Gangguan Kesehatan Mental Dialami Jurnalis Perempuan di Masa Pandemi Covid

Jurnalis mengalami gangguan mental di saat Pandemi Covid-19, setiap hari harus terpapar informasi yang tidak menyenangkan, sesekali harus meliput ke lapangan, rentan terpapar dengan virus dan belum lagi disalahkan karena dianggap membawa berita buruk

*Tika Adriana- www.Konde.co

Rena, bukan nama sebenarnya, salah satu jurnalis menceritakan bahwa dirinya mengalami burnout. Ia juga mengalami keengganan untuk melakukan aktivitas dan sebisa mungkin membatasi hal yang terkait dengan pandemi ini.

“Saya sempat ambil cuti untuk melakukan itu, tapi ketika balik kerja lagi, saya tetap burnout. Saya sudah melakukan kegiatan yang bisa melepas stres, seperti memasak atau main musik. Tapi tetap saja waktu berhadapan dengan pekerjaan, rasanya super melelahkan dan bikin tertekan,” ungkapnya.

Kisah lain disampaikan oleh Fadia. Selama pandemi ini, ia sudah lebih dari enam minggu bekerja dari rumah. Masa ini membuat jam tidur dan jam kerjanya menjadi terganggu.

“Akhirnya, ada minggu-minggu di mana bawaannya tidur terus, ada pula minggu-minggu di mana sulit banget buat tidur tapi ngantuk,” tuturnya.

Tak cuma itu, beragam keluhan diceritakan oleh jurnalis seperti kekhawatiran saat berinteraksi dengan Orang Dalam Pemantauan (ODP) Covid-19, hilang fokus saat wawancara, hingga kemarahan mereka terhadap pernyataan-pernyataan pemerintah yang seakan bercanda ketika menangani pandemi ini.

Dalam diskusi daring tentang “Menjaga Psikis para Peliput Covid-19” yang diadakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta melalui aplikasi Telegram pada Minggu, 26 April 2020. Tak sedikit jurnalis yang menyampaikan kegelisahannya. Masalah mereka stres dan cemas karena tekanan deadline dari media yang masih beradu cepat mengejar klik, tapi juga memengaruhi pola tidur.

Psikolog Klinis Enlightmind, Nirmala Ika, tak menampik bahwa jurnalis merupakan kelompok yang rentan mengalami gangguan mental.

“Karena sebagai jurnalis kita sangat terpapar dengan informasi-informasi yang sangat tidak menyenangkan. Kalau kita bicara saat ini, kita sangat terpapar dengan banyak hal yang terkait dengan apa yang terjadi selama pandemi ini seperti bagaimana korban, berapa jumlah korban, dan penanganannya, kita sangat langsung terpapar,” ujar Nirmala dalam diskusi daring tersebut.

Meski saat ini beberapa media telah menerapkan kebijakan kerja dari rumah, tapi jurnalis tentu tak setiap saat bisa melakukannya, sebab terkadang jurnalis perlu turun ke lapangan untuk melihat kondisi langsung. Hal ini tentu membuat kerentanan jurnalis terhadap paparan Covid-19 sangat besar.

“Belum lagi deadline yang sangat mepet, sehingga informasi harus disampaikan secara cepat kepada masyarakat, belum lagi harus mempertimbangkan rating, jangan sampai tulisan kita dianggap tidak menarik, dan mungkin juga minim apresiasi baik dari masyarakat, belum lagi sebagai jurnalis ya kita adalah manusia biasa, sehingga kondisi saat ini tentu membuat kita cemas,” tambahnya.

Menyadari dan menerima bahwa kondisi saat ini memang tidak sedang baik-baik saja merupakan cara pertama bagi jurnalis untuk menjaga kesehatan mental mereka, tentu media tempat bekerja harus menjadi pendukung yang baik.

Selain itu, masing-masing jurnalis juga disarankan untuk melakukan perawatan untuk diri sendiri untuk menjaga keseimbangan mental, misalnya olahraga, membaca, menjauhkan diri dari gawai sebelum tidur, atau bermeditasi.

Jurnalis Harus Memberi Informasi Akurat dan Menjaga Kondisi Mental Warga

Tentu saja bukan hanya kesehatan mental mereka yang dijaga, tapi juga kesehatan mental publik. Dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999 jelas tertulis bahwa pers memiliki kode etik jurnalistik ketika bekerja. Mereka menjadi media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Pemberitaan yang mereka hasilkan pun tentu harus merupakan informasi yang tepat, akurat, dan benar seperti tertulis dalam Pasal 6.

Masa pandemi ini jelas menjadi masa sulit bagi jurnalis, sebab tak jarang mereka dicaci oleh para pembaca yang lelah dengan pemberitaan mengenai Covid-19. Alasan para pembaca nyaris sama, “tak ada berita positif yang muncul”.

Padahal dalam kondisi ini yang sedang dilakukan jurnalis yakni menyampaikan informasi akurat berdasarkan fakta yang ada dan ketika masa pandemi, pekerjaan jurnalis bertambah berat: menjaga mental warga negara yang membaca dan menyaksikan karya mereka.

Kevin Sucianto, Anggota Divisi Media Into The Light, Komunitas yang peduli pada kesehatan mental dan tindak pencegahan bunuh diri, mengakui bahwa reaksi masyarakat terhadap pemberitaan Covid-19 sangat beragam. Ketika masa pandemi, jurnalis pun bisa memberikan informasi edukatif kepada para pembacanya.

“Salah satunya seperti mengajak mereka mencari teman bicara, menulis jurnal atau menulis diary, kemudian mencoba untuk mengakui kondisi ketidaknormalan ini, kemudian melakukan hal-hal yang sifatnya untuk self care seperti menjaga pola makan sehat, menjaga pola tidur cukup, itu sebetulnya bisa menjadi garis besar bagaimana masyarakat umum bisa menjaga kesehatan mental mereka. Selain itu juga menjaga konsumsi berita dari media massa atau media sosial,” kata Kevin.

Sedangkan para jurnalis tentu memiliki tanggung jawab untuk tidak memberikan berita yang hanya berdasarkan opini atau belum terbukti faktanya.

Kekeliruan ini sering dilakukan jurnalis ketika memberitakan isu kesehatan mental seperti depresi dan bunuh diri. Padahal, tulisan mereka bisa berakibat fatal bagi orang-orang yang sedang dalam fase depresi berat.

Saya teringat kisah yang disampaikan Lolo tentang depresi yang ia alami. Lolo merupakan seorang penyintas tindak bunuh diri. Dalam diskusi berjudul “Bagaimana Sikap Media terhadap Kejadian Tindak Bunuh Diri?” yang diadakan pada Februari 2020 lalu, ia menceritakan bahwa pemberitaan yang muncul di media berperan dalam membentuk sikapnya ketika keinginan bunuh diri itu datang.

“Saya melakukan percobaan bunuh diri karena ketika depresi itu datang, saya menemukan metode bunuh diri dari berita yang ada di internet dan saya mempraktekannya,” ujar Lolo di Sekretariat AJI Jakarta.

Untuk mencegah adanya copycat suicide atau bunuh diri tiruan yang dapat berakibat pada kemunculan gelombang kasus bunuh diri setelah berita itu dipublikasikan (werther effect), jurnalis tentu harus menulis dengan tepat sesuai dengan Pedoman Pemberitaan Terkait Tindak dan Upaya Bunuh Diri yang disahkan oleh Dewan Pers pada 22 Maret 2020.

Dan bukan itu saja, perusahaan-perusahaan media juga punya tanggung jawab untuk menjaga kesehatan mental para pekerjanya, terlebih di masa pandemi ini.

Seperti kata Nirmala dalam diskusi daring “Menjaga Psikis para Peliput Covid-19”, mental yang baik dari jurnalis tentu akan membuahkan produk jurnalistik yang berkualitas

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

*Tika Adriana, jurnalis perempuan yang sedang berjuang. Saat ini managing editor Konde.co

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!