‘Siksa Kubur’, Film tentang Peringatan Penyiksaan Kubur atau Kegalauan Beragama?

Film “Siksa Kubur” awalnya merupakan film kritis. Film menampilkan orang yang sangat agamis, tapi ternyata menindas. Namun sayangnya, di plot akhir, film ini menjadi antiklimaks, super galau, dan normatif.

Saat nonton film Siksa Kubur (SK) karya Joko Anwar, perkiraan ku, Joko Anwar akan membuat “kejahilan” atau tepatnya kritik/ reflektif tentang cara orang beragama. 

Perkiraanku ternyata benar! 

Film Siksa Kubur ini banyak menampilkan dialog-dialog dan pertanyaan tentang perilaku manusia beragama, tetapi pada sisi lain melakukan kejahatan terhadap manusia lain, bahkan menggunakan agama untuk menindas manusia yang lemah. 

Misalnya ada seorang donatur terbesar di sebuah pesantren. Publik selalu menilai jika orang tersebut baik dan dermawan, tapi ternyata dibalik itu, dia adalah “pelaku kekerasan seksual” pada santri-santrinya, baik yang perempuan maupun anak laki-laki. Kasus ini sudah sering terjadi di kehidupan nyata. 

Film ini ingin mempertanyakan dan mau membuktikan apakah ada “hukuman” bagi manusia-manusia biadab, seperti pelaku kekerasan seksual, maupun kejahatan kemanusiaan lainnya, seperti para koruptor mendapatkan siksa kubur setelah mati? 

Baca Juga: Selamat Hari Film: Produksi Film Banyak, Namun Kenapa Film Anak Sangat Minim?

Kalau ada siksa kubur, apa yang akan disiksa? Fisiknya atau jiwanya? Kalau fisik, kan manusianya sudah mati, jadi tak akan memberi pengaruh apapun. Tapi kalau yang disiksa jiwa, mengapa ajaran agama lebih banyak disampaikan siksa kubur berupa siksaan fisik? Dibakar, ditusuk, dipukul.

Pertanyaan-pertanyaan kritis banyak sekali disampaikan oleh tokoh perempuan bernama Sita. Sita adalah tokoh utama perempuan yang memberikan dialog-dialog kritis tentang cara orang beragama. Pada titik ini, film SK cukup berani merefleksi cara beragama umat selama ini. 

Mungkin Joko Anwar sebagai penulis skenario sekaligus sutradara ingin menyatakan, kalau siksa kubur tidak dipercayai ada, itu alasan kenapa para koruptor, pelaku kekerasan seksual, perusak lingkungan akan terus melakukan kejahatan. 

Masalahnya, para pelaku kejahatan itu mengklaim dirinya taat beragama minimal secara ritual dilihat sebagai umat yang baik dan sholeh. Artinya patut diduga para pelaku kejahatan itu mempercayai siksa kubur benar terjadi. 

Tapi pertanyaan sederhananya, kenapa masih saja mereka melakukan kejahatan itu ? Bahkan para koruptor masih saja kaya raya tujuh keturunan yang tak akan pernah habis. Kuburan seorang koruptor juga bisa di lokasi yang sangat mewah dengan biaya miliaran rupiah. 

Baca Juga: Film ‘Mothers’ Instinct’ Peliknya Persahabatan Perempuan dan Kehidupan Ibu Rumah Tangga

Soal apakah benar ada siksa kubur atau tidak, Itulah salah satu pesan utama dari film ini.

Siksa Kubur adalah film horor psikologis Indonesia tahun 2024 yang disutradarai dan ditulis oleh Joko Anwar berdasarkan film pendek berjudul sama karya Joko Anwar. Film produksi Come and See Pictures serta Rapi Films dan dibintangi oleh Faradina Mufti, Reza Rahadian, Widuri Puteri, dll. Siksa Kubur tayang perdana di bioskop pada 11 April 2024.

Dalam sinopsisnya, Siksa Kubur diawali dengan cerita, setelah kedua orang tuanya jadi korban bom bunuh diri, Sita jadi tidak percaya agama. Sejak saat itu, tujuan hidup Sita hanya satu: mencari orang yang paling berdosa dan ketika orang itu meninggal, Sita ingin ikut masuk ke dalam kuburannya untuk membuktikan bahwa siksa kubur tidak ada dan agama tidak nyata. Namun, tentunya ada konsekuensi yang mengerikan bagi mereka yang tak percaya.

Sayangnya pada plot selanjutnya sampai plot terakhir, Joko Anwar seperti kehilangan fokus atau mungkin tepatnya “galau”. Antara berani terus kritik tapi akan menghadapi resiko besar. Dugaanku kalau cerita film ini tetap fokus pada kritik cara orang beragama terutama pada pelaku kejahatan, maka film SK ini berpotensi dan dilarang tayang ke publik. Seperti kasus film Qiblat dilarang tayang karena poster yang ditampilkan. 

Mungkin bukan cuma dilarang tayang, Joko dan produser akan dianggap sebagai pelaku penista agama. Ujungnya berpotensi masuk ke jalur hukum, UU penistaan agama. Karena pertimbangan itulah, dugaanku Joko Anwar dan mungkin juga produser jadi “galau/takut/negosiasi pada situasi”. 

Baca Juga: Film ‘Tiger Stripes’ Gejolak Remaja Lawan Mitos Menstruasi

Akhirnya pada plot akhir film, menjadi sangat terlihat “kebingungan” dalam susunan konsep ceritanya. Aku menyebutnya super galau dan mainstream banget, seperti buku cerita siksa neraka yang dijual di pasar untuk menakut-takuti orang yang beragama. Mungkin karena alasan untuk kepentingan bisnis, praktis, dan aman bagi semua kru film, akhirnya dikembalikan lagi cerita film ini kembali ke “titik nol”, aku menyebutnya.

Pertanyaan-pertanyaan kritis tentang agama di awal film, semua kembali lagi ke pemahaman mainstream cara orang beragama. Bahwa siksa kubur itu benar ada! Siksa yang ditampilkan secara fisik oleh film tersebut. 

Sampai sang tokoh utama yang sangat kritis pada agama, di adegan terakhir akhirnya teriak-teriak minta ampun dan bertaubat karena menyaksikan langsung siksa kubur tersebut, sambil mengucapkan bacaan berbahasa Arab untuk pertobatan. Adegan itu jujur buatku sangat “membosankan” sekali. Walau siksa kubur yang ditampilkan ditujukan pada tokoh yang sangat jahat, pelaku kekerasan seksual di pondok pesantren. 

Baca Juga: Film ‘Sinden Gaib’, Paradoks Sinden Perempuan, Disingkirkan dan Dikontrol Laki-Laki 

Tapi pada tokoh-tokoh peran pendukung khususnya yang perempuan, juga ditampilkan kondisi mati yang sangat mengenaskan, misalnya pada tokoh ibu Nani, dan seorang suster. Menurutku keduanya juga korban, kenapa matinya tersiksa?  

Apakah itu artinya Joko Anwar ingin memberi pesan pada publik, khususnya para pelaku kejahatan bahwa siksa kubur benar ada loh, maka para pelaku koruptor dan pelaku kejahatan kemanusiaan lainnya, bertobat! Tapi apakah ngefek pesan itu pada para pelaku? 

Mungkin hanya ngefek pada umat yang miskin, yang “bodoh”, yang selama ini selalu jadi korban politisasi agama yang dilakukan oleh elit. Menurutku justru sangat terlihat “kacangan” sekali cerita film ini ketika akhir cerita dikembalikan di titik nol. Aku paham, mungkin ini karena pertimbangan bisnis dan keamanan para kru film.

Tapi mestinya Joko Anwar bisa mencari alur cerita yang lebih “cerdas” untuk menutup cerita film ini. Tanpa kehilangan makna kritis pada cara keberagamaan umat selama ini. 

Baca Juga: Film ‘Women from Rote Island’, Panjangnya Perjuangan Perempuan Adat Lepas Dari Kekerasan Seksual

Setelah nonton film Siksa Kubur, pesanku, teruslah untuk kritis pada cara beragama yang selama ini telah diajarkan oleh kita. Karena kekritisan ciri kita menjadi manusia yang sebenarnya, manusia yang memiliki pikiran dan digunakan secara maksimal. 

Apakah benar ada siksa kubur dan siksa neraka, biarlah itu jadi urusan Tuhan. Yang utama bagi manusia yaitu, berlomba-lomba berbuat baik dan tidak “membeo” dengan apa yang dikatakan elit/ penguasa. Termasuk omongan elit-elit agama, teruslah dikritik secara sehat!

(sumber foto: Instagram Siksa Kubur Movie)

Hartoyo

Warga Negara Indonesia Ber-KTP Islam
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!