalam seminggu terakhir ini. Perempuan tersebut adalah mereka yang bekerja sebagai jurnalis, ibu rumah tangga yang sedang hamil dan seorang kontraktor yang berjibaku dengan caranya masing-masing menghadapi Corona.
*Meera Malik-www.Konde.co
Jakarta, Konde.co- Dari mereka saya menjadi mengerti, banyak alasan orang untuk mempertahankan hidup, bertaruh nyawa karena kehamilan, untuk menghadapi Virus Corona atau COVID-19 yang jumlah pengidapnya terus meningkat di Indonesia:
Zizu, jurnalis di media online nasional, Tebet (Jakarta Selatan)
Hai, Zizu. Sudah berapa lama bekerja sebagai jurnalis?
Hai. Aku sudah jadi jurnalis kurang lebih selama 2 tahun, khusus meliput isu kesehatan dan belum pernah pindah desk sampai sekarang.
Berarti kamu meliput isu corona ya? Bagaimana pengalaman kamu selama meliput isu ini?
Iya, aku ngeliput isu corona dari awal banget. Dari di Cina, saat penyakitnya disebut penyakit misterius. Aku melihat ada perbedaan sih dari awal meliput hingga sekarang.
Awalnya, banyak pihak (seperti dokter dan pemerintah) yang selalu bilang semacam “Easy (tenang), corona nggak seseram yang dibayangkan.” Entah itu biar masyarakat gak panik atau gimana, hingga menjadikan aku pun sebenernya dulu menganggap enteng. Ingat banget sampai Februari itu kalau ada seminar COVID-19, selalu yang digaungkan adalah gak usah khawatir soal corona. Namun, mulai Maret, baru deh pada ketar-ketir, even dokter juga pada panik.
Apa momen yang sulit kamu lupakan saat meliputnya?
Paling critical itu waktu Menteri Perhubungan, Pak Budi Karya, dikabarkan positif corona. Di situ posisinya aku sedang di luar kota dan sedang batuk pilek dan demam. Itu kan diumumin hari Sabtu, kantor sudah panik dan suruh ke rumah sakit. Awalnya aku paniknya kebangetan karena jarak ketemu Menhub dan timbul gejala itu 12 hari. Aku mikir apa aku balik ke Jakarta aja, terus aku juga impulsif cari masker dimana-mana dan gak ada.
Gak cuma aku sih yang panik, beberapa wartawan kesehatan yang segrup sama aku juga. Pada gak bisa mikir jernih. Pokoknya semua ilmu dan informasi yang kita dapat selama liputan kayak lenyap aja gitu. Semua langsung mau periksa ke dokter, even yang gak sakit. Tanya sana-sini soal rumah sakit mana yang bisa periksa. Aku juga langsung bikin daftar alur kontak dengan siapa aja yang dekat sama aku selama 14 hari dan itu banyak banget. Aku sangat kalut karena kasihan banget kalau mereka terkena virus gara-gara aku.
Namun, akhirnya kepanikan itu bisa diredam sama teman aku, Risna, jurnalis di isu kesehatan juga. Dia bilang kalau harus banget kita yang jurnalis ini berpikir jernih di saat orang lain panik.
Wah.. seru-seru seram ya pengalaman kamu. Selain soal pekerjaan, apakah ada pengaruh pandemi corona ini terhadap kehidupan sehari-hari kamu?
Ada banget. Sekarang mau beli groceries (bahan makanan) dan pembalut pun harus online (daring). Trus, karena statusku masih ODP (Orang Dalam Pemantauan), jadi gak boleh ketemu orang. Nah, jiwa-jiwa ekstrovert-ku meronta-ronta, jadi ‘pelampiasannya’ adalah aku sambat di medsos. Itu caraku bertahan hidup.
Oh iya, aku juga harus memastikan orang di sekitar aku tidak terlalu panik dalam menyikapi isu corona ini (terutama keluarga), meski aku sendiri kadang panik juga apalagi tiap sore mantengin kenaikan kasus.
Ada pesan yang mau kamu sampaikan buat para perempuan lainnya?
Tetap kuat dan sehat. Soalnya, perempuan agak rentan sakit, jadi tidak boleh terlalu stres, bisa berpengaruh ke hormon juga. Panik boleh, manusiawi kok. Intinya, jangan berlebihan aja.
Terutama buat ibu rumah tangga. Kalau ibu sakit, biasanya sekeluarga juga bakal sakit. Jadi, stay strong untuk semua mama ya.
Apa yang kita lalui saat ini memang berat, but this too shall pass (ini akan terlewati).
***
Rizkan, ibu rumah tangga, sedang hamil anak pertama, Duren Sawit (Jakarta Timur)
Halo, Rizkan. Selamat ya atas kehamilan kamu. Sudah berapa bulan?
Halo. Iya, terima kasih. Kehamilanku masuk masa 34 minggu, waktunya sudah dekat.
Wah, sebentar lagi ya. Semoga proses lahiran nanti berjalan lancar, ibu dan bayinya sehat ya. Oh ya, bagaimana pengalaman kamu selama situasi pandemi ini? Apa pengaruhnya dalam kehidupan kamu sehari-hari?
Pengaruhnya banyak, dan yang paling terasa itu dari aspek ekonomi. Saya seorang ibu rumah tangga yang sepenuhnya bergantung dari pendapatan suami yang bekerja di ritel.
Masa pandemi ini membuat ritel sepi sementara gaji suami bergantung dari target penjualan. Alhasil, uang yang didapat cuma dari gaji pokok saja, padahal kebutuhan dan cicilan tagihan bulanan tetap jalan. Saya harus membatasi pengeluaran belanja rumah tangga dan berusaha sehemat mungkin memilih menu makanan sajian rumah. Bahkan untuk asupan buah, sayur dan nutrisi bumil juga jadi pertimbangan penghematan.
Bagaimana dengan kondisi psikologis kamu? Pasti berpengaruh ya?
Pasti. Saya jadi cemas berlebihan. Seperti ketika mau men-stok bahan makanan untuk seminggu atau dua mingguan tapi gak bisa karena uang gak mencukupi. Alhasil, setiap 3 hari harus belanja juga ke warung sembako dan warung sayur dekat rumah. Saat terima uang kembalian, jadi kepikiran dan takut kalau uangnya sudah terinfeksi virus. Begitu balik ke rumah, langsung buru-buru cuci tangan dan bahan belanjaan pakai sabun.
Belum lagi kalau gak pintar menyaring informasi berita yang beredar. Ibu hamil kan swing mood ya, jadi harus lebih ekstra menjaga kewarasan jiwa supaya gak terlarut. Bagi saya, ibadah cukup menenangkan jiwa sih.
Ada pesan yang mau kamu sampaikan buat para perempuan lainnya?
Pandemi ini nyata, jangan dianggap remeh. Sebisa mungkin kita berusaha jaga diri, jaga kesehatan dan saling peduli dengan menjaga dan menguatkan keluarga. Kita semua berperan dan peran kita pasti berdampak.
Sebisa mungkin kita juga mengikuti arahan pemerintah untuk tetap berada di rumah bagi yang memungkinkan. Bagi pekerja yang tetap harus berjuang mencari nafkah, berarti harus lebih ekstra peduli kesehatan.
Berdoa pada Tuhan, minta perlindungan dan minta supaya wabah ini segera berakhir.
***
Dewi, seorang kontraktor, Manokwari (Papua Barat)
Hai, Dewi. Terima kasih ya sudah mau berbagi. Boleh cerita bagaimana situasi di Manokwari pada masa pandemi wabah corona ini?
Hai. Boleh dong. Sepertinya sama sih dengan daerah lainnya, saat ini masker, hand sanitizer sulit didapatkan. Sabun khusus cuci tangan itu juga sudah habis di swalayan sekitar. Akhirnya, mulai banyak yang berjualan hand sanitizer ala-ala. Standar WHO atau tidak masih diragukan. Beberapa hand sanitizer bahkan dilabeli dengan “anti-corona”. Tentu saja banyak peminatnya.
Kalau aktivitas masyarakat, gak terlalu ada perbedaan signifikan. Masih banyak mama-mama yang berjualan di pinggir pasar, pedagang makanan juga, dan jalanan masih ramai. Namun, setahu saya, beberapa kantor pemerintahan sudah menetapkan pegawainya untuk bekerja dari rumah.
Lalu, bagaimana pengaruh situasi pandemi ini terhadap kehidupan kamu sehari-hari?
Pengaruhnya besar sekali. Ceritanya, saya di sini mulai September 2019 lalu karena penugasan dari kantor lama. Pada Januari kemarin saya resign (mengundurkan diri) karena ingin mandiri. Saya benar-benar harus mulai dari nol untuk mengurus proyek sendiri. Namun, saat ini juga saya masih mengurus satu proyek kerja yang berakhir bulan Maret ini. Nah, karena situasi pandemi, pemilik proyek memilih bekerja di rumah sehingga tagihan kami macet dan tidak diberikan oleh si pemilik. Imbasnya ke masalah ekonomi pegawai, bayaran tukang, dan lainnya.
Sementara itu, saya perantau. Tidak ada keluarga dan sanak saudara. Saya tetap harus bayar tagihan kos, cicilan motor. Pusing deh pokoknya. Belum lagi memikirkan orangtua di kampung, takut mereka kenapa-kenapa. Lebaran terancam tidak bisa pulang, tapi mau bagaimana dengan situasi pandemi seperti ini.
Pelik ya. Bagaimana kamu menghadapi situasi ini?
Harus benar-benar memutar otak sih. Biasanya, saya juga sambil berjualan makanan ringan untuk menambah penghasilan.
Apa harapan kamu?
Harapannya, tentu saja supaya situasi ini bisa segera berakhir dan kehidupan bisa berjalan normal lagi.
(Foto/Ilustrasi: Pixabay)
*Meera Malik, jurnalis televisi yang murtad dan kini mualaf di Konde.co sebagai managing editor. Pengagum paradoks semesta, gemar membeli buku tapi lupa membaca.