Hingga memasuki bulan Februari 2020, pemerintah Indonesia justru menganggarkan Rp. 72 miliar untuk mempromosikan pariwisata Indonesia lewat buzzer di media sosial. Selain itu, juga menggelontorkan dana Rp. 443,39 miliar sebagai insentif 30 persen diskon tiket pesawat ke sepuluh tujuan wisata di Indonesia, daripada melakukan upaya mitigasi pandemi COVID-19. Kegagapan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan wabah Corona hingga saat ini telah menempatkan perempuan dan masyarakat dalam kondisi bahaya.
*Ega Melindo- www.Konde.co
Konde.co- Jika penanganan wabah Corona di Indonesia dalam kondisi seperti ini terus, maka perempuan dan masyarakat terancam keselamatan jiwanya.
Berbagai langkah dan kebijakan yang diambil pemerintah mencerminkan sikap yang tidak tegas, lepas tanggung jawab, dan berpotensi melakukan totalitarisme negara. Pemerintah terlihat gagap dan tidak cermat dalam menyelesaikan persoalan wabah Corona di Indonesia.
Kegagalan mitigasi yang dilakukan pemerintah memperparah situasi yang dihadapi. Situs resmi Pemerintah menyebutkan data per 1 April 2020 pukul 15:53 jumlah pasien positif COVID-19 sebanyak 1.677 dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 157 dan sembuh 103. Dengan situasi ini, Indonesia menjadi negara yang menduduki posisi ke-2 dengan case fatality rate (CFR) atau tingkat kematian akibat COVID-19 tertinggi di dunia.
Fenomena kepanikan di tengah masyarakat pun muncul, dilihat dari langkanya sejumlah barang yang ditengarai dapat mencegah COVID-19 seperti masker, cairan antiseptik, suplemen dan vitamin. Hal ini diikuti dengan melonjaknya harga di pasaran. Kelangkaan ini juga diikuti dengan kelangkaan alat pelindung diri (APD) bagi tenaga medis yang ada di garis terdepan dalam upaya mengatasi wabah pandemi ini.
Hingga gabungan organisasi profesi kesehatan membuat surat pernyataan bersama untuk mendesak pemenuhan alat pelindung diri (APD). Salah satu poin pernyataan dalam surat tersebut adalah tenaga medis tanpa APD tidak ikut merawat pasien COVID-19 demi mencegah penularan. Ini menunjukkan bahwa negara telah gagal mengatur pasar.
Kepanikan yang demikian tidak perlu muncul jika pemerintah melakukan edukasi dan memberikan informasi yang akurat, tepat waktu, tidak diskriminatif dan konsisten dengan prinsip-prinsip HAM kepada publik. Termasuk meyakinkan masyarakat dengan langkah-langkah tegas untuk mengatasi wabah pandemi COVID-19.
Namun yang terjadi pemerintah hanya melakukan himbauan tanpa antisipasi potensi dampak yang muncul. Himbauan yang dikeluarkanpun bias kelas dan melihat masyarakat sebagai kelompok yang homogen.
Sebagai contoh, kebijakan pengaturan social distancing dengan menerapkan jarak tertentu saat bertemu dengan orang lain sebagai upaya menekan penyebaran virus. Perkantoran dan sekolah pun dijalankan dari rumah. Tapi tidak memperhitungkan pekerja non-formal ataupun masyarakat yang kehidupannya tergantung dari penghasilan harian.
Sehingga kebijakan pengaturan social distancing dianggap tidak berjalan karena tidak ada kepatuhan dari masyarakat. Padahal ada buruh yang masih harus beraktivitas seperti biasa karena tetap dituntut berproduksi, pedagang di pasar, pengemudi ojek online, dan lain sebagainya. Tidak jelas jaminan sosial ataupun kompensasi yang disiapkan oleh Pemerintah. Termasuk jaminan kebutuhan masyarakat atas ketersediaan dan keterjangkauan hak-hak dasar, seperti pangan, pelayanan kesehatan, air dan sanitasi.
Asumsi Pemerintah akan ketidakpatuhan masyarakat atas himbauan tersebut yang kemudian dapat mendorong tindakan yang mengarah pada totaliterisme. Praktik di beberapa negara dalam menangani wabah ataupun krisis bisa bersifat totaliter dalam banyak hal, seperti pemberlakuan larangan perjalanan total, jam malam, darurat sipil/militer, dan langkah-langkah otoriter lainnya.
Totaliterisme perlu dilihat dalam cara dan logika otoriter. Pikirkan berapa banyak sumber daya yang akan dialokasikan pada aparat kepolisian dan militer ketimbang yang dianggarkan untuk layanan kesehatan publik, atau jaminan sosial dalam menghadapi wabah pandemi COVID-19. Faktanya, akan lebih mudah bagi aparat keamanan untuk memenjarakan atau melakukan tindakan kekerasan terhadap warga sipil karena ketahuan berkeliaran.
Prinsip-prinsip Siracusa, yang diadopsi oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada tahun 1984 dan komentar umum Komite HAM PBB tentang keadaan darurat dan kebebasan bergerak memberikan panduan otoritatif pada tanggapan pemerintah yang membatasi HAM karena alasan kesehatan masyarakat atau keadaan darurat nasional. Bahwa pembatasan hak dan kebebasan orang harus sah, diperlukan dan proporsional sehingga tidak sewenang-wenang. Selain itu juga perlu mempertimbangkan dampak yang tidak proporsional atau berbeda pada kelompok tertentu atau yang terpinggirkan.
Beberapa kebijakan yang terindikasi mengarah pada hal tersebut antara lain adalah Maklumat Kepala Kepolisian Negara RI No, Mak/2/III/2020 tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah Dalam Penanganan Penyebaran Virus COVID-19. Selain itu, narasi penetapan darurat sipil pun mengemuka sebagaimana dilontarkan oleh Juru Bicara Kepresidenan, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, serta Presiden sendiri. Belakangan, menyusul pernyataan pemerintah bahwa opsi untuk Darurat Sipil tetap disiapkan dalam keadaan abnormal.
Sementara langkah yang diumumkan oleh Presiden Joko Widodo adalah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar. Regulasi tersebut dikeluarkan bersamaan dengan Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat COVID-19 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Saat mengumumkan ketiga regulasi tersebut, Presiden dalam keterangan persnya menekankan pada dua hal yaitu agar kepala daerah tidak membuat kebijakan sendiri-sendiri dan memberikan kewenangan kepada Polri untuk mengambil langkah dalam penerapan PSBB. Kebijakan ini dikeluarkan setelah sebelumnya beberapa kepala daerah berinisiatif untuk gerak cepat mengeluarkan tindakan dan kebijakan melindungi daerahnya masing-masing.
Terkait dengan penerbitan Perppu, Presiden mengklaim bahwa Perppu ini merupakan fondasi bagi pemerintah, otoritas perbankan dan otoritas keuangan untuk melakukan langkah-langkah yang luar biasa dalam upaya menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional serta stabilitas sistem keuangan. Beberapa perlindungan sosial yang disiapkan antara lain adalah penyesuaian pada Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Kartu Prakerja, hingga keringanan tarif listrik.
Beberapa pengamat ekonomi menilai Perppu ini membuka celah korupsi dan manipulasi karena disebutkan bahwa biaya yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara adalah bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis sehingga biaya tersebut tidak dapat dihitung sebagai kerugian negara. Bahkan regulasi tersebut juga mengatur soal impunitas lembaga keuangan dalam menjalankan tugas. Hal ini bisa menjadi celah untuk dimanfaatkan pejabat Negara dalam mengakumulasi dana tanpa akuntabilitas dan berpeluang besar untuk dikorupsi tanpa bisa dihukum seperti kasus BLBI.
Sebelumnya, pada Februari 2020 Bank Dunia baru saja menyetujui pinjaman untuk Indonesia sebesar US$ 300 juta atau setara Rp. 4,95 triliun (berdasarkan kurs Rp. 16.600 per dolar AS). Pinjaman yang disetujui di tengah penyebaran pandemi COVID-19 ini ditujukan untuk mempercepat reformasi di sektor keuangan. Utang tersebut tidak secara spesifik menyebutkan untuk pendanaan aktivitas tertentu, seperti mitigasi dampak COVID-19 namun karena sifatnya pendanaan umum maka ada fleksibilitas yang bisa dimanfaatkan.
Presiden Joko Widodo juga menyambut baik tawaran dari Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) yang mengumumkan ‘pinjaman darurat’ bagi negara-negara berkembang. Selain Bank Dunia dan IMF, disebutkan pula sejumlah lembaga keuangan lainnya siap menggelontorkan dana besar bagi penanggulangan COVID-19 seperti Asian Development Bank (ADB), Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dan Regional Development Bank (RDB).
Di sisi lain, fungsi legislatif sebagai perimbangan kekuasaan tidak berjalan dan justru memanfaatkan wabah pandemi COVID-19 sebagai celah politik untuk mendorong kebijakan yang selama ini banyak ditentang oleh rakyat Indonesia. Di tengah penyebaran COVID-19, DPR RI justeru menyatakan secara tegas akan tetap menjalankan fungsi legislasi, yang artinya mereka akan tetap meneruskan untuk pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja, serta RUU Minerba, yang masih mengedepankan investasi dan berpotensi melanggar HAM.
Meski turut menyangkal dan meremehkan kasus COVID-19, alih-alih mendahulukan kepentingan rakyat yang diwakilinya, anggota DPR RI justru mendapat privilege untuk menjalani tes COVID-19. Di tengah situasi dimana Pemerintah hanya akan melakukan tes kepada orang yang memiliki gejala dan riwayat kontak dengan pasien positif COVID-19.
Rakyat dalam Ancaman Serius, Perempuan Merasakan Lebih Berat dan Mendalam
Sikap negara yang semula menyangkal wabah pandemi COVID-19 seharusnya tidak perlu terjadi agar seluruh elemen masyarakat lebih siap dalam menghadapi situasi.
Pemerintah semestinya bertanggung jawab untuk menyediakan informasi yang diperlukan untuk melindungi dan mendorong pemenuhan hak-hak rakyat, termasuk hak atas kesehatan. Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menganggap sebagai “kewajiban inti” untuk menyediakan edukasi dan akses terhadap informasi mengenai persoalan kesehatan yang terjadi di masyarakat, termasuk metode pencegahan dan pengendaliannya. Oleh karena pemerintah tidak menjalankan kewajibannya ini, maka upaya mitigasi pun tidak berjalan baik sehingga laju penyebaran COVID-19 di Indonesia sangat cepat.
Pada situasi demikian, rakyat pun mengalami ancaman serius yaitu wabah penyakit yang belum ditemukan obatnya. Meskipun disosialisasikan bahwa COVID-19 merupakan self limited disease yaitu penyakit yang dapat sembuh sendiri dengan imunitas tubuh, namun angka kematian yang tinggi dan eskalatif tentunya mengkhawatirkan. Khususnya jika mengacu pada data Riset Kesehatan Dasar maka terlihat bahwa angka prevalensi diabetes dan tuberkulosis di Indonesia yang terus menunjukkan peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun.
Angka ini bisa jadi hanya merupakan puncak gunung es mengingat karakteristik masyarakat, khususnya masyarakat miskin yang cenderung mengabaikan kondisi kesehatan kecuali sudah pada tingkat yang sangat parah. Tentu hal ini adalah implikasi dari akses rakyat miskin terhadap pelayanan kesehatan yang sulit terjangkau.
Pun penanganan berupa tindakan maupun kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak diperhitungkan secara cermat, termasuk tidak melihat masyarakat sebagai kelompok yang heterogen dengan berbagai lapisan, karakteristik, kapasitas dan lainnya. Padahal wabah penyakit seringkali memiliki dampak spesifik gender. Temuan Solidaritas Perempuan di wilayah pengorganisasian menunjukkan bahwa COVID-19 secara tidak proporsional mempengaruhi perempuan dalam beberapa cara.
Meskipun risiko spesifik bagi perempuan hamil yang terpapar COVID-19 masih belum terlalu jelas terungkap, tapi wabah ini mengancam hak atas kesehatan seksual dan reproduksi. Penyedia layanan kesehatan yang difokuskan untuk mengatasi pandemi sekaligus sebagai yang paling berisiko tertular penyakit ini. Implikasinya adalah semakin berkurangnya tenaga medis yang dapat memberikan layanan kesehatan seksual dan reproduksi dan meningkatkan waktu tunggu untuk pasien yang membutuhkan.
Di sejumlah rumah sakit swasta memang ditetapkan sistem zonasi yang memisahkan antara pasien dengan gejala COVID-19 dengan yang bukan. Sementara sebagian besar rakyat hanya mampu mengakses pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) yang tentunya memiliki kapasitas terbatas untuk melayani kesehatan, khususnya perawatan non-darurat.
Termasuk juga hambatan terhadap rantai pasok global untuk logistik medis dan obat-obatan dapat membahayakan akses perempuan terhadap kontrasepsi maupun layanan sebelum dan sesudah persalinan.
Terkait dengan kebijakan pembatasan interaksi fisik juga merupakan ancaman bagi ekonomi rakyat, khususnya perempuan yang mayoritas bekerja di sektor informal.
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pada tahun 2018, terdapat 61,3 persen perempuan yang bekerja pada sektor informal. Jenis pekerjaan mereka diantaranya usaha warung makan, atau berjualan makanan ringan di sekolah. Bekerja di sektor informal artinya tidak ada keamanan kerja dan tidak ada jaring pengaman jika krisis seperti COVID-19 menghancurkan pendapatannya.
Dalam situasi yang mengharuskan kita untuk menjaga jarak dan meminimalisir interaksi fisik langsung, maka tentunya berdampak kepada penghasilan mereka, yang selama ini didapatkan secara harian. Termasuk juga dampak dari perlambatan ekonomi yang sangat mungkin akan terjadi. Contoh yang terjadi di wilayah pengorganisasian Komunitas Solidaritas Perempuan seperti perempuan pesisir penjual ikan asin di Cungkeng – Lampung yang merugi karena sepi penjual, sementara mereka sendiri memaksakan terus berjualan tanpa APD yang memadai sehingga berpotensi terpapar virus juga. Hal serupa juga menimpa perempuan pengupas kerang di Muara Angke yang saat ini lebih banyak menganggur sehingga kehilangan penghasilan. Sementara itu, di Pulau Pari juga sudah diberlakukan lockdown yang berakibat pada kosongnya homestay yang dikelola oleh warga.
Hal ini tidak hanya dialami oleh perempuan yang berada di Indonesia, tetapi juga mereka yang bekerja di luar negeri sebagai buruh migran.
Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) pada tahun 2019, sebanyak 44.465 perempuan bekerja di luar negeri yang sebagian besarnya bekerja di sektor informal. Perempuan buruh migran ini mengalami kerentanan spesifik dan cenderung tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah Indonesia karena lebih memprioritaskan warga negara yang ada di dalam negeri. Beberapa situasi yang mungkin dialami antara lain adalah kondisi kerja yang sewenang-wenang, kehilangan pekerjaan, terjebak lockdown, tidak bisa kembali pulang selama krisis dan sulit memenuhi kebutuhan dasarnya.
Sejumlah negara yang telah menerapkan lockdown merupakan negara tujuan perempuan buruh migran Indonesia untuk bekerja. Diantaranya adalah Malaysia dan beberapa kota di Arab Saudi. Meskipun Pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan (Kepmenaker) No. 151 Tahun 2020 tentang Penghentian Sementara Penempatan Pekerja Migran Indonesia, namun prakteknya tanpa adanya upaya komprehensif yang mencakup sanksi bagi perusahaan yang masih tetap menempatkan pekerja migran maka di tingkat daerah tetap akan ditemui berbagai kasus. Seperti yang terjadi di wilayah Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Poso, dimana SP Sumbawa dan SP Sintuwu Raya Poso masih mendampingi kasus perempuan buruh migran yang “ditahan” di penampungan perusahaan penyalur dan harus membayar ganti rugi karena tidak jadi berangkat ke negara tujuan.
Di sisi lain, proyek-proyek investasi dan infrastruktur yang selama ini mengganggu ruang hidup perempuan tidak berhenti. Diantaranya adalah proyek pembangunan tanggul laut di Kota Palu maupun pembangunan Makassar New Port. Pada situasi demikian, perempuan tidak hanya terancam kehidupannya oleh COVID-19 tapi juga tergusur dari ruang hidup dan kehidupannya akibat pembangunan proyek.
Pembelajaran COVID-19: Kegagalan Sistem Ekonomi Global Saat Ini
Nampak jelas bahwa pertimbangan ekonomi, khususnya keamanan investasi dan iklim usaha mendapat porsi perhitungan yang sangat besar. Sementara keselamatan rakyat dikesampingkan. Padahal krisis wabah pandemi COVID-19 ini adalah peringatan nyata bahwa sistem ekonomi yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi dan mengejar akumulasi kapital menghasilkan kerusakan lingkungan yang menimbulkan krisis tanpa kita bisa melindungi kesehatan kita sebagai individu dan masyarakat.
Wabah pandemi COVID-19 semestinya menjadi titik balik untuk tidak kembali pada kebijakan perdagangan yang “business as usual” dan tergantung pada investasi privat harus dikoreksi, khususnya yang terkait dengan kesehatan, pangan, serta layanan publik mendasar.
Beberapa negara yang bertindak cepat dengan segera menasionalisasi rumah sakit dan meletakkan pengelolaan pangan di tangan publik bukan privat menunjukkan bahwa ada yang salah dengan kebijakan ekonomi dan perdagangan pra pandemi.
Negara yang sudah kehilangan kapasitas produksi pangan akan sangat terpukul karena sangat tergantung ekspor impor, sementara pada situasi karantina semacam ini menjadi semakin terbatas.
Krisis yang saat ini terjadi adalah pengingat akan tuntutan gerakan sosial dan gerakan feminis untuk pembangunan yang berkeadilan. Gerakan solidaritas pun bermunculan dengan menggunakan kapasitas masyarakat sendiri. Seperti di Perancis dan Inggris yang membuat farm brigade dimana relawan-relawan yang sehat dan kuat diminta membantu bertani dengan jaminan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja. Di Indonesia, #RakyatBantuRakyat adalah sebuah tindakan kolektif yang muncul sebagai respon Negara yang terlalu lambat dan gagap melihat konteks Indonesia yang sangat beragam.
Desakan Solidaritas Perempuan
Melihat berbagai situasi di atas, tentunya dibutuhkan tindakan yang tidak biasa untuk menyikapi situasi Pandemi COVID-19. Dibutuhkan solidaritas warga, untuk dapat membagun sistem ketangguhan dan kekebalan, tidak hanya dari virus COVID-19, tetapi juga dari kerawanan pangan, dan berbagai persoalan pelanggaran hak dasar lainnya. Masyarakat, dan komunitas perlu membangun inisiatif dan sistem yang memastikan akes, kontrol, partisipasi perempuan di dalam proses perancangan, implementasi, maupun pengawasannya, termasuk manfaat yang juga dirasakan oleh perempuan.
Meski demikian, tetap penting untuk terus meningkatkan dan menuntut negara dalam menjalankan kewajibannya untuk menghormati, melindungi dan memenuhi Hak Asasi Warga Negaranya. Untuk itu, Solidaritas Perempuan menuntut negara (DPR dan Pemerintah) untuk:
1. Memastikan informasi yang disampaikan kepada publik mengenai COVID-19 adalah akurat, tepat waktu tidak diskriminatif dan konsisten terhadap prinsip-prinsip HAM. Semua informasi harus dapat diakses dan komunikasi menggunakan bahasa yang sederhana untuk memaksimalkan pemahaman.
2. Mengambil terobosan kebijakan yang cepat dan efektif untuk membantu kelompok paling rentan dalam menghadapi situasi krisis akibat pandemi COVID-19, khususnya perempuan, lansia, anak-anak, perempuan hamil dan menyusui, serta perempuan pekerja informal, dan perempuan buruh migran di luar negeri. Termasuk memastikan penanganan COVID-19 tidak melanggengkan ketidakadilan gender yang sudah terjadi ataupun menghasilkan bentuk ketidakadilan lainnya.
3. Menunda pembahasan dan pengesahan kebijakan di luar penanganan Pandemi COVID 19, untuk memastikan kewajiban transparansi dan partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan tetap dijalankan, dan tidak dikesampingkan dalam situasi pembatasan distansi fisik dan sosial.
4. Menggunakan pendekatan Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan, bukan pendekatan militeristik. Termasuk memperhatikan prinsip-prinsip Siracusa yang telah diadopsi oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada tahun 1984 dan komentar umum Komite HAM PBB tentang keadaan darurat dan kebebasan bergerak memberikan panduan otoritatif pada tanggapan pemerintah yang membatasi HAM karena alasan kesehatan masyarakat atau keadaan darurat nasional.
5. Melakukan penanganan pandemi COVID-19 yang yang komprehensif, termasuk di dalamnya fasilitas layanan kesehatan baik fisik maupun psikologis, mengambil kebijakan dan tindakan serius untuk pencegahan penularan virus, memastikan ketersedian dan kestabilan harga pangan, akses terhadap air dan sanitasi, memastikan perekonomian masyarakat menengah ke bawah yang terdampak kebijakan penanganan COVID-19 tetap bergerak, serta memberikan bantuan sosial yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk dapat hidup layak.
6. Berkoordinasi dengan pemerintah daerah dalam membangun jejaring pengaman daerah berbasis komunitas dalam upaya mitigasi penyebaran COVID-19, dengan memastikan keterlibatan perempuan di seluruh tahapan
7. Menghentikan segala bentuk penggusuran, dan relokasi masyarakat untuk tujuan kepentingan umum maupun investasi, karena akan semakin memperparah situasi psikologi, sosial, maupun ekonomi masyarakat di tengah penyebaran COVID-19.
Pemerintah harus mengambil langkah-langkah yang mengurangi dampak yang tidak proporsional pada anak-anak yang mengalami hambatan dalam mengakses pendidikan, seperti anak perempuan, anak berkebutuhan khusus ataupun difabel, anak korban penggusuran dan situasi lainnya.
Termasuk melihat kesulitan dalam mengikuti metode pembelajaran daring karena alasan ekonomi atau alasan lainnya
* Ega Melindo, aktivis Solidaritas Perempuan. Tulisan ini disarikan dari pernyataan sikap Solidaritas Perempuan dalam merespon situasi Pandemi Corona di Indonesia