Menguatnya Konservatisme Berakibat Buruk Pada Kesetaraan Perempuan

 

Dina Afrianty, La Trobe University

Artikel ini bagian dari rangkaian tulisan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia.


Perempuan memiliki peran penting dalam jatuhnya Soeharto, dan tidak diragukan bahwa perempuan terus mengalami kemajuan penting sejak Reformasi dimulai pada 1998.

Indonesia telah memiliki presiden perempuan, dan saat ini memiliki menteri-menteri perempuan, di antaranya Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Mereka masing-masing adalah birokrat kelas dunia dan pembaharu ekonomi.

Perempuan, tua atau muda, di desa atau kota, secara aktif urun daya pada keluarga, komunitas dan bangsanya.

Mereka adalah kepala rumah tangga yang aktif secara sosial, menjadi sukarelawan, dan berorganisasi di berbagai bidang kehidupan.

Namun, setelah 75 tahun merdeka, Indonesia masih memiliki kesenjangan yang signifikan dalam kesetaraan.

Di bidang ekonomi hingga keadilan sosial, perempuan tetap dirugikan. Misalnya, tingkat partisipasi mereka di pasar tenaga kerja secara umum tidak berubah (hanya sekitar 51% untuk perempuan berusia 15 tahun ke atas) dalam 20 tahun terakhir.

Ada juga catatan-catatan komprehensif atas isu-isu penting seperti pernikahan remaja perempuan di bawah umur dan kekerasan terhadap perempuan.

Saya mengkaji meningkatnya kesalehan publik dan dampaknya terhadap reformasi kebijakan untuk kesetaraan di Indonesia selama dua dekade terakhir.

Walau ada kerugian yang terukur bagi perempuan, ada kecenderungan dalam advokasi kebijakan untuk mendorong agenda kebijakan yang didasari oleh agama – beberapa dipimpin oleh perempuan Muslim – yang menarik mundur kemajuan dan membatasi kebebasan memilih perempuan.

The Conversation Indonesia, CC BY

Konservatisme agama dan politik Islam

Riset Pew pada 2018 mengungkapkan bahwa orang Indonesia sangat religius: sekitar 93% penduduk percaya agama dan melihat agama sebagai aspek penting dalam kehidupan mereka.

Temuan ini tentu tidak kontroversial.

Namun, yang kemudian menjadi jelas sejak Reformasi adalah adanya tren politikus dan beragam aktor masyarakat sipil (termasuk organisasi berbasis agama dan perempuan) yang mengeksploitasi kesalehan publik untuk memajukan agenda sosial berdasarkan norma-norma agama konservatif.

Akibatnya, dalam banyak contoh, agama merasuk ke dalam wacana publik dan mempengaruhi, bahkan menentukan, masa depan dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan hukum.

Secara khusus, bagian dari agenda usaha adalah penggunaan perspektif religius yang didasarkan pada pemisahan peran sosial antara laki-laki dan perempuan.

Perempuan tentu saja terdampak.

Contoh yang menonjol adalah promosi mengenakan pakaian Muslim, semakin populernya gerakan “Indonesia tanpa pacaran”, promosi untuk poligami, dan seruan untuk mencela feminisme berdasarkan nilai-nilai Islam.

Ini adalah tren sosial yang terjadi di banyak negara Muslim, seperti Mesir, Maroko dan Tunisia.

Di wilayah tempat Islam mendominasi, perempuan jelas berisiko dipaksa untuk mengikuti satu aliran Islam berdasarkan citra perempuan Muslim ideal dari kacamata patriarki.

The Conversation Indonesia, CC BY

Aktivisme melawan kesetaraan gender

Contoh-contoh gerakan sosial Islam populer ini menunjukkan adanya komitmen untuk secara sukarela patuh pada nilai-nilai tertentu.

Gerakan-gerakan ini merefleksikan adanya kesetiaan pada sebuah cara pandang dalam hidup yang mengatur peran dan perilaku perempuan secara spesifik.

Adanya sebagian perempuan yang mendukung cara pandang ini menunjukkan bahwa di Indonesia hari ini, perempuan tampaknya mampu menentukan pilihan tentang perannya dalam kehidupan dan masyarakat.

Yang menjadi masalah adalah pilihan-pilihan pribadi dan tindakan-tindakan kolektif ini juga telah menjadi dasar dalam upaya untuk mempengaruhi masyarakat lebih luas.

Dengan kata lain, pilihan dan tindakan ini berada di pusat penolakan terhadap inisiatif kebijakan yang bertujuan untuk menguntungkan perempuan dan memajukan kesetaraan dalam forum politik dan hukum.

Serangkaian nilai tertentu yang menjadi identifikasi satu kelompok saat ini diterapkan pada perempuan Indonesia secara keseluruhan.

Bentuk aktivisme yang paling menyeluruh adalah seruan bagi negara untuk mengatur tubuh perempuan, termasuk hak reproduksi, moralitas dan seksualitas perempuan.

Pengesahan Undang-Undang (UU) Anti Pornografi pada 2008 adalah contoh awal yang menonjol.

UU tersebut kemudian diikuti oleh upaya mengkriminalisasi homoseksualitas, yang mempengaruhi kemampuan memilih bagi laki-laki dan juga perempuan.

Ada pula upaya penolakan yang gigih dan sangat teorganisasi terhadap usaha untuk meningkatkan kesetaraan di Mahkamah Konstitusi.

Dalam proses pengesahan revisi UU Perkawinan oleh Dewan Perwakilan Rakyat – yang menaikkan usia minimum menikah bagi perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun – tantangan serupa juga muncul.

Tantangan itu datang dari kubu yang sangat dimotivasi oleh dan bertujuan mendorong doktrin agama dalam membela sesuatu yang tidak layak dibela.

Yang terbaru, ada penolakan yang tegas dan keras terhadap Rancangan Undang-Undang Anti-kekerasan Seksual.

Sekali lagi, para penolak membangun argumentasi berdasarkan atas ajaran Islam.

Kampanye tidak hanya dilakukan oleh politikus tetapi juga kelompok masyarakat sipil yang sangat terorganisasi, seperti Aliansi Cinta Keluarga, yang tanpa henti mempromosikan nilai-nilai sosial konservatif.

Mereka menolak kerangka kebijakan yang dapat memajukan perempuan, dan khususnya perempuan penyandang disabilitas.

Rancangan UU tersebut memperkenalkan sebuah kerangka keadilan pidana yang komprehensif terhadap kekerasan seksual, yang mencakup pelecehan seksual, eksploitasi seksual, kontrasepsi paksa, prostitusi paksa, perbudakan, dan pelecehan seksual yang terjadi di ranah pribadi dan publik.

Bila rancangan UU itu ditolak, ini berarti kekerasan terhadap perempuan akan terus dinormalisasi.

Pilihan siapa?

Sulit bagi banyak orang untuk menentang norma-norma agama dalam masyarakat yang sangat taat dalam beragama.

Para pendukung kebijakan kesetaraan publik juga secara negatif dianggap sebagai pendukung ideologi asing atau budaya Barat yang bertentangan dengan nilai-nilai Indonesia.

Tantangan yang ada saat ini adalah agar kontestasi publik di Indonesia dapat dengan tepat mencerminkan kebutuhan semua perempuan Indonesia ketimbang pilihan kelompok tertentu.

Demokrasi memastikan adanya ruang terbuka untuk debat semacam ini.

Namun, saat ini ada bahaya nyata bahwa kemajuan-kemajuan bagi perempuan Indonesia yang berada dalam posisi lemah akan hilang dalam hiruk-pikuk perdebatan bias gender berdasarkan agama.


Artikel ini diterjemahkan oleh Agradhira Nandi Wardhana dari Bahasa Inggris.The Conversation

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Dina Afrianty, Research Fellow at La Trobe Law School, La Trobe University

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!