Seorang pengunjung membaca penjelasan pameran 'Speak Up' di Neha Hub, Cilandak, Jakarta Selatan, pada Minggu (6/8/2023). (Dok. Konde.co / Salsabila Putri Pertiwi)

Pameran ‘Speak Up’, Anak-Anak Bersuara Melawan Isu Kekerasan Seksual

Aku mengunjungi pameran bertajuk ‘Speak Up’ yang diselenggarakan Creativite Indonesia di Neha Hub, Cilandak, Minggu (6/8). Pameran ini adalah respon atas isu kekerasan seksual terhadap anak melalui karya seni. Dibuka bertepatan dengan Hari Anak Nasional pada tanggal 22 Juli 2023, pameran ‘Speak Up’ masih berlangsung hingga 22 Agustus 2023.

Aku berjalan menyusuri ruangan pameran ‘Speak Up’. Instalasi karya pameran berada di dua ruangan terpisah di Neha Hub. Kuputuskan untuk mampir ke pameran di sebuah ruangan kaca dengan kanvas berisi cap-cap tangan merah di depannya terlebih dulu.

Begitu memasuki ruangan kecil itu, kaki yang baru membawaku beberapa langkah beranjak dari pintu kaca pun berhenti di depan sebuah karya. Bukan lukisan, karya itu adalah sebuah kolase berisi tulisan tangan pada kertas yang tercabik-cabik di atas surat kabar. 

Sepersekian detik pertama, mataku menangkap tiga kata. Aku tercekat. Tanpa sadar, sebutir air mata menggelayut di sudut, lalu bergulir perlahan.

“IBU AKU KANGEN”. Semuanya ditulis dalam huruf kapital. Tiga kata itu saja cukup untuk membikin hati pilu.

Kolase bertajuk ‘Kekerasan Seksual’ karya Satrio Prayoga (16) pada pameran ‘Speak Up’, Minggu (6/8/2023). (Dok. Konde.co / Salsabila Putri Pertiwi)
Baca Juga: Orang Tua Membentak Dan Pukuli Anak, Bisakah Dilaporkan?

Kolase berjudul ‘Kekerasan Seksual’ tersebut dibuat oleh Satrio Prayoga yang berusia 16 tahun. Ada tempelan foto sosok perempuan yang mendekap diri di sudut ruangan. Di foto yang sama, terlihat tangan seseorang yang memegang sabuk. Foto itu direkatkan oleh plester penutup luka. Sebuah plester lain terhubung pada seutas tali; tepat di bawahnya, ada gambar meja kecil.

Kolase itu mengisahkan perempuan bernama Aurora. Menurut narasi, ia adalah seorang perempuan cantik, namun penuh trauma akibat dilecehkan oleh teman-teman lelakinya di sekolah. 

Aurora sudah tak memiliki ibu di usianya yang ke-6. Lebih buruk lagi, Aurora diperkosa dan disiksa ayahnya sendiri. Ia mencari pertolongan, tapi tak ada; dirinya tak berdaya. Singkat cerita, Aurora pun memutuskan untuk mengakhiri hidupnya yang tragis. Sebab ia hanya ingin merasakan ketenangan.

Melalui karya itu, Satrio Prayoga menunjukkan bahwa kekerasan seksual pada perempuan dan anak berdampak serius terhadap kondisi mental korban. 

Pada skenario terburuk, trauma membuat korban memilih kematian sebagai jalan untuk membawanya pada ketenangan diri. Ketika kekerasan seksual terus terjadi dan lingkungan malah melekatkan korban pada stigma, sering kali itulah titik ketika korban merasa tak punya pilihan lain.

‘Snake’, lukisan karya Amani Ait Elasri di pameran ‘Speak Up’, Minggu (6/8/2023). (Dok. Konde.co / Salsabila Putri Pertiwi)
Baca Juga: ‘Ibu Digital’ dan Sharenting: Pentingnya Menjaga Hak Privasi Anak

Pada pameran ‘Speak Up’ ini, memang ada berbagai jenis karya seni dari anak-anak dan remaja berusia 7-17 tahun. 

Karya mereka adalah respon atas isu kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Bukan hanya berlandaskan pengetahuan yang mereka dapatkan dari berbagai media. Beberapa karya yang dipamerkan juga merupakan medium bercerita bagi anak-anak yang secara langsung mengalami kekerasan seksual.

“Anak sangat rentan menjadi korban kekerasan seksual maupun eksploitasi seksual karena faktor perkembangan psikologis, pola pikir, maupun situasi ekonomi, sehingga dimanfaatkan para pelaku dengan cara memanipulasi korban,” ungkap kurator pameran ‘Speak Up’, Gie Sanjaya, dalam sambutannya di katalog pameran.

“Urgensi ini merupakan respon terhadap RI darurat kekerasan seksual pada anak,” tulis Gie Sanjaya. “Melalui data statistik, narasi para penyintas, dan kesaksian, pameran ini berupaya meruntuhkan tembok penyangkalan dan sikap apatis.”

Seni, Medium Kisah Personal tentang Kekerasan Seksual terhadap Anak
Pengunjung memandangi lukisan yang dipamerkan pada pameran ‘Speak Up’, Minggu (6/8/2023). (Dok. Konde.co / Salsabila Putri Pertiwi)

Selain kolase Satrio, terdapat 15 karya seni yang dipamerkan di ruangan tersebut. Salah satunya adalah lukisan karya Amani Ait Elasri (11) berjudul ‘Snake’. Lukisan itu menampilkan sosok perempuan telanjang dengan ular membelit lehernya, dan tangan-tangan menyentuh tubuhnya. 

Amani menjelaskan makna lukisannya pada sesi diskusi publik daring ‘Karya dan Suara’, Sabtu (12/8/2023). “Pelaku sexual harassment ini kayak ular yang cepat banget pergi dan nggak bertanggungjawab,” ujarnya.

Sementara itu, wajah sang perempuan tampak terdistorsi dan berantakan. Menurut Amani, itu karena perempuan tersebut tidak mengenali dirinya sendiri setelah mengalami kekerasan seksual.

Amani juga bercerita, ia tergugah untuk membuat karya tersebut gara-gara temannya yang menjadi pelaku kekerasan seksual.

“Contohnya teman aku, soalnya dia mesum banget. Kalau ada perempuan lewat, dia suka bilang, ‘Ayo ‘gini’ sama aku’,” kata anak perempuan yang kini duduk di bangku kelas 5 SD itu.

Baca Juga: Darurat Bullying Anak, Orang Tua dan Guru Jangan Lengah
Instalasi ‘Bilik Aman’ di pameran ‘Speak Up’, Minggu (6/8/2023). (Dok. Konde.co / Salsabila Putri Pertiwi)

Sebuah instalasi di pojok ruangan tampak sederhana, mungil, tapi juga tak henti disambangi pengunjung. Instalasi itu bertajuk ‘Bilik Aman 15+’. Hadir sebagaimana namanya, ia menjadi wujud ‘ruang aman’ yang amat terbatas ketika lingkungan berlaku tidak adil kepada anak.

Di dalam bilik tersebut, pengunjung dapat mencurahkan pengalaman serta mendengarkan kisah korban dan penyintas kekerasan seksual. Pengunjung juga bisa menuliskan pesan bagi korban dan penyintas pada post-it serta menempelkannya di tembok bilik.

‘Blood Oath’, lukisan karya seniman Prajna Dewantara di Pameran ‘Speak Up’, Minggu (6/8/2023). (Foto: Konde.co / Salsabila Putri Pertiwi)

Karya terbesar yang dipajang di tengah ruangan itu adalah lukisan akrilik dari seniman Prajna Dewantara Wirata. Lukisan berjudul ‘Blood Oath’ itu menampilkan potret diri Prajna kecil, yang dilukis tangan dengan cat merah. Karya tersebut menggambarkan luka batinnya sebagai penyintas kekerasan seksual saat masih anak-anak.

Prajna berkisah, ia merantau ke Jakarta karena trauma akan kekerasan seksual yang terjadi di kampung halamannya. Tapi setelah pindah, ia malah mengalami hal serupa. Pelakunya adalah sosok yang pernah ia anggap sebagai ‘mentor’nya.

Seniman asal Bali itu mengaku, ia sempat berhati-hati saat membuat karya untuk pameran ‘Speak Up’. Sebab, pameran ini dimaksudkan untuk anak-anak, dan ia takut karyanya terlalu ‘keras’ untuk ditampilkan.

“Sampai akhirnya, H-seminggu Creativite melihat lagi karya anak-anak itu, saya kaget,” ujar Prajna pada diskusi ‘Karya dan Suara’. “Saya kaget tapi senang karena anak-anak ini sangat vokal dalam mengekspresikan karyanya. Buat saya, itu cukup mewakilkan apa yang saya rasakan sebagai penyintas.”

Pada pembukaan pameran ‘Speak Up’, para pengunjung diminta membubuhkan cap tangan mereka dengan cat merah di atas kanvas tersebut. Lukisan ‘Blood Oath’ pun menggambarkan hancurnya masa kecil Prajna—juga anak-anak korban kekerasan seksual lainnya.

Darurat Kekerasan Seksual terhadap Anak di Indonesia
Lukisan ‘Pasung’ karya Maahirah Faiqah Maruwkah di pameran ‘Speak Up’, Minggu (6/8/2023). (Dok. Konde.co / Salsabila Putri Pertiwi)

Sebuah lukisan di pameran ‘Speak Up’ rasanya sulit untuk dilewatkan begitu saja. Lukisan itu berjudul ‘Pasung’, karya Maahirah Faiqah Mabruwkah (16). Karya lukis itu menampilkan perempuan telanjang yang terpasung di pojok toilet terbengkalai, dengan banyak mata memandanginya.

Maahirah menjelaskan, dedaunan dan pepohonan di bagian atas lukisan menandai betapa lama kasus kekerasan seksual kerap diabaikan. 

Kemudian, “Kenapa aku gambarnya toilet? Karena buatku toilet itu tempat privasi seseorang. Tapi toilet di sini digambarkan sudah buluk, kumuh, dan terhanyut.”

‘Cat Calling in Sexual Harassment’ karya Halfiana Zuniar Rizka di pameran ‘Speak Up’, Minggu (6/8/2023). (Dok. Konde.co / Salsabila Putri Pertiwi)

Pameris lain dalam pameran ‘Speak Up’, Halfiana Zuniar Rizka (16), mengaku bahwa ia sendiri mengalami kekerasan seksual. Ana pernah di-catcall saat memakai seragam sekolah dan mengendarai sepeda motor.

“Lebih ke pengalaman sendiri. Kadang kalau lagi jalan, kadang lagi sama teman pun di-catcalling,” kata Ana. “Di jalan, pakai seragam. Ada aja yang bilang, ‘Anak SMA, sini sama om aja.’”

Ana merasa dirinya orang yang mudah emosi, dan ia sadar perkataan itu membuatnya tidak nyaman. Tapi ia juga bingung, sebab tidak mungkin ia begitu saja memarahi pelaku yang merupakan orang asing.

“Anak SMA, ya, terserah aku mau bawa kendaraan sendiri, dandan kayak gimana,” Ana menegaskan. “Semoga aja nggak kejadian lagi.”

Baca Juga: ‘Anak Butuh Perhatian’ Potret Maraknya Pernikahan Anak di Blitar

Isu kekerasan seksual di Indonesia mestinya jadi sesuatu yang diperhatikan secara serius oleh semua pihak. Apa lagi, banyak anak yang menjadi korban. Data yang dihimpun KemenPPPA menunjukkan, lebih dari 9.000 kasus kekerasan hingga tindak kriminal terhadap anak terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2023. Mayoritas korbannya adalah perempuan.

“Anak adalah subjek atau kelompok yang mereka mendapatkan perhatian khusus. Karena teman-teman (anak) masih berada dalam pengasuhan dari orang tua atau guru,” ujar Direktur LBH Jakarta, Citra Referandum. “Bahwa apapun yang teman-teman hadapi, itu adalah tanggung jawab orang dewasa.”

“Kasus kekerasan seksual ini traumanya itu akan dibawa sampai mati. Dia tidak akan bisa sembuh seperti penyakit fisik,” kata Citra.

Kondisi darurat kekerasan seksual juga diungkapkan oleh Komisioner Komnas Perempuan, Very Sitohang.

“Setiap hari ada rata-rata 17 laporan kasus kepada Komnas Perempuan,” kata Very.

Ia mengakui, saat ini sulit sekali untuk menemukan ruang aman dari kekerasan seksual. Tapi, menurut Very, sudah ada upaya-upaya untuk menciptakan ruang aman tersebut.

Citra pun menambahkan, penanganan kasus kekerasan seksual jangan sampai melupakan korban atau penyintas dan keluarganya. Jelas, pelaku harus ditindak secara hukum. Tapi penyintas dan keluarga juga berhak mendapatkan dukungan untuk pulih.

“Tidak semata-mata sampai penghukuman pelaku. Tapi penyintas dan keluarga juga harus mendapatkan dukungan dan ekosistem yang memadai untuk pulih dari trauma,” Citra berujar.

Tak Ada Alasan untuk Takut
Instalasi karya seni anak-anak di pameran ‘Speak Up’, Minggu (6/8/2023). (Dok. Konde.co / Salsabila Putri Pertiwi)

Di sisi lain Neha Hub, ada satu ruangan lagi yang digunakan untuk menampilkan karya anak-anak pada pameran ‘Speak Up’.

Pengunjung dapat menyaksikan lebih banyak karya seni di ruangan tersebut. Terpampang pula penjelasan mengenai pameran ‘Speak Up’ di salah satu bagian dinding. 

‘You Got NO Reason to be Afraid’, karya lukis dari Juan Cunda Muhamad, di pameran ‘Speak Up’ Minggu (6/8/2023). (Dok. Konde.co / Salsabila Putri Pertiwi)

Selain karya-karya yang mengisahkan pengalaman dan kekhawatiran tentang kekerasan seksual, beberapa karya juga menguatkan korban dan penyintas. Seperti lukisan akrilik karya Juan Cunda Muhamad (17).

“Aku tahu (isu kekerasan terhadap perempuan dan anak) karena dari berita lagi ramai, di media sosial,” kata Juan.

Lukisan Juan yang berjudul ‘You Got No Reason to be Afraid’ rupanya terinspirasi dari lagu Taylor Swift.

“Aku inspirasinya dari lagu Taylor Swift, judulnya ‘You are on Your Own,” jelasnya. “Jadi mendukung para korban untuk tidak takut speak up.”

Baca Juga: Pembunuhan Anak Meningkat: Save the Children Desak Pemerintah Fokus Kesehatan Mental Ortu

Sesuai namanya, pameran ‘Speak Up’ diharapkan tidak berhenti pada menampilkan kengerian kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan. Selain mendorong munculnya kesadaran seluruh pihak terhadap urgensi isu ini, perlu hadir pula dukungan bagi korban dan penyintas. Sehingga, mereka dapat bercerita dan mencari pertolongan, serta tidak merasa sendiri.

Prajna Dewantara pun menyadari pada suatu waktu: sudah waktunya ia mengungkapkan kisahnya.

“Kayaknya nggak bisa kalau saya terus-terusan diam,” katanya.

Meski awalnya sulit, kini Prajna mampu melakukan konfrontasi terhadap orang yang melecehkannya. Itu karena ia mengedukasi dirinya sendiri. Prajna pun menekankan pentingnya edukasi tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, terutama bagi keluarga.

“Semua berawal dari keluarga. Penting bagi keluarga untuk mengedukasi diri agar anak-anak terlindungi dari kekerasan seksual,” terang Prajna.

Jika kamu mengalami kekerasan seksual, kamu bisa melaporkan dan mencari bantuan ke call center dan hotline berikut ini.

  • Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA)
  • Call center SAPA 129 / 08211129129 (WhatsApp)
  • E-mail pengaduan@komnasperempuan.go.id / media sosial Komnas Perempuan
  • Call center Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) 148 / 085770010048 (WhatsApp) / media sosial LPSK
  • Cari Layanan

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!