Himbauan pemerintah agar masyarakat rajin mencuci tangan sebagai bagian antisipasi memutus penyebaran virus Corona, tidak sejalan dengan kenyataan bahwa tidak semua perempuan bisa mendapatkan akses untuk mencuci tangan dengan mudah.
*Ega Melindo- www.Konde.co
Hingga sekarang, masih banyak masyarakat yang tak bisa mencuci tangan karena mengalami krisis air dan tidak dapat mengakses air bersih untuk kebutuhan mereka.
Alih-alih menjalankan kewajiban tersebut, pemerintah justru menghasilkan kebijakan dan langkah-langkah yang secara terang-terangan melanggar, atau mengakibatkan terlanggarnya hak warga negara atas air. Hingga menimbulkan krisis air yang menimbulkan dampak yang berbeda bagi perempuan.
Krisis air yang terjadi semakin melanggengkan ketidakadilan gender bagi perempuan. Pasalnya, peran gender yang dilekatkan menempatkan prempuan untuk lebih banyak bersinggungan dengan air, seperti memasak, mencuci baju, mencuci peralatan makan, maupun memandikan anak.
Perempuan memiliki kebutuhan lebih besar atas air serta kerentanan spesifik untuk kesehatan reproduksinya. Krisis air juga membuat perempuan mengalami beban berlapis, karena harus berpikir dan bekerja lebih berat ataupun menyiasati pengelolaan uang rumah tangga untuk membeli air, demi memastikan ketersediaannya untuk kebutuhan keluarga dan rumah tangga.
Lebih jauh lagi, krisis air yang mengakibatkan kehancuran dan hilangnya sumber-sumber kehidupan masyarakat, juga akan berdampak secara berlapis bagi perempuan.
Perempuan seringkali juga harus beralih profesi, karena lahan pertaniannya tidak lagi bisa ditanam, tidak bisa menangkap ikan di sungai, dan lain sebagainya. Untuk tetap memenuhi kebutuhan keluarga, perempuan juga seringkali harus bermigrasi hingga bekerja di luar negeri dan mengalami berbagai kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia/ HAM.
Berbagai persoalan krisis air yang terjadi di Indonesia ini tidak terlepas dari skema kebijakan negara yang beroritentasi pada investasi dibandingkan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak warga negaranya atas air.
Air dan sumber mata air hanya dilihat sebagai komoditas yang diprivatisasi pelayanannya, dimonopoli, ataupun dibiarkan rusak dan/atau tercemar akibat aktivitas industri atas nama investasi dan pembangunan. Hal ini turut diperparah oleh krisis iklim, yang menghancurkan sumber mata air secara masif.
Persoalan Air di Indonesia
Persoalan lain adalah adanya privatisasi air yang di antaranya terjadi di Jakarta, di mana pengelolaan air diserahkan kepada 2 perusahaan air, PT. Aetra dan Palyja. Meski terus membayar dengan tarif tinggi untuk pelayanan air, masyarakat di Rawa Badak dan Cilincing misalnya terus mengalami permasalahan seperti air bau, keruh, debit air yang sedikit, bahkan hanya ke luar di waktu tertentu. Akibatnya, perempuan harus terjaga hingga dini hari untuk menampung air yang biasanya keluar pada tengah malam. Mereka juga harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli air isi ulang demi memenuhi kebutuhan air minum dan memasak makanan, karena air dari perusahaan tidak layak konsumsi.
Persoalan kedua adalah persoalan monopoli sumber mata air oleh perusahaan. Penguasaan dan penyedotan air besar-besaran untuk aktivitas pengolahan bahan tambang atau perkebunan skala besar, maupun untuk penyediaan layanan air perumahan dan pengolahan air minum dalam kemasan, dilakukan tanpa memperhatikan kebutuhan air bagi masyarakat sekitar. Seperti yang terjadi di Aceh Besar, di wilayah tambang semen oleh PT. Solusi Bangun Andalas (PT SBA).
Perusahaan melakukan penguasaan atau monopoli terhadap sumber air masyarakat, dengan melakukan penyedotan menggunakan mesin berkekuatan besar di daerah dekat hulu untuk kebutuhan produksinya dan mengakibatkan debit air sungai yang sampai ke perumahan penduduk terus menurun sehingga masyarakat kesulitan air. Situasi ini juga dialami oleh masyarakat di Desa Lassang Barat Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan, di mana debit air sumur warga semakin lama semakin menurun akibat penyedotan air tanah oleh perusahaan air minum dalam kemasan.
Persoalan ketiga, yaitu pencemaran sumber air karena limbah, di mana massifnya industri perkebunan skala besar, seperti sawit maupun tebu telah berdampak pada pencemaran air. Seperti yang terjadi di Desa Mantangai Hulu, Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah, dimana sungai Kapuas yang merupakan sumber air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tercemar karena limbah dari pertambangan emas di hulu sungai dan perkebunan sawit di sepanjang daerah aliran sungai.
Sedangkan data menunjukkan bahwa perempuan di Ogan ilir, Sumatera Selatan, sekarang tidak bisa lagi menangkap ikan dari sungai karena PTPN VII Cinta Manis, telah membuang limbah ke sungai, membuat air sungai menjadi kuning dan ikan-ikan mati. Hal ini berdampak pada menyusutnya penghasilan warga. Di kedua daerah ini perempuan juga mengalami ganguan kesehatan reproduksi dan gatal-gatal pada kulit mereka. Selain itu, perkebunan skala besar yang rakus air, juga membuat sumber mata air semakin dangkal dan air yang tersedia berkurang.
Persoalan keempat, adanya penghancuran sumber mata air masyarakat, salah satunya juga terjadi di Aceh Besar, di mana tambang semen yang saat ini dikuasai oleh PT. SBA, selama lebih dari 35 tahun telah mengeruk dan menghancurkan kawasan karst Lhok Nga. Penambangan batu gamping menggunakan ledakan telah mematikan goa-goa air di Kawasan Karst tersebut. Padahal berdasarkan hasil inventarisasi yang dilakukan oleh Karst Aceh menunjukkan bahwa Kawasan karst, Lhok Nga merupakan Kawasan karst kelas 1 yang seharusnya tidak diperbolehkan adanya aktivitas penambangan.
Tidak hanya dengan memfasilitasi perusahaan dan industri, keberpihakan negara kepada investor, juga diwujudkan melalui kebijakan-kebijakan yang dihasilkan.
Pasca dibatalkannya Undang-Undang (UU) Pengelolaan Sumber Daya Air oleh Mahkamah Konstitusi karena terbukti melanggar hak warga negara, DPR dan Pemerintah justru menghasilkan UU No. 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (UU SDA), yang lagi-lagi mencerminkan deregulasi dan privatisasi pelayanan publik dengan keberpihakan pada investasi.
Maka yang harus dilakukan saat ini adalah pemerintah harus menghentikan segala bentuk privatisasi dan monopoli air oleh perusahaan serta menindak tegas perusahaan yang melakukan pencemaran dan pengrusakan sumber air, memberikan jaminan partisipasi dan keterlibatan penuh perempuan serta keterwakilan kepentingan perempuan dalam kelembagaan, kebijakan, program dan pengambilan keputusan terkait pengelolaan air dan sumber daya air di semua tingkatan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring hingga evaluasi, untuk memastikan pengelolaan air dapat sesuai sasaran/kebutuhan dan keberkelanjutan, berdasarkan kebutuhan serta manfaat, baik kuantitas dan kualitas air yang dibutuhkan atau digunakan sehari-harinya.
Juga memberikan jaminan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi perempuan atas air yang cukup, aman, dan terjangkau secara fisik serta finansial untuk penggunaan pribadi, keluarga dan rumah tangga, maupun untuk kebutuhan produksi dan irigasi, dengan memastikan akses dan kesempatan yang setara bagi perempuan dan laki-laki atas hak atas air serta untuk mendapatkan manfaat dan hasil yang setara, baik bagi dirinya, keluarga dan komunitasnya.
*Ega Melindo, aktivis Solidaritas Perempuan, Jakarta. Tulisan ini disarikan dari pernyataan sikap Solidaritas Perempuan di hari Air sedunia, 22 Maret 2020