Sesungguhnya Rasisme Sudah Diajarkan Sejak Saya Kecil, Belajar Dari Kasus George Floyd

Sesungguhnya rasisme secara diam-diam sudah ‘diajarkan’ sejak saya kecil. Paling tidak itulah pengalaman saya dan beberapa pengalaman orang lain. Perlakuan pembedaan yang menganggap ras ini lebih baik, kulit ini lebih bagus adalah cara-cara yang diam-diam bisa menimbulkan stigma dan diskriminasi

Ruby Astari- www.Konde.co

Misalnya anggapan yang menyebutkan bahwa pelajar atau mahasiswa dari ras Asia dianggap kurang pintar dibandingkan orang barat, atau kulit hitam sifatnya dianggap kasar dibandingkan kulit putih

Hal ini kemudian menyebar dengan berbagai anggapan, stigma dan perlakuan yang membedakan.

Saya punya pengalaman seperti ini, sewaktu kecil, saya pernah dianggap berkulit paling terang diantara kedua saudara saya. Kakak perempuan dan adik laki-laki sama-sama berkulit gelap. Waktu itu, saya bisa merasakan kekesalan kakak saat berkilah: “Soalnya Ruby hampir nggak pernah keluar rumah.”

Memang, dulu saya lebih suka di kamar, membaca buku atau mendengarkan radio serta menulis, namun berkulit terang bisa menjadi keributan ketika banyak orang di sekitar kita kemudian mengistimewakan kulit terang dibandingkan kulit hitam. Seperti yang berkulit putih didahulukan, dianggap penting, lalu diistemawakan. Namun tidak bagi kulit hitam

Kulit putih atau kulit terang menerima keistimewaan sebagai kulit yang dianggap segar, menerima banyak pujian, sedangkan kulit hitam dipandang sebelah mata.

Buat saya, inilah yang menjadi cikal bakal perlakuan rasis dari satu orang kepada orang lain. Perlakuan ini kemudian menyebar tak hanya dari orang ke orang lain, namun dari kelompok ke kelompok lain, dari lingkungan yang lebih besar ke lingkungan besar yang lain yang berujung pada stigma dan diskriminasi

Perilaku diskriminasi yang terjadi terus-menerus ini kemudian bisa menimbulkan gejolak dan protes karena memperlakukan orang secara rasis berarti mendiskriminasi atau merugikan orang lain, memperlakukan orang lain menjadi berbeda dan lebih buruk. Menganggap ras ini atau budaya ini lebih baik dibandingkan yang sana.

Perilaku rasisme ini menurut saya yang kemudian juga menjadi penyebab kematian George Floyd, pemuda kulit hitam di Amerika yang menjadi korban kebrutalan polisi di Minneapolis, Amerika Serikat. George Floyd dituduh membeli rokok dengan uang palsu pada 25 Mei 2020. Ia meninggal karena kebrutalan polisi

Dalam sekejap sesudah rekaman kejadian tersebut viral, gelombang protes membesar secara global hingga sekarang. Tidak hanya warga kulit hitam, semua manusia yang merasa nuraninya terusik dan mendapat perlakukan diskriminasi, melihat perlakuan diskriminasi, langsung angkat suara.

Dari aksi-aksi ini, saya juga membaca banyak yang seperti ketakutan jika gerakan dukungan untuk George Floyd ini pasti akan menuntut keistimewaan hak warga kulit hitam dan lantas secara otomatis meminggirkan hak-hak warga lain yang bukan berkulit hitam. Harus selalu se-biner itukah?

Padahal tidak. Kalau mau benar-benar lihat faktanya di lapangan, masalahnya tidak hanya pembedaan pada kulit hitam, namun ada banyak sistem dan elemen lain yang bermain dalam mengkondisikan situasi ini seperti pelecehan dan rasisme yang berujung pada diskriminasi.

Saya tidak ingin membahas masalah di atas lebih lanjut, karena sudah banyak juga yang melakukannya. Apalagi, banyak komentar di media sosial di Indonesia yang mempertanyakan: jika di Amerika ada George Floyd, apakah kita di Indonesia sudah memperlakukan Papua dengan baik? Apakah tak ada diskriminasi perlakuan pada Papua? Bisa jadi selama ini kita sempat lama terlena, hingga soal Papua sempat melayang dari benak kita.

Lalu bagaimana dengan perlakuan terhadap para perempuan? Apakah ada diskriminasi pada para perempuan? Perempuan jelas banyak mengalaminya, para feminis mengatakan bahwa jika ada perlakuan rasis yang berujung pada diskriminasi pada laki-laki, maka perempuan akan mengalami yang lebih hebat dari itu, karena tak hanya diskriminasi namun perempuan biasanya mengalami tekanan karena dianggap tak bisa bersuara, dianggap tak bisa berpendapat

Di www.Konde.co, aktivis Vioranda Felani pernah menuliskan seperti ini: penilaian atas kulit putih yang dianggap lebih
tinggi statusnya dibandingkan kulit hitam atau kulit coklat, sudah menjadi
perbincangan sekaligus kritik sejak zaman dulu. Lihat saja penilaian yang
menyatakan bahwa perempuan cantik adalah perempuan yang berkulit putih dan
berambut panjang. Kulit putih seperti menempati supremasi tertinggi dalam
penilaian-penilaian fisik dimanapun.

Di
kalangan pekerja di Amerika, pekerja kulit hitam sering mendapatkan
diskriminasi dibanding pekerja kulit putih yang lebih banyak mendapat
keistimewaan.Di kalangan pegiat mode dan fashion, orang yang
berkulit putih lebih banyak mendapat porsi dibanding model kulit hitam. Maka
tak heran jika mempunyai kulit putih kemudian sering menjadi cita-cita banyak orang dan berbagai kalangan di dunia.

Industri kecantikan juga menyulap banyak
perempuan menjadi putih dan kondisi ini tumbuh subur dimana-mana, dari suntik
untuk menjadi putih hingga menyulap wajah dengan make up menggunakan whitening.
Padahal kondisi inilah yang sering tak dimaui perempuan, yaitu harus tampil
sebagaimana yang diinginkan oleh orang lain, oleh mode, fashion dan
penilaian-penilaian yang diberikan orang lain.

Tak harus menjadi putih untuk bisa menikmati
hidupmu, kampanye ini banyak didengungkan oleh para feminis agar perempuan
merasakan nyaman dengan kulit dan fisik yang dipunya.

Jadi semoga kita termasuk orang yang peduli, tak melakukan diskriminasi, tidak rasis dan sudah melakukan banyak hal untuk yang mendapat perlakuan buruk dan terdiskriminasi selama ini

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)



Ruby Astari, sehari-hari bekerja sebagai translator dan author. Ia juga seorang blogger dan banyak menulis sebagai bagian dari ekspresi dirinya sebagai perempuan

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!