Perempuan ODHA, Kelangkaan Obat Antiretroviral dan Kerentanan Dalam Pandemi Covid-19

Kelangkaan Obat Antiretroviral (ARV) yang terjadi dalam pandemi Covid-19 membuat perempuan Orang dengan HIV/ AIDS atau perempuan ODHA semakin rentan terhadap kondisi kesehatannya

*Aprelia Amanda- www.Konde.co

“Ketika ARV berhenti, maka nyawa orang dengan HIV/AIDS (ODHA) akan terancam,” tutur Mairinda Sembayang dari Jaringan Indonesia Positif dalam sebuah diskusi online yang diikuti Konde.co pada 29 April 2020.

Diskusi ini diselenggarakan oleh Koalisi Peduli Kelompok Rentan Korban Covid-19 (Pekad) menghadirkan tiga narasumber yaitu Meirinda Sembayang dari Jaringan Indonesia Positif (JIP), Aisya Humaida dari LBH Masyarakat, dan Rosmah Karlina dari Aksi Keadilan Indonesia.

Kini, di saat Covid-19 mewabah, aktivitas manusia berubah dan kecemasan akan kelangkaan ARV membayangi para pasien HIV/AIDS. Sejak diberlakukannya pembatasan wilayah, semua aktivitas publik jadi terbatas termasuk layanan kesehatan yang berubah menjadi tempat layanan khusus pengidap Covid 19.

Antiretroviral merupakan obat yang digunakan ODHA sebagai supply untuk bertahan hidup. Selama Pandemi Covid-19, obat ini tiba-tiba sangat langka dan para ODHA sulit untuk mengaksesnya. Beberapa ODHA meminjam obat dari ODHA yang lain dan akan mengembalikan ARV pinjamannya jika ia sudah bisa mengaksesnya kembali

Pengobatan Antiretroviral (ARV) berfungsi untuk memperlambat perkembangan virus HIV. Obat ini membuat ODHA bisa bertahan hidup lebih lama dan beraktivitas normal. Namun ARV semakin sulit didapatkan ketika pandemi Covid 19 menyerang Indonesia.

Situasi ini sulit karena di saat pandemi, ODHA harus mencari obat yang sulit didapatkan, padahal biasanya mereka bisa mendapatkan dengan lebih mudah

“Pengobatan Antiretroviral (ARV) berfungsi untuk memperlambat perkembangan virus HIV. Obat ini membuat ODHA bisa bertahan hidup lebih lama dan beraktivitas normal. Namun, ARV semakin sulit didapatkan ketika pandemi Covid-19 menyerang Indonesia,” ujar Mairinda.

Kesulitan ARV dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti aktivitas penerbangan udara yang terhambat hingga alih fungsi beberapa rumah sakit umum menjadi rumah sakit rujukan Covid-19.

“Saat ini, Indonesia memiliki stok ARV yang terbatas, sehingga ODHA semakin sulit mendapatkan ARV. Sebanyak 70 persen ARV yang ada di Indonesia didatangkan dari Tiongkok. Karena Covid-19, banyak penerbangan udara yang terhambat sehingga pengiriman ARV dari Tiongkok tidak maksimal,” tutur Mairinda.

“Alih fungsi beberapa rumah sakit umum menjadi rumah sakit rujukan Covid-19 juga menghambat ODHA untuk mengakses ARV. Mereka bukan hanya sulit mengakses ARV, tapi juga khawatir ketika datang ke rumah sakit justru akan tertular Covid-19,” ungkapnya.

Beberapa waktu lalu, Kementerian Kesehatan (Kemkes) telah mengeluarkan protokol yang memperbolehkan pasien HIV/AIDS mengambil ARV untuk beberapa bulan ke depan sehingga mereka tidak perlu bolak-balik ke rumah sakit. Namun kenyataannya, stok ARV hanya cukup untuk tiga sampai lima hari. Selebihnya ODHA harus mencari dan mengantri kembali

Sebetulnya Kemkes juga mengatur distribusi ARV bagi ODHA tanpa harus ke rumah sakit. Pasien bisa memesan ARV dengan menghubungi layanan kesehatan, kemudian petugas akan mengantarkan ke rumah pasien. Prosedur ini dibentuk untuk mengurangi risiko ODHA terkena Covid-19, tapi aturan ini hanya bisa dilakukan di Jakarta.

Masalah lain yang mendera ODHA yakni kesulitan mereka mengakses layanan pemeriksaan VCT-HIV serta PMTCT (penularan HIV pada perempuan hamil ke bayinya) karena beberapa pusat layanan kesehatan tidak memberikan pelayanan selama masa pandemi Covid-19. Ini tentu menjadi problem serius, sebab pencegahan HIV/AIDS terhadap perempuan hamil ke bayinya menjadi lambat untuk terdeteksi.

Persoalan yang dialami oleh pasien HIV/AIDS selama pandemi Covid-19 ini menjadi bukti bahwa pemerintah masih mengabaikan hak kesehatan yang layak bagi para pasien ODHA.

Koalisi Peduli Kelompok Rentan Korban Covid-19 (PEKAD) dalam pernyataan persnya menjelaskan bahwa perempuan sangat mungkin mengalami peran ganda ketika bekerja di rumah.

Skema belajar di rumah dan kerja di rumah membuat mereka harus mengambil peran sebagai guru, pengasuh utama anak dan keluarga lainnya, serta mengerjakan pekerjaan domestik. Peran ganda inilah yang sangat memungkinkan mereka mengalami rentan mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

LBH juga Apik mencatat, sepanjang 16 Maret sampai Mei 2020 terdapat 51 kasus KDRT. ODHA perempuan, bukan tak mungkin mereka akan semakin rentan karena kondisi seperti kelelahan, harus konsentrasi mencari obat untuk dukungan kesehatannya

(Foto/Ilustrasi: Pixabay)

*Aprelia Amanda, biasa dipanggil Manda. Menyelesaikan studi Ilmu Politik di IISIP Jakarta tahun 2019. Pernah aktif menjadi penulis di Majalah Anak (Malfora) dan kabarburuh.com. Suka membaca dan minum kopi, Manda kini menjadi penulis dan pengelola www.Konde.co

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!