Ija dan sejumlah perempuan muda bercerita tentang bagaimana mengubah pandangan orang disekitarnya. Rata-rata, setelah lulus, mereka harus di rumah, tak boleh melanjutkan sekolah lagi atau bekerja, menunggu untuk dilamar
*Hariyani Putri- www.Konde.co
Lebih dari sebulan yang lalu, saya terbang dari Jakarta menuju Pangkep, daerah yang dijuluki dengan kabupaten tiga dimensi yang terletak 60 km dari kota Makassar.
Kabupaten Pangkep terdiri atas 3 struktur wilayah, yaitu daratan, pegunungan, dan kepulauan yang ditempati oleh 300.000 penduduknya dari berbagai latar belakang dan penghidupan.
Senin, 9 Desember 2019, jam 5 sore akhirnya saya tiba di Pangkep. Saya duduk di sudut ruang utama sekretariat organisasi yang dindingnya bercat hijau. Ruangan ini cukup luas untuk ukuran sebuah kantor disini, mungkin sekitar 25 meter persegi. Tidak ada sekat di ruang tersebut, sehingga saya bisa mendengar dengan jelas suara kawan-kawan yang sedang berdiskusi di tengah ruangan.
“Assalamualaikum,” sahut seorang anak muda perempuan yang baru saja datang. Dia masih menjinjing helm di tangannya sambil menyalami orang-orang yang ada di ruangan.
Anak muda perempuan itu bernama Muarija, atau Ija panggilan akrabnya. Ija datang sore itu untuk berbagi cerita bersama saya.
Hari itu saya memang datang untuk khusus mendengarkan perjuangan para perempuan muda disini. Ija akan bercerita tentang bagaimana mengubah pandangan orang disekitarnya tentang anak muda perempuan yang bisa berdaya dan berkarya di wilayah ini.
Ija adalah anak tertua dari 2 bersaudara di keluarganya. Sekitar bulan Mei 2019 lalu, Ija lulus Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) jurusan akutansi. Sudah sebulan ini Ija bekerja sebagai konsultan di Tokopedia Center di kabupaten Pangkep.
Namun, apa yang Ija capai saat ini bukanlah perjalanan yang mudah. Sebab Ija harus dapat meyakinkan orang tuanya untuk memberikan Ija ruang dalam mengejar impiannya.
Pola pikir orang tua Ija dulunya, ketika Ija masih duduk di bangku sekolah, memandang kegiatan keorganisasian ataupun pelatihan tidak memberikan manfaat banyak bagi anak mereka.
“Saya disuruh diam di rumah saja. Saya izin pergi, tidak diizinkan, karena dibilang buang-buang waktu,” ungkap Ija.
Banyak cara dilakukan Ija untuk meyakinkan orangtuanya, dari berbicara sampai memberikan contoh bahwa perempuan muda seperti dirinya harusnya boleh berorganisasi dan boleh bekerja di luar rumah. Karena banyak perempuan seumuruan Ija yang setelah lulus sekolah harus tinggal di rumah, menunggu untuk dilamar lalu dinikahkan. Jika itu terpenuhi, orangtua dianggap lunas atau lulus dalam mendidik anak.
Tidak seperti anak laki-laki disana yang bebas untuk memilih setelah sekolah. Anak perempuan dianggap tak punya pilihan seperti laki-laki.
Banyak sekali pertanyaan dan pertentangan diantara keduanya. Namun Ija terus meyakinkan orangtuanya. Kuncinya adalah sabar, karena tak semua orangtua beruntung mendapatkan lingkungan pergaulan seperti dirinya. Jadi ia harus menerangkan jalan pikirannya pada orangtuanya.
Secara perlahan Ija mulai dapat menggeser pola pikir orang tuanya, terutama ibunya. Ia menerangkan metode GALS yang ia dapat dari organisasi perempuan. Dengan dialog inilah, Ibunya kemudian memberikan izin Ija untuk berorganisasi, bahkan untuk bekerja seperti saat ini.
“GALS sudah membantu saya untuk membuka jalan mencapai mimpi saya, kak. Awalnya banyak yang meremehkan ini, tapi ternyata luar bisa sekali,” kata Ija.
GALS atau Gender Action Learning System merupakan suatu alat yang bertujuan untuk memberi perempuan dan (juga) laki-laki lebih banyak kontrol atas kehidupan mereka dan mendukung gerakan berkelanjutan untuk keadilan gender. Metode ini banyak dilakukan untuk menggerakkan komunitas untuk memahami makna gender
Rose Otieno Ochieng, social scientist specialised in gender dari Kenya menuliskan, ini merupakan metodologi rumah tangga yang dipimpin masyarakat yang bertujuan untuk memberi perempuan dan laki-laki kontrol lebih besar atas pengembangan pribadi, rumah tangga, masyarakat dan organisasi. Metode ini paling sering digunakan untuk mendukung petani dalam pengambilan keputusan intra-rumah tangga yang lebih kolaboratif, dan umumnya untuk tujuan pembangunan.
Metode ini banyak digunakan untuk membantu meningkatkan pemberdayaan ekonomi perempuan, mengurangi kesenjangan produktivitas gender dan meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.
Ada 7 pertanyaan penelitian di sekitar hasil penelitian dan para praktisi GALS menggunakan pertanyaan untuk memfasilitasi pengumpulan data. Pertanyaan-pertanyaan tersebut terdiri dari informasi tentang apakah target penerima mengalami perubahan dalam pemberdayaan ekonomi perempuan, kesenjangan produktivitas gender dan ketahanan pangan dan gizi di tingkat rumah tangga
Ija merasa berbeda setelah belajar dengan sistem GALS ini.
“Saya pikir ruang gerak anak perempuan lebih terbatas dibandingkan anak laki-laki, ditambah omongan tetangga semakin membuat orang tua sensitif terhadap anak perempuan,” kata Ija.
Orang tua di desa ini memiliki ketakutan jika anak perempuan bekerja di luar. Ini dibarengi dengan pemikiran masyarakat yang sensitif melihat perempuan bekerja di luar, jauh, atau jika anak perempuan pulang agak malam.
“Saya sekarang memperkenalkan cara ini kepada teman-teman yang lain, kak. Teman-teman perempuan yang dulu merasa tidak ada tujuan hidup atau cita-cita, sekarang memiliki impian yang akan dikejarnya,” ungkap Ija.
Ija bercerita, banyak temannya kemudian mempunyai pandangan berubah ketika Ija bercerita dengan metode ini. Dulu, anak perempuan seperti tidak punya cita-cita atau cita-cita mereka sudah ditentukan keluarga.
“Saya dulu punya teman, sekarang dia mulai aktif mencari kerja, sudah mulai wawancara. Padahal dulunya dia percaya kalau perempuan itu sebaiknya tinggal di rumah saja. Tidak ada cita-cita menjadi perempuan yang sukses dan mandiri,” sambung Ija.
Namun, usaha Ija dalam memperkenalkan metode tidaklah mudah. Beberapa orang tidak mau mendengarkan. Mereka berpikir Ija terlalu muda untuk memberitahu dan membicarakan hal tersebut. Ini mungkin akan berbeda jika disampaikan oleh orang yang lebih dewasa.
Hal tersebut tidak membuat Ija sebagai anak muda menjadi menyerah. Kegigihan Ija membuahkan hasil. Mereka yang tidak mendengarkan berujung tertarik pada hal yang disampaikannya. Setidaknya sekitar 8 teman perempuan dan 5 teman laki-laki di komunitasnya sudah mulai mengubah pandangannya tentang perempuan.
Ija juga berniat untuk memperkenalkan metode ini kepada salah satu adik kelasnya dulu yang dijodohkan oleh orang tuanya pada saat adik kelasnya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).
“Dia, adik kelas saya, menyesal kenapa tidak bisa mengejar cita-cita,” kata Ija dengan suara prihatin.
Data Biro Pusat Statistik (BPS) SUSENAS Maret 2019 menunjukkan bahwa kelompok usia kawin pertama anak muda perempuan provinsi Sulawesi Selatan berada di bawah usia 15 tahun dan jumlahnya hampir mencapai 6%, sedangkan untuk kelompok usia 16-18 tahun mencapai 32%. Kondisi tersebut membuat anak muda perempuan pada umumnya harus berhenti sekolah. Tentu saja ini akan berimbas pada kesempatan anak muda perempuan untuk mencapai cita-citanya dalam mendapatkan pekerjaan.
Sudah satu jam Ija bercerita. Ternyata hari sudah mulai malam. Di penghujung cerita, Ija mengatakan bahwa ia ingin mengajak teman-temannya yang sudah lulus untuk bekerja agar menjadi perempuan mandiri.
“Sebenarnya saya ingin membuat usaha. Saya harap saya dapat mewujudkannya dalam waktu dekat karena target-target saya satu per satu mulai tercapai. Kalau punya usaha, saya juga bisa memberi kerja kepada teman-teman saya.”
Ija saat ini berpikir untuk membuat usaha disana, agar para perempuan setelah lulus kuliah bisa mengerjakan usaha bersama-sama dirinya.
Entah kenapa, cerita Ija terasa menyejukkan. Di tengah semrawutnya kondisi dan tantangan yang di hadapi anak muda saat ini, ternyata semangat anak muda di daerah masih membara. Terutama anak muda perempuan yang kini saling mendukung untuk menciptakan kemandirian perempuan.
(Referensi: https://gender.cgiar.org/gals-for-qualitative-research/)
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
(Penulisan nama dan cerita untuk publikasi sudah mendapat persetujuan dari yang bersangkutan)
*Hariyani Putri, sehari-hari bekerja di Oxfam, Jakarta