Kekerasan Seksual Bisa Terjadi Dimana-mana, Termasuk di Lingkaran Aktivis

Kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkaran aktivis yang bergerak di isu HAM menjadi bukti bahwa ruang aman dan nyaman menjadi hal penting yang harus diwujudkan

Tika Adriana- www.Konde.co

Sekitar sepekan lalu, pemilik akun Twitter @DianRatti buka suara tentang kekerasan seksual yang dilakukan oleh Nadi Tirta Pradesha atau Esha, anggota Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI). Di situ, Dian mengungkapkan rasa kecewa terhadap ketua Sindikasi, Ellena Ekarahendy dan organisasi tersebut yang dituduh telah menutupi kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh salah satu anggota mereka.

“Silakan tanya ketua kalian, cerita-cerita apa saja yang dia tutupin. Justru Ellena [ketua SINDIKASI], orang pertama di Sindikasi yang gue coba ajak ngobrol setelah Esha perkosa gue. Kejadiannya di salah satu acara kalian, pelakunya anggota kalian, kemana coba gue baiknya cerita?” tulis @DianRatti.

“Gue kirim email anonim dua tahun lalu karena gue udah mentok. Gak tau bisa cerita ke siapa lagi. Ellena ngehindar, sementara Esha hampir selalu ada di acara Sindikasi. Dan mereka tinggal bareng. Giliran gue coba buka cerita secara anonim, gue malah dituduh ‘menyetankan’ Ellena,” tambahnya.

Menanggapi kejadian ini, pada 29 Juli 2020, Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) SINDIKASI mengeluarkan surat berisi langkah-langkah dalam penyelesaian kasus dugaan kekerasan seksual di SINDIKASI. Melalui wawancara, mereka menyatakan bahwa organisasinya di tahun 2018 sudah membentuk tim penanganan kasus ini, namun sejak tahun 2018 itu, korban belum mau muncul. Dalam penelusuran ini tim MPO Sindikasi justru menemukan fakta kekerasan gender lain yang terjadi dalam organisasi mereka

Pada tanggal 30 Juli 2020, Sindikasi kemudian juga membentuk Tim Independen Pencari Fakta untuk mengungkap kasus dugaan kekerasan seksual SINDIKASI yang melibatkan LBH APIK (Asosiasi Perempuan Indonesia untuk keadilan), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), SAFEnet, serta anggota individu, Azriana Manalu (Ketua Komnas Perempuan 2015-2019).

“Tim akan menggali fakta-fakta baru serta menyediakan ruang aman bagi korban atau siapa pun yang punya informasi serta bisa membantu penyelesaian kasus ini. Tim akan bekerja sepanjang waktu yang dibutuhkan,” ujar MPO SINDIKASI yang dikoordinatori oleh Luviana.

Selama proses penuntasan kasus ini, MPO SINDIKASI juga menonaktifkan kedua tertuduh yakni Ellena Ekarahendy dan Nadi Tirta Pradesha dari segala pekerjaan organisasi. Selain itu, mereka juga berjanji akan berkomitmen untuk mengawal kasus hingga selesai dan membawa keadilan bagi korban.

Kasus ini awalnya terjadi di tahun 2018 ketika ada peretasan email yang terjadi di email serikat Sindikasi. Dalam pesan emailnya, email anonim tersebut mengatakan bahwa Nadi Tirta Pradesha melakukan kekerasan seksual namun ditutupi oleh ketua Sindikasi, Ellena. Di tahun 2018 itulah, MPO Sindikasi membentuk tim dan menelusuri kasus ini namun menemukan fakta lain bahwa terjadi kekerasan gender dalam kasus ini yang melibatkan Tirta Nadi dan Ellena dalam kasus yang lain. MPO Sindikasi telah menjatuhkan sanksi pada keduanya atas kasus ini.

Sedangkan korban seperti yang tertulis dalam email peretasan tersebut, tidak ditemukan hingga tahun 2019. Lalu tiba-tiba 2 tahun kemudian, yaitu pada uli 2020 ada twitter dari @DianRatti yang mengunggah kasus yang terjadi di tahun 2018 ini

Sebelum MPO SINDIKASI mengeluarkan surat terbarunya pada 30 Juli 2020, mereka sempat dikritik oleh berbagai pihak, termasuk oleh kolektif yang bergerak di isu keadilan gender seperti Koalisi Ruang Publik Aman yang terdiri dari DearCatcallers Indonesia, Hollaback! Jakarta, Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta, perEMPUan, dan Yayasan Lentera Sintas Indonesia dan PurpleCode yang menyayangkan terjadinya kasus kekerasan seksual yang masih terjadi dalam sebuah organisasi dan komunitas yang kerap menyuarakan keadilan dan Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk di antaranya isu kekerasan seksual.

Melalui pernyataan sikap yang diterima Konde.co, mereka menganggap pernyataan sikap yang dikeluarkan oleh SINDIKASI pada 28 Juli 2020 yang menyatakan hanya memberikan batas waktu bagi korban untuk melaporkan kasus ini selama 1 bulan. Ini dianggap belum berpihak pada korban karena hanya memberikan tenggat waktu pelaporan selama satu bulan

“Suara korban perlu direspon dengan mekanisme yang membuat korban merasa aman untuk tetap bersuara serta melaporkan kejadian yang dialaminya. Setiap korban kekerasan seksual berhak mendapatkan ruang aman untuk bersuara dan mendapatkan keadilan, perlindungan, dan pemulihan,” ujar Koalisi Ruang Publik Aman.

Seharusnya, SINDIKASI tak memberikan batas waktu pada korban untuk mengutarakan kasusnya karena kita tahu, kondisi sosial dan hukum kita masih belum berpihak pada korban, sehingga seharusnya mereka mengutamakan pemulihan trauma bagi korban.

Dalam wawancaranya, MPO Sindikasi membantah jika mereka tak berperspektif korban, justru hingga kasus ini terjadi sejak tahun 2018 mereka telah membuka pengaduan namun korban belum melaporkan. Sindikasi sudah membentuk tim, membuka pengaduan dan melakukan penelusuran, namun tidak diketahui siapa korbannya

“Kasus ini sudah terjadi sejak tahun 2018 dan sejak itu pula kami membentuk tim dan membuka pengaduan pada korban, namun belum ada pelaporan. Jika kemarin kami membuka pelaporan selama satu bulan, itu karena kami sudah punya rencana bahwa akan ada tim khusus independen yang terdiri dari para aktivis HAM dan perempuan yang akan menindaklanjuti kasus ini,” kata Luviana

Kejadian yang menimpa SINDIKASI ini seharusnya jadi pelajaran bagi kita semua bahwa kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja, termasuk dalam lingkaran progresif seperti aktivis sekalipun.

Saya ingat kasus yang sempat terangkat pada Januari 2020 lalu, yakni perkosaan yang dilakukan oleh aktivis dari Malang Corruption Watch (MCW). Saat itu, pendamping korban menyesalkan sikap MCW yang justru terus menerus menghubungi korban, bukan pendamping untuk menuntaskan kasus kekerasan seksual. Padahal kala itu, korban sedang dalam masa pemulihan trauma.

Kasus ini merupakan pengingat bagi setiap kelompok dan individu yang kerap menyuarakan keadilan dan Hak Asasi Manusia untuk bersama-sama konsisten dan berkomitmen dalam perjuangannya. Jika terjadi kasus kekerasan seksual di lingkungan mereka, maka keterbukaan informasi dan keadilan bagi korbanlah yang utama. Kekerasan seksual bukanlah isu satu kelompok saja. Kekerasan seksual merupakan musuh bersama.

Agar tak tergagap saat menghadapi kasus kekerasan seksual, setiap organisasi/kelompok/kolektif harusnya memiliki Panduan Penanganan Kekerasan Seksual. Panduan ini bisa menjadi payung keadilan bagi korban ketika ia hendak menyampaikan pengalaman traumatisnya.

Dan tentu saja, kita semua harus bersatu untuk menciptakan ruang aman bagi semua orang ragam gender dengan terus mendorong pemerintah untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).

*Tika Adriana, jurnalis perempuan yang sedang berjuang. Saat ini managing editor Konde.co

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!