Jumat, 6 Oktober 2000. Kota Wamena sekejap menggigil, orang-orang diliputi ketakutan konflik. Suara tembakan bergema berulang di lapangan SMA Negeri 01 Wamena, berhadapan dengan rumah Melan.
Hati Melan bergidik. Saat itu usianya masih 3 tahun. Jalanan yang biasa menjadi tempatnya berlari dan bermain bersama anak lainnya, tiba-tiba padat dengan tubuh-tubuh tak bernyawa.
“Bahkan anjing-anjing ada seret (mayat-mayat),” imbuhnya.
Tidak menunggu lama, keluarganya langsung berkemas, mengusung pakaian seperlunya, lalu berjalan dengan gentar menuju Napua, area pinggiran kota Wamena.
Berminggu setelahnya, kehidupan keluarga Melan dijalani bersama keluarga lainnya di pengungsian, sembari berharap situasi menjadi aman kembali melalui kabar-kabar burung. Orang menyebut peristiwa ini sebagai Wamena berdarah.
Puluhan Tahun Berlalu dari Wamena Berdarah
Puluhan tahun berlalu. Melan perlahan menemukan kebenaran di balik peristiwa tersebut, yang lantas dikenal sebagai Wamena Berdarah 2000.
Ia kemudian mengetahui alasan tante dan sepupunya pergi tiap minggu, mengajaknya berkunjung ke Lapas Wamena untuk menjenguk salah satu om nya yang menjadi tahanan politik. Ternyata om nya dituduh oleh aparat sebagai salah satu dalang kerusuhan Wamena.
Tak lama, bapak Melan, dicari-cari oleh dua orang non-OAP (sebutan untuk bukan Orang Asli Papua) berbadan besar tanpa seragam, dengan sikap arogan memanggil bapaknya untuk diperiksa.
Sejarah keluarganya kemudian menjadi bagian kecil dari rangkaian catatan korban pelanggaran HAM akibat konflik berkepanjangan di Tanah Papua, yang tak kunjung usai dan diselesaikan pemerintah.
Catatan Panjang Pelanggaran HAM di Papua yang dirilis oleh media Laolao Papua, tragedi Wamena Berdarah 2000 menyebut, ini semua bermula dari aksi damai dan pengibaran bendera bintang kejora sebagai tuntutan kemerdekaan pasca lengsernya presiden Soeharto. Aparat justru meresponnya dengan kekerasan, menembak mati 37 orang, menahan 83 masyarakat sipil, mengakibatkan 189 orang terluka, dan memaksa 13.565 orang meninggalkan kampungnya, mencari keamanan. Kekerasan bersenjata yang terjadi di Wamena pada tahun 2000 bukan pionir di Tanah Papua, namun berkaitan dengan berbagai peristiwa sebelumnya dan merantai tiap tahunnya. Santer terdengar konflik pecah di tahun-tahun selanjutnya, diperankan oleh aktor-aktor yang serupa.
Kini, beberapa tahun kemudian, Melan bekerja di Elsham Papua sebagai koordinator program perempuan.
Baca Juga: ‘Burung pun Tak Ada Lagi’: Riset Kondisi Perempuan Papua
Elsham Papua merupakan kependekan dari Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia, yang sejak tahun 1998 berperan untuk memonitoring dan mendokumentasikan pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di Tanah Papua melalui pos-pos kontak di 4 kabupaten, yakni Keerom, Nabire, Fakfak, dan Yapen.
Divisi program perempuan dimana Melan bekerja disana, melakukan kerja pendokumentasian, aksi responsif, membuat pers rilis, mengadvokasi dan melakukan kampanye kasus, serta menulis laporan bayangan bersama koalisi terkait pelanggaran HAM yang secara spesifik berkaitan dengan perempuan dan anak.
Melan mengakui, peran dan tanggung jawab yang ia pegang bak impian menjadi nyata. Paparan situasi pelanggaran HAM yang ia saksikan dan alami di masa kecil menempa Melan.
Kerentanan sebagai Perempuan Pembela HAM
Keterlibatannya di Elsham Papua berawal dari kewajiban magang dari kampus di tahun 2017. Saat itu, ia tidak tahu jika Elsham Papua merupakan ruang yang diidamkan hingga ia menemukan arsip laporan-laporan pelanggaran HAM yang diolah dan dirawat Elsham Papua lantas ia manfaatkan sebagai sumber penulisan skripsinya.
Namun di tengah kebulatan tekadnya bekerja untuk isu HAM, Melan menyadari kerentanannya.
“Saya sekarang mulai merasakan kelelahan. Di awal, saya merasa ah tra papa (menyanggupi mengerjakan beberapa tugas) untuk pengalaman… tapi lama-lama capek. Bukan hanya secara fisik tetapi juga psikis.”
Keletihan ini lumrah dirasakan olehnya, meski secara sadar Melan tetap menjalankannya. Jerih payah dan upaya untuk bekerja di isu HAM bukan hanya membutuhkan tenaga fisik dan psikologis, ia juga harus memanifestasikan kekuatan emosional.
Melan bertumbuh dengan mengantongi kepedulian atas ingatan kolektif konflik bersenjata dan pelanggaran HAM yang terjadi di kampung halamannya. Seiring hasrat belajarnya menguat, ingatan kolektif ini bersinergi dengan kerja-kerja yang dilakoninya.
Melan mencurahkan emosinya sehingga ia mampu merasakan kepedihan, ketakutan, dan kepekaan terhadap situasi-situasi yang terjadi di Papua. Tiap ada berita atau siaran soal pembunuhan, penangkapan, maupun penembakan orang Papua, Melan mencermati sumber dan kronologi kejadian untuk ditindaklanjuti melalui rilis berita, materi advokasi, serta aksi lainnya
Rutina, Aktivis Muda Sentani
Di Sentani, terdapat sebuah kampus teologi bernama Sekolah Tinggi Teologi (STT) Walter Post yang menaungi Pusat Studi HAM, Sosial, dan Pastoral. Salah seorang stafnya, Rutina Labene – akrab dipanggil Rutina merupakan perempuan muda aktivis HAM kenalan Melan.
Rutina bekerja sebagai sekretaris eksekutif, tugasnya mencermati kondisi umat Gereja Kingmi dan denominasi lainnya, misalnya kasus pelanggaran HAM, hak-hak sosial, dan kerja-kerja pelayanan maupun karya dari pendeta. Hasil pengamatan ini diarsipkan dan menjadi bahan ajar bagi mahasiswa di STT Walter Post.
Pasca konflik bersenjata di Nduga berkecamuk di tahun 2018, Pusat Studi HAM, Sosial, dan Pastoral-STT Walter Post fokus pada pengungsi di tiga wilayah, yakni Intan Jaya, Nduga, dan Puncak. Mulai tahun 2023, mereka berkolaborasi bersama Dewan Gereja Papua untuk memperluas perhatian pada situasi pengungsian di wilayah Maybrat, Oksibil, dan Yahukimo.
“(Di Papua) banyak informasi yang beredar. Saya sendiri secara pribadi, semakin saya terkoneksi dengan banyak orang, mereka bisa minta informasi secepat mungkin. Jadi saya berpikir saya harus mengisi dan menyimpan banyak,” papar Rutina.
Situasi di Tanah Papua penuh dengan post-truth, fakta dianggap tidak logis. Kendali terhadap media oleh pemerintah menguatkan muramnya fakta-fakta yang terjadi.
Baca Juga: Problem Perempuan Papua: Selalu Punya Hambatan Berkiprah di Ruang Publik
Safenet Voice dalam Laporan Investigasi Disinformasi Keberhasilan Otonomi Khusus Papua Barat menyatakan, pemerintah justru lebih tertarik merespon gejala-gejala kerusuhan politik di Tanah Papua, dibanding mengatasi akar penyebab kekhawatiran masyarakat melalui propaganda, disinformasi, dan pembatasan – bahkan pemutusan jaringan internet.
Upaya Rutina mengejar dan mengumpulkan informasi faktual terkait situasi di Tanah Papua, sederhananya, berguna untuk dirinya. Semangatnya bertalian erat dengan harapan yang dibangun oleh STT Walter Post. Kumpulan arsip yang menjadi materi pembelajaran bertujuan untuk menguatkan kepekaan dan kepedulian mahasiswa terhadap isu pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah pelayanan gereja, serta menciptakan pelestarian nilai-nilai sejarah maupun kebudayaan.
“Selain itu juga supaya kita, sebagai umat Tuhan, sadar bahwa mereka, kami semua, orang Papua sedang dijajah,” imbuhnya.
Rutina, pengalamannya tak jauh berbeda dengan Melan. Ia bertumbuh dalam perawatan sebuah asrama yang dikelola oleh Yayasan Pesat Nabire, lantaran keluarganya berharap Rutina mendapatkan kehidupan lebih baik, termasuk pendidikan. Rutina merupakan anak suku asli di Ilaga, Puncak.
Periode 1970an, keluarganya terdesak meninggalkan kampung akibat Operasi Koteka, penyisiran besar-besaran terhadap Orang Asli Papua (OAP) oleh pemerintahan Soeharto untuk penerapan kebijakan penghapusan koteka yang digantikan dengan baju, celana, dan sabun. Penolakan dan perlawanan rakyat Papua terhadap bentuk kolonialisasi ini justru direspon dengan kekerasan dari aparat militer.
Baca Juga: Direndahkan dan Dianggap Buruk: Yang Dialami Perempuan Papua
Keluarga Rutina lantas turun menuju dataran rendah di Nabire. Ia lahir di pengungsian.
“Saya belum pernah injak Ilaga sampai detik ini, (tapi) lewat informasi dan laporan-laporan, saya terkoneksi dengan jaringan gereja di sana.”
Walau belum pernah menapak di kampung halamannya, Rutina mencintai sejarah identitasnya. Sekuat kecintaannya terhadap pekerjaannya sekarang, yang mempertemukan dirinya dengan situasi dan orang-orang Ilaga.
Beberapa media maupun periset, yang bersedia repot-repot melawan arus, sering menggunakan kata “kompleks” untuk menggambarkan situasi di Tanah Papua. Ini karena musabab konflik bersenjata tidak tunggal.
Pilihan strategi pemerintah layaknya anjing pelacak, yang hanya mengenali baunya tanpa mencari tahu penyebab bau, dan ini justru menambah dan mempertebal lapisan-lapisan kekerasan. Tuntutan hak menentukan nasib sendiri dari rakyat Papua, sebagai wujud dari kuatnya kesadaran politik, diabaikan. Malah, pemerintah bersama elite politik yang didukung oleh fasilitas keamanan negara mencurahkan program-program nir partisipasi dari OAP sendiri, seperti membuka peluang investasi terhadap sumber daya alam di Tanah Papua. OAP melihatnya sebagai eksploitasi, lumrah jika prosedurnya selalu menimbulkan perlawanan.
Lami Faan, Mencari Keamanan di Tengah Konsentrasi Aparat Keamanan
Dekade terakhir, konsentrasi pengerahan aparat keamanan di Tanah Papua meningkat. Ada dua model menyangkut kehadiran mereka, yakni secara organik – melalui Koramil, Kodam, Denzipur, dll. Kedua, secara anorganik, menerjunkan anggota-anggota TNI yang berasal dari operasi militer gabungan.
I Made Supriatma dalam risetnya TNI/Polri in West Papua: How Security Reforms Work in the Conflict Regions menyebutkan bahwa rasio pengerahan aparat keamanan di Tanah Papua jauh lebih tinggi, yakni 1:97, tiap 1 personel untuk 97 warga. Sementara secara nasional 1:296.
Secara harfiah, makna dari keamanan niscaya menimbulkan rasa aman. Mengamati situasi di Tanah Papua yang memiliki konsentrasi aparat keamanan lebih tinggi justru muncul perasaan masygul, sekaligus mempertanyakan apakah kondisinya amat membahayakan sehingga membutuhkan jawaban penambahan aparat keamanan dalam jumlah besar?
Lami Faan, seorang perempuan Maybrat, hingga kini masih bekerja melakukan perlawanan terhadap kekerasan yang dilaakukan militer di kampungnya sejak tahun 2021.
Mulanya, tepat pada 2 September 2021, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) menyerang Koramil di Kisor. Pemerintah merespon dengan memasok pasukan TNI dan polisi, merajai tiap kampung di Distrik Aifat Timur. Buntutnya, Lami menjadi salah satu dari 2.086 orang yang terdepak lalu mengungsi ke kota Sorong.
Baca Juga: Andai ‘Orpa’ Didengar, Kisah Anak Perempuan Papua
Lami mengabarkan situasinya terkini melalui sambungan telepon.
“Sekarang kami tinggal di Sorong. Dapat tanah dari keluarga di sini. Anak-anak juga sudah pindah sekolahnya.”
Perlawanan Lami tidak sendiri. Bersama dengan Komunitas Perempuan Seberang Jalan, mereka mengadvokasi hak-hak masyarakat adat Maybrat yang berstatus sebagai pengungsi.
“Kami memilih berjuang di seberang jalan, tidak ikut jalan utama. Berbeda dengan teman-teman lain, penuh kenyamanan. Kami di pengungsian,” jelas Lami lantang soal makna nama komunitasnya.
Komitmen Lami bergiat membicarakan isu pengungsi di Maybrat menemukan jalan-jalan terjal. Beberapa kali ia harus menghadapi intimidasi dan teror, mulai dari kelompok aparat hingga pejabat daerah.
“Saya banyak mendapatkan teror, dari DanDim (Komandan Distrik Militer), pejabat-pejabat yang punya kepentingan di Maybrat. Mereka juga (serang) lewat sa punya keluarga.”
Bulan April 2023 lalu, Lami dituduh oleh salah seorang anggota DPRD Kabupaten Maybrat sebagai otak aksi penolakan kelompok masyarakat sipil di Maybrat. Penolakan ini berdasar kuat, lantaran pasukan militer menduduki kampung-kampung mereka secara paksa.
Baca Juga: Papua Bukan Tanah Kosong, Tanah bagi Kami adalah Mama
Tiga bulan berselang, Lami mendapat kabar bahwa dirinya dicari-cari oleh Dandim melalui kakak perempuannya.
“Babinsa ada datang ke rumah kakak di kampung. Mereka bilang, Dandim ada tanya-tanya saya. Kata (Dandim) saya disuruh diam, pulang ke kampung karena situasinya sudah aman.”
Lami menduga pencarian ini berkaitan dengan keterbukaannya membicarakan situasi konflik bersenjata di Maybrat melalui sebuah konferensi pers. Tampaknya pihak aparat terusik mendengar pemaparan faktual tersebut sehingga berupaya menghubungi Lami, memberikan jaminan bahwa kampungnya aman.
Sebagai perempuan asli Maybrat yang lahir dan besar di kampung tersebut, Lami tentu lebih memahami situasi faktualnya.
Kabar terakhir, rumah pribadinya dikuasai pihak militer, menjadi pos pengamatan karena lokasinya strategis di atas bukit. Lahan-lahan milik masyarakat adat yang ditinggalkan lantas diambil alih oleh sebuah perusahaan kayu, konon kabarnya pengusaha dari Jakarta.
Di bulan Desember lalu, harapan baiknya muncul. Ia beserta keempat anaknya berniat pulang merayakan Natal di kampung.
“Sampai di kampung situasi kayak begitu.. Jadi pas kita di atas (di kampung), tanggal 25 Desember ada penembakan. Situasi mulai tegang. Haduh.. terpaksa kita kembali ke kota. Saya khawatir sesuatu terjadi juga dengan anak-anak,” terangnya, masih dalam nada syok.
Baca Juga: Kisah Pahit Tahanan Perempuan Papua, Hari Anti Penyiksaan Internasional
Mengasihi maupun mengkhawatirkan dirinya sendiri ketika berhadapan dengan situasi penuh ancaman tampaknya bukan menjadi prioritas Lami.
“Pernah satu kali saya pikir saya mungkin akan mati. Waktu itu saya jalan (ke kampung) sendiri, naik ojek. Saya tidak sadar, begini. Ternyata tukang ojeknya pendatang (non-OAP). Dia bawa motor pelan-pelan, sambil bicara-bicara, sebut tempat. “Saya di sini… di sini.” (Tukang ojek seperti sedang mengobrol melalui penyuara telinga) Saya pasrah waktu itu, mungkin sampai di sini sa pu hidup. Saya pikir anak-anak nanti bagaimana. Karena tukang ojek ini tidak mungkin (tangan) kosong. Dia pasti ada (senjata) perlawanan,” kisah Lami soal kejadian paling mencekam dalam perjalanannya mengadvokasi situasi pengungsian di Maybrat.
Mendekati kampung, Lami mengucap syukur lantaran sebuah motor dengan pengendara warga kampung tiba-tiba melintas. Ia memanggilnya lalu berbicara dalam bahasa asli mereka, meminta bantuan untuk menemani motor yang ditumpanginya hingga mencapai kampung.
Sebagai perempuan, ia tidak beridentitas tunggal. Ia juga seorang ibu, yang menyayangi dan mengkhawatirkan kesehatan maupun keselamatan anak-anaknya. Selain itu, ia juga seorang perempuan Papua, yang mempedulikan lingkungan sekitarnya penuh kesengsaraan dalam situasi pengungsian akibat konflik bersenjata. Ia menggunakan identitas ini untuk bersuara.
Baca Juga: Nona dan Mama Papua Bekerja Keras di Tengah Ancaman Mahar dan Kawin Muda
Pihak keluarga sempat menahannya. Keluarganya jeli mengamati, sebab Lami berulang mendapatkan serangan untuk bungkam. Bukan hanya secara langsung, pihak oposisi – yang tidak sepakat dengan aktivisme Lami, melancarkan kecaman secara daring. Fotonya tersebar secara sporadis dengan keterangan bermacam, layaknya buronan.
“Keluarga pernah suruh saya diam. Dorang (mereka) bilang, “Orang lain ada diam-diam kenapa ko mau bicara?” Saya paham mereka begitu karena mereka mau membatasi supaya hal-hal buruk tidak terjadi.”
Namun kemauan, perasaan, dan pikiran akan kebebasan menyulut Lami. Responnya kepada keluarga secara berulang,
“Kalau saya diam, siapa yang akan bicara?, (dalam) situasi begini, kita harus bicara. Kita diam bisa mati habis!.”
Secara Kolektif Saling Mengasihi, Meski Terengah-engah
Ketiga perempuan aktivis HAM Papua ini merupakan bagian kecil dari sekumpulan aktivis yang menggerakkan kemenangan nilai-nilai untuk melawan ketidakadilan.
Di tengah situasi penuh kehancuran, laporan pelanggaran HAM terus bermunculan tanpa jeda, mereka tetap memunculkan upaya untuk mengasihi diri.
“Persoalannya, situasi di Papua sangat dinamis. Ada saja yang terjadi. Sabtu-Minggu mau fokus saja di rumah tapi ketika ada kasus-kasus urgent yang harus direspon ya didahulukan. Apalagi kalau ada kasus-kasus besar, seperti mutilasi di Timika atau sidang kasus Viktor Yeimo kemarin, advokasi harus kesana-kemari. Ke pengadilan, ke rumah sakit. Itu kan tidak mengenal hari,” ungkapnya.
Siaran-siaran ini terbilang sebagai makanan harian yang kedatangannya tak mengenal jengah.
Jujur Melan berujar, “Bahkan, saya ikut kegiatan dimana, saya duduk tapi saya ketik-ketik hal lain. Seakan tidak ada waktu untuk berhenti sejenak.”
Setali tiga uang dengan Melan.
Rutinitas harian yang dilakukan Rutina pada jam kantor menjalar hingga ke rumah. Waktu yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk beristirahat justru ia isi dengan pencarian berita. Terkini, Rutina tengah mencermati situasi pengungsi Rohingnya.
“Aduh saya tidak bisa bayangkan bagaimana situasi psikis mereka. Mereka sangat kuat,” ujarnya.
Di tengah pengalaman rentannya sendiri, Rutina masih mampu berempati terhadap situasi sulit yang dihadapi etnis Rohinngya.
Baca Juga: Stigma Hitam dan Keriting: Diskriminasi dan Pengabaian pada Perempuan Papua
Sebuah penelitian pemetaan otak (neuroimaging) menemukan bahwa frekuensi individu betina menggunakan bagian mirror neuron, bagian spesifik dalam otak yang bertugas layaknya cermin, lebih besar ketimbang jantan. Melalui mirror neuron ini, seseorang dapat melepaskan dirinya untuk terikat pada pengalaman dan situasi orang lainnya, meliputi aksi serta maksud tindakan tersebut. Oleh karena itu, Rutina dengan mudah merasakan dan memahami pengalaman etnis Rohingya, lalu mengaitkan dengan kediriannya dan membongkar kepeduliannya menjadi sesuatu yang berwujud.
“Saya merasa (membaca berita tentang pengungsi Rohingya) mengisi jiwa pastoral saya, lalu biasanya saya mengirim doa.”
Aksi untuk merenung dan menyampaikan doa juga dilakukan secara kolektif oleh lembaga yang menaungi kerja-kerja Rutina.
“Situasi (konflik) yang tidak kunjung berakhir ini membuat kami sering berkumpul, berefleksi. Kami berdiskusi, mencari tahu mengapa situasi tersebut terjadi lalu memikirkan bagaimana, jalan keluar apa yang bisa gereja lakukan,” imbuhnya.
Baca Juga: Jalan Hidup Yosepha Alomang: Perempuan Pejuang Dari Papua
Selain itu, peran kerja Rutina yang ikut mengelola perpustakaan memungkinkan pertemuannya kepada mahasiswa di STT Walter Post. Beberapa kesempatan, ketika mahasiswa datang untuk meminjam maupun mengembalikan buku, mereka akan mengabarkan situasi terkini di kampung masing-masing.
“Walaupun saya mungkin sudah tahu lebih dulu kabar tersebut, saya menunggu mereka untuk bercerita bagaimana tanggapannya. Hal-hal begini membuat saya juga merasa lebih kuat.”
Memiliki lingkar pendukung yang dapat saling menguatkan melalui hal-hal sederhana memang tidak dapat menyelesaikan persoalan. Kekuatannya justru terletak pada keterhubungan tiap individu, saling mengetahui kondisi masing-masing.
Dalam Komunitas Perempuan Seberang Jalan, Lami bukan hanya mendapatkan jaminan untuk menguatkan pengetahuan dan jejaring keamanan melalui diskusi bersama sembilan perempuan lainnya. Mereka berkomitmen untuk saling mendukung, lantaran Lami menyadari perempuan lebih rentan mengalami burnout apalagi dalam situasi pengungsian.
“Apalagi teman-teman ini beberapa sudah berkeluarga. Kami punya rasa takut berlebihan. Pikir lagi bagaimana anak-anak. Kemarin ada satu adik perempuan telpon malam-malam. Katanya diikuti. Saya coba tenangkan dia, hubungi teman-teman. Paginya kami jemput, lalu kami bantu,” ungkapnya.
Baca Juga: Mama Tak Bisa ke Hutan, Riset: Tersingkirnya Perempuan Papua dari Hutannya
Lami mengakui merasa nyaman untuk sekadar bercerita, melepas lelah pada teman-teman komunitasnya. Namun Lami tetap membatasi diri, jika bergosip ia mengelak.
Melan menuturkan pengalamannya yang berbentuk berbeda.
“Kadang kalau saya sudah sakit sekali di kepala, saya akan korek (mencolek) kakak Ani (staf senior di Elsham Papua). Kami akan baku ajak. Jadi kita dua sudah tahu… biasanya kita kemana saja. Kadang ke pantai… Oh, ada film baru kita pergi nonton, atau sekadar pergi makan. Atau kalau situasinya hanya memungkinkan di kantor, kami baku (saling) mengeluh.”
Di lain kesempatan, bapak Matheus Adadikam yang menjabat sebagai direktur Elsham Papua, kerap memberikan kejutan di kala staf-staf kantornya penat mengerjakan sesuatu.
“Bapak tiba-tiba bisa datang bawa makanan. Atau bawa bahan (makanan) begitu, lalu sibuk sendiri di dapur. Kalau kita datang, mau bantu begitu, bapak bilang, “Ah.. tra usah. Kalian kerjakan saja kalian punya” Nanti kalau sudah masak, baru bapak kasih tahu kita (untuk) makan sama-sama.”
Melan mengakui bahwa ia jarang mendapat pertanyaan soal kondisi pekerjaannya, namun tak segan mendapatkan perlakuan-perlakuan menenteramkan dari orang-orang sekitar.
“Sa pu adik itu kalau tahu saya sedang banyak pekerjaan, de lihat saya (pulang) dari pintu rumah dengan muka lelah, de akan langsung tawarkan bawakan sa pu tas. Lalu suruh saya mandi, baru pijit. De juga akan langsung bersih-bersih rumah, masak, semuanya.”
Baca Juga: Firrina Sinatrya, Kampanye Anak Perempuan Papua
Keluarga merupakan ruang terdekat dari individu untuk mendapatkan kenyamanan dan saling mengandalkan. Hal inilah yang membersamai pengalaman Melan, Rutina, maupun Lami.
Rutina kini tengah hamil, usia kandungannya 8 bulan. Tubuhnya kerap mengalami fase fluktuatif. Ia dapat merasakan emosinya naik turun, tiba-tiba merasakan lelah luar biasa. Namun kehadiran pasangannya amat membantu.
“Dia paham, mau belajar. Dia biasa melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Cuci, masak, beres-beres rumah.”
Lami pun menjalani pengalaman berumah tangga serupa. Suaminya memahami aktivitasnya yang banyak dilakukan di luar rumah, sehingga harus meninggalkan anak-anaknya.
“Sa tidak khawatir. Suami saya membantu, mau memasak, urus anak yang paling kecil juga.”
Pembebasan Bersama, Langkah Baik Mengasihi Tubuh
Suatu inisiatif pernah muncul untuk menyelesaikan konflik bersenjata di Tanah Papua. Pada bulan September 2022 bertempat di Jenewa, empat pihak, yakni Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), United Liberation Movement for Papua (ULMWP), Majelis Rakyat Papua (MRP), dan Dewan Gereja Papua (DGP) menandatangani sebuah Nota Kesepahaman (MoU) Jeda Kemanusiaan yang bertujuan untuk fokus memberikan bantuan kemanusiaan kepada warga sipil yang terjebak dalam wilayah konflik bersenjata maupun mengungsi karena konflik bersenjata.
Namun di awal tahun 2023, pihak Komnas HAM secara sepihak membatalkan kesepakatan ini dengan alasan bahwa semestinya penandatanganan dilakukan oleh pihak-pihak yang berkonflik. Komnas HAM mengakui bukan sebagai pihak yang punya otoritas dalam konteks konflik bersenjata. Tentu saja pihak lainnya berang dan menilai langkah yang dilakukan Komnas HAM tampak main-main, tanpa keseriusan.
Pendeta Benny Giay sebagai moderator dari DGP berpendapat bahwa jeda kemanusiaan diharapkan menjadi upaya awal penyelesaian konflik secara damai. Tampaknya, upaya-upaya perdamaian untuk situasi konflik bersenjata di Tanah Papua, apapun bentuknya, memang layak untuk dicoba ditempuh.
Baca Juga: Pemerintah, Hentikan Kekerasan pada Perempuan Papua
Upaya perdamaian tentu akan membawa angin segar bagi aktivis HAM di Tanah Papua, tak terkecuali Rutina, Melan, dan Lami. Setidaknya, ketiganya punya kesempatan untuk ikut jeda sejenak, menyusun langkah-langkah berimbang dan seirama agar tak lagi luput menyertakan upaya untuk mensejahterakan diri secara fisik maupun mental.
Sekadar keinginan untuk memperjuangkan orang Papua saja tidak cukup. Mereka harus menjadi kreatif untuk memahami secara mendalam persoalan-persoalan di Papua yang tidak terpisah dari dirinya. Individu yang otonom menyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari lingkungannya. Proses inilah yang melibatkan emosi-emosi untuk menjalin keterkaitan individu dengan makhluk hidup lainnya dan dunia sekitarnya.
“Kita dari awal tahu… tahu sekali bahwa perkara (kesejahteraan mental) sangat… amat penting, tapi karena kita tinggal urus kita punya pekerjaan: yang tiba-tiba teman tertangkap, ada dropping (penerjunan) pasukan (aparat militer), demo DOB (Daerah Otonomi Baru), penembakan dimana… kita tra lagi sadar bahwa sebenarnya barang itu (kesejahteraan mental) penting. Pelan-pelan kita jadi menormalisasikan sesuatu yang tidak normal sebenarnya.”
Melan mengibaratkan, daftar prioritasnya terlanjur panjang untuk sekadar menyisipkan upaya mensejahterakan diri ke dalamnya.
Baca Juga: Veronica Koman: Tak Ada Kemerdekaan bagi Perempuan Papua
Kepelikan memperhatikan kesejahteraan diri dalam aktivisme juga tergambar melalui respon-respon yang muncul dari sesama pejuang HAM, bahkan terdekat dari Melan.
Imbuh Melan berapi-api, “Faktor lainnya, ini terutama dari teman laki-laki. Ada kalanya teman-teman perempuan mungkin tidak peduli dengan komen dari teman laki-laki, “Ih… kamu olahraga?” tapi secara tidak sadar itu pengaruhi kita punya konstruksi pikiran. Jadi kita berpikir, ah… pekerjaan ini lebih penting, soal kesehatan diri sabar dulu.”
Seakan, kepedulian terhadap tubuh sendiri dapat diliyankan dengan mudah dan jika dilakukan pada saat ini bernilai tidak tepat. Urgensinya adalah menangani maupun bekerja sekeras tenaga untuk menuntaskan konflik bersenjata, pelanggaran HAM, dan isu kekerasan di Tanah Papua.
Bercermin pada pengalaman tiga perempuan aktivis HAM Papua, mengasihi tubuh mustahil dilakukan pribadi. Sepatutnya, dijalankan dengan sadar secara kolektif.
Selain itu, Melan menuntut adanya langkah perubahan besar menyudahi bara konflik berkepanjangan di Tanah Papua. Tak lain bertujuan untuk mengembalikan kasih terhadap dirinya sendiri yang selalu terdepak daftar panjang prioritas kerja.
Ilustrator: Chelsianinta