Di Papua, Rawa-rawa Berubah Jadi Lumpur Kematian Perempuan Akibat ‘Pembangunan’

Di Papua Selatan, rawa-rawa yang dulu memantulkan kanvas langit, kini telah berubah menjadi lumpur karena proyek-proyek negara.

Bayangkan kondisi ini. Seorang perempuan menimba air di rawa yang mulai kering. 

Embernya terisi separuh air, separuh bayangan langit. Ia tahu air itu tak lagi bisa diminum, tapi ia tetap menyendok dari genangan terakhir.

Pemandangan seperti ini bukan di satu tempat saja. Di Papua Selatan, rawa-rawa yang dulu memantulkan kanvas langit, kini berubah menjadi lumpur karena proyek-proyek besar negara yang bernama Proyek Strategi Nasional (PSN). 

Di tengah lumpur itu, perempuan masih saja berusaha menimba air. Ini dilakukan bukan sekadar untuk bertahan hidup, tetapi untuk mengingat bahwa hidup belum berakhir. Mungkin itulah harapan paling sederhana yang terucap dari kalimat Mama Yasinta Moiwend dalam rekaman video @rumah.aman (11 Juli 2025).

“Tanah kami yang digusur itu ibu kami. Kami olah tanah untuk mendapat makan-minum dari tanah. Sekarang hewan-hewan sudah jauh, rawa-rawa digusur habis. Kami sudah kehilangan ibu! Lumpur putih yang saya pakai ini tanda duka karena saya kehilangan Ibu!.”

Suaranya gemetar haru, marah, tapi juga tegas, konsisten berteriak.

“Tolak PSN. Papua bukan tanah kosong.” 

Tanah yang disebutnya ibu bukanlah kiasan. Ia sungguh-sungguh tubuh yang memberi makan, minum, dan perlindungan. Tubuh yang kini dilukai dan dibagi-bagi atas nama pembangunan. Karena itu, ia melumuri dirinya dengan lumpur sebagai tanda duka bagi ibu yang kini telah menjadi lumpur.

Baca juga: “Kami Bukan Sekadar Konten” Perempuan Papua Menggugat Objektifikasi di Media Sosial

Di Kampung Onggari, Papua Selatan, Mama Rufina Gebze, perempuan adat Malind, bercerita bahwa tanah mereka tiba-tiba sudah dipetak-petak tanpa sepengetahuan warga. Sejak lahan mulai dibuka, rawa-rawa mengering, dan kehidupan di kampung berubah. Orang-orang mulai saling curiga, bahkan keluarga terpecah karena lahan.

“Kalau hutan kami sudah habis, suatu saat kita bisa musnah,”

Dalam video dokumentasi Solidaritas Merauke bersama Greenpeace Indonesia (2025) itu, wajahnya bercampur dengan kemarahan dan ketakutan, tapi juga ada keberanian yang sama dalam suara Mama Yasinta. Suara itu menunjukkan bahwa keberanian untuk tetap menimba air di tengah rawa yang kian surut tetap mereka lakukan.

Perjuangan Mama Rufina dan Mama Yasinta bergema jauh melampaui Papua Selatan, seperti suara para perempuan Kendeng yang menyemen kaki mereka demi melindungi gunung, atau petani Wadas yang menolak tambang di ladang mereka. Dari Kendeng sampai Merauke, tubuh perempuan menjadi garis terakhir yang menolak logika pembangunan yang mematikan, yaitu menolak ketika tanah disebut “sumber daya,” padahal bagi mereka, tanah adalah ibu.

Dalam tulisannya “Nekropolitik Negara: Militerisasi Pangan di Tanah Malind-Anim” (Pusaka, 2024), Laksmi Savitri menyebut proyek food estate di Papua Selatan sebagai wujud nyata nekropolitik negara, politik yang menentukan siapa yang boleh hidup, dan siapa yang dapat dikorbankan atas nama kemajuan. 

Istilah nekropolitik, dari Achille Mbembe menjelaskan bagaimana kekuasaan modern bekerja melalui penciptaan kematian, yaitu bukan lewat senjata, tapi lewat kebijakan yang perlahan mematikan. Negara tampak sibuk “membangun,” tapi diam-diam menciptakan penderitaan bagi rakyat. 

Di Papua Selatan, nekropolitik itu hadir lewat peta-peta pembangunan yang dingin, peta yang membelah hutan dan rawa, memberi warna dan kode untuk lahan, tetapi menghapus wajah-wajah manusia yang telah tinggal di sana turun-temurun.

Baca juga: Kemana Harus Mencari Makanan Tradisional Papua? Hutan Kami Dirusak, Perempuan Diserbu Makanan Dari Luar

Begitu teganya, ketika negara kapitalis memandang tanah Papua seperti kertas kosong, menandai setiap blok dengan label Food Estate, Zona Strategis, atau Cadangan Negara, seolah-olah di bawah garis-garis itu tidak ada kehidupan. Mereka lupa—atau sengaja melupakan—bahwa di sana ada hidup manusia-manusia hitam dan keriting, pemilik hak ulayat, penjaga rawa dan sagu, yang tahu setiap nama pohon dan arah angin. Di peta negara, kami hanya “penduduk sekitar area proyek.” Tubuh kami dihapus, bahasa kami disamarkan, dan cara hidup kami dianggap usang. Inilah wajah nekropolitik di tanah Papua, janji tentang pangan dan pembangunan yang menutupi politik kematian ekologis dan sosial.

Rawa-rawa yang dulu memberi makan kini dikeringkan, sumur yang dulu jernih menjadi asin, dan di tengah semua itu, perempuan-perempuan Marind berdiri sebagai saksi pertama atas kematian yang pelan tapi pasti. Negara menyebutnya proyek strategis nasional; bagi masyarakat adat, itu strategi penghilangan perlahan-lahan. Mereka tidak mati karena peluru, melainkan karena kehilangan air, tanah, dan hak untuk menentukan hidupnya sendiri. Negara mengatur hidup lewat logistik, tapi juga mengatur kematian lewat kelaparan. Namun di hadapan peta-peta itu, tubuh perempuan Marind menjadi satu-satunya peta yang masih hidup: tubuh yang menimba air, menanam sagu, dan menyimpan doa. Dari tangan mereka, masih mengalir percikan kecil dari politik kehidupan, kehidupan yang ditolak negara, tapi terus diperjuangkan dari lumpur yang tersisa.

Teologi Harapan dan Nyanyian yang Menolak Mati

Dalam tradisi kitab suci Kristen, ada kisah tentang orang-orang yang kala masih hidup di bawah bayang-bayang kekeringan dan penindasan, membangun harapan dalam nyanyian syukur. 

Mereka menyanyi bukan karena haus sudah hilang, tetapi karena percaya bahwa air kehidupan akan mengalir kembali. Nyanyian itu ada dalam Injil Yesaya 12, “Nyanyian Keselamatan”—bukan lagu kemenangan, melainkan nyanyian eskatologis dari mereka yang masih hidup di bawah kekuasaan Asyur. Sebuah nyanyian iman di tengah penderitaan, ketika air kehidupan belum juga mengalir. Maka kamu akan menimba air dengan kegirangan dari mata air keselamatan, demikian salah satu baitnya (Yesaya 12:3). Mereka menyanyi bukan karena haus mereka sudah hilang, tetapi karena percaya bahwa mata air itu, entah di mana pun, masih ada.

Mungkin nyanyian itu kini bergema di Papua Selatan: bukan dari mimbar, bukan dari panggung politik, tetapi dari suara-suara kecil yang konsisten dan berani berkata: tanah ini belum mati, air ini masih ada, hidup belum selesai. Jika nyanyian ini dibaca melalui kacamata teologi feminis, kita diajak untuk melihat bahwa lagu ini kemungkinan besar lahir dari tradisi perempuan. Dalam budaya Ibrani kuno, perempuanlah yang setiap hari pergi ke sumur untuk menimba air. Air adalah bagian dari kehidupan harian mereka, bukan sekadar simbol rohani. Maka ketika teks suci menggambarkan menimba air dari sumber keselamatan, itu bisa jadi bahasa tubuh perempuan, bahasa yang mengenal kerja, lelah, dan keteguhan.

Phyllis Trible menulis bahwa teks-teks Alkitab sering menyembunyikan suara perempuan di balik bentuk puisi atau simbolik. Namun jika kita mendengar dengan hati-hati, di sana selalu ada nyanyian kecil: nyanyian perempuan yang menolak diam di tengah penderitaan. 

Baca juga: ‘Kalau Bukan Rasisme, Menyebutnya Apa?’ Perempuan Papua Alami Diskriminasi Berlapis di Indonesia

Carol Meyers menambahkan bahwa banyak “nyanyian keselamatan” dalam Alkitab—termasuk yang dinyanyikan setelah perang atau bencana—lahir dari komunitas perempuan yang menyaksikan kehancuran, tetapi juga merawat kehidupan agar terus berjalan. 

Esther Fuchs, dalam Sexual Politics in the Biblical Narrative, menantang cara kita membaca teks suci hanya sebagai kisah iman. Ia mengingatkan bahwa setiap teks adalah medan kekuasaan, tempat tubuh dan suara perempuan dinegosiasikan, kadang dihapus, kadang dimanfaatkan, kadang diselamatkan oleh tafsir baru. Membaca Alkitab “sebagai perempuan,” bagi Fuchs, bukan sekadar mengganti sudut pandang, tetapi menolak narasi yang menjadikan perempuan sebagai latar bagi kekuasaan laki-laki atau negara.

Dalam terang itu, perempuan Marind seperti Mama Yasinta dan Mama Rufina sedang melakukan praktik tafsir yang sama. Mereka membaca kembali “tanah” bukan sebagai properti negara, tapi tubuh ibu; membaca “air” bukan sekadar sumber daya, tapi darah kehidupan; dan membaca “pembangunan” bukan sebagai keselamatan, melainkan kutukan yang menyingkirkan manusia dari ciptaan. 

Tafsir itu lahir bukan dari ruang akademik, melainkan dari tubuh yang berlumpur dan mata yang masih menangis. Di tempat lain, perempuan Kendeng dan petani Wadas menafsir dengan cara mereka sendiri: menyemen kaki, menjaga ladang, dan menolak tambang, tindakan-tindakan kecil yang menegaskan bahwa teologi sejati bukan sekadar wacana, tapi keberanian mempertahankan kehidupan di tengah ancaman kematian.

Di satu sisi, negara menjalankan politik kematian, nekropolitik—yang membungkus kekerasan dalam nama pembangunan. 

Baca juga: Kisah-Kisah Merawat Diri Perempuan Aktivis Pembela HAM di Tanah Papua 

Namun di sisi lain, perempuan-perempuan Papua menjalankan politik kehidupan—melalui tangan-tangan yang menimba air, menanam sagu, dan merawat tanah yang terluka. Mengambil air di sini bukan sekadar bertahan hidup; itu adalah doa yang menubuh. Gerak tangan yang sederhana menjadi liturgi kecil melawan kematian.

Mereka tahu, keselamatan mungkin belum tiba, tapi selama air masih menetes, kehidupan akan terus diperjuangkan. Seperti nyanyian lama yang tetap diulang di tengah kekeringan: “Maka kamu akan menimba air dengan kegirangan dari mata air keselamatan” (Yesaya 12:3). Bait itu bukan janji yang datang dari langit, melainkan kekuatan yang tumbuh dari tanah, dari lumpur, dari tangan-tangan yang menimba air, dari tubuh-tubuh perempuan yang menolak mati. Di rawa yang mengering, mereka terus menyanyi: bukan karena keselamatan sudah datang, tapi karena mereka telah memilih untuk hidup, hari ini, sekali lagi, dan dari lumpur itulah mereka terus menyanyi.

Foto: Dokumentasi Yayasan Pusaka Bentala Rakyat

(Editor: Luviana Ariyanti)

Sellina Aurora

Pengajar pada Sekolah Pendidikan Guru Jemaat Gereja Kristen Indonesia (SPGJ GKI) Lahai Roi di Manokwari, Papua Barat.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!