Diskriminasi

Diskriminasi LGBT Terus Terjadi, Mana Sikap Kritis Media?

Sejumlah pemberitaan media online tentang ASEAN Queer Advocacy Week masih diskriminatif dan mengamplifikasi narasi kebencian. Narasumber tak berimbang dari kalangan ‘otoritas resmi’ yang tidak mempertimbangkan dampak terhadap minoritas LGBT, mengabaikan prinsip HAM.

Beberapa waktu itu, narasi pemberitaan yang mengarah pada kebencian dan diskriminasi terhadap minoritas LGBTIQ (lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer) kembali bermunculan. Itu terjadi, saat acara The ASEAN Queer Advocacy Week (AWW) ramai mengalami penolakan. 

Beberapa judul pemberitaan itu seperti ‘meresahkan masyarakat’, ‘tutup semua akses dan perizinan’, ‘tuai kutukan’, sampai ‘siaga jihad tolak’. 

Narasi-narasi itu dimunculkan dari pernyataan berbagai kelompok anti keberagaman bahkan otoritas resmi, yang semestinya memberikan perlindungan dan keamanan. 

Sekretaris Jenderal AJI Indonesia, Ika Ningtyas mengatakan sejumlah media online gagal memberikan ruang aman bagi kelompok gender minoritas. Media tak seharusnya mengamplifikasi narasi kebencian yang digelorakan kelompok intoleran di media sosial ataupun kutipan pernyataan yang diskriminatif. 

Hasil pemantauan AJI terhadap pemberitaan daring, sejumlah media masih mengabaikan Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman. 

Nihilnya sikap kritis media ini justru menjadi ‘perpanjangan tangan’ terhadap kebencian dan ancaman seperti kata ‘mengusir’ dan ‘menyimpang’. Lainnya, juga karena narasumber yang dihadirkan sebatas kalangan otoritas resmi yang mengabaikan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dan keragaman gender, serta dampaknya terhadap minoritas LGBTIQ. 

Sebagian pemberitaan media online berskala lokal maupun nasional lebih banyak memuat pernyataan politisi, polisi, Majelis Ulama Indonesia (MUI), sampai pejabat pemerintah. Yang menguatkan potensi permusuhan, kebencian, diskriminasi, dan persekusi terhadap kelompok tersebut. 

“Media harus lebih kritis, menjunjung keberagaman dan menghormati bahwa setiap orang memiliki hak untuk berkumpul, menggelar rapat, dan berserikat yang diselenggarakan untuk maksud damai seperti yang dijamin konstitusi.” Ujar Ika dalam pernyataan resmi kepada Konde.co

Baca juga: Ramai di Medsos Soal Tulisan ‘Jalan Tobat LGBT’: Kegagalan Media Memandang Hak Minoritas

Menurutnya, ini harus jadi perhatian. Sebab secara langsung dan tidak langsung narasi kebencian pemberitaan bisa meningkatkan ancaman kekerasan yang diterima LGBTIQ. 

“Dampaknya, penyelenggara pertemuan AWW, forum pertemuan itu memutuskan memindahkan lokasi pertemuan itu yang semula di Jakarta pada 17-21 Juli 2023. Karena menerima serangkaian ancaman keamanan dan keselamatan dari sejumlah pihak anti LGBTIQ,” katanya. 

Arus Pelangi sebagai penyelenggara acara itu, bahkan mendapatkan ancaman pembunuhan melalui media sosial seperti Twitter dan Instagram secara bertubi-tubi. Para pendengung dan pemengaruh mengobarkan kebencian. 

Selain itu, akun media sosial organisasi yang fokus pada advokasi hak LGBTIQ tersebut lumpuh total karena serangan massal di dunia maya. Dampak lainnya, akun pribadi pegiat Arus Pelangi dan identitas penyelenggara juga disebarkan secara masif di media sosial. 

Padahal forum pertemuan itu dihelat untuk berdialog dengan kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Termasuk mereka yang didiskriminasi berdasarkan orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender, dan karakteristik seks mereka (SOGIESC). 

“Mereka memiliki visi bersama tentang kawasan ASEAN yang inklusif dan mengupayakan ruang aman bagi masyarakat sipil,” imbuhnya. 

Ika juga mendesak media massa untuk lebih serius menulis berita yang inklusif terhadap kelompok minoritas LGBTIQ, menghormati keberagaman, menggunakan perspektif hak asasi manusia sesuai prinsip Deklarasi Universal HAM, dan berpegang pada Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman Dewan Pers.

Baca juga: Riset: Jelang Tahun Politik, Pemberitaan Media Online Diskriminatif Terhadap LGBT 

Satu sisi, Manajer Advokasi SEJUK, Tantowi Anwari menekankan, perusahaan media massa semestinya mulai mengakui HAM sebagai dasar kebijakan bisnis mereka. Pendekatan HAM tidak hanya berpikir tentang untung, melainkan menjaga prinsip anti-diskriminasi. 

“Penting bertanggung jawab melalui pemberitaan yang tidak meminggirkan minoritas LGBTIQ yang berujung pada kekerasan dan persekusi,” tambah Thowik. 

Riset Konde.co bekerja sama dengan USAID & Internews bertema Their Story: Riset Media Memandang Keragaman Gender Dan Seksual Non-normatif “LGBT” (2022) menunjukkan media masih melakukan marginalisasi terhadap komunitas gender dan seksualitas (LGBTIQ) dengan penggunaan diksi yang berkonotasi negatif dan pemilihan narasumber yang terbatas pada otoritas resmi.

AJI Indonesia belum lama ini juga mengamati pemberitaan sejumlah media online cenderung diskriminatif terhadap kelompok LGBTIQ menjelang Pemilihan Umum 2024. Dampak pemberitaan itu berpotensi memperparah persekusi dan kekerasan terhadap LGBT. 

Temuan itu muncul dari hasil pemantauan media massa oleh AJI, SEJUK, dan Arus Pelangi. Sepanjang Januari dan Februari 2023, hasil pendataan berita media daring yang menunjukkan sebagian besar tidak berperspektif gender dan tidak melindungi hak minoritas LGBTIQ.

Selain menyoroti pemberitaan media online, AJI dan Sejuk juga memantau platform media sosial seperti Twitter masih menjadi ruang yang menyuburkan narasi kebencian pada kelompok LGBTIQ menjelang ASEAN Queer Advocacy Week. 

Platform media sosial seharusnya lebih proaktif untuk mencegah beredarnya narasi kebencian yang mendiskriminasi kelompok rentan, terutama yang mengandung ancaman terhadap keselamatan jiwa kelompok LGBTIQ. 

“Platform media sosial tidak bisa lagi hanya mengandalkan mekanisme laporan dari pengguna, bukan hanya karena proses tindak lanjut yang tak pasti, tetapi juga karena jumlah narasi yang beredar cenderung sangat massif dan cepat,” Kata Ika Ningtyas. 

Menurut Ika, sudah saatnya platform media sosial mengubah kebijakan moderasi konten yang lebih inklusif, memperhatikan konteks, dan proaktif dalam melindungi kelompok rentan. 

Ancaman Serius Demokrasi dan Keberagaman

Lintas Feminis Jakarta turut mengecam keras serangan dan ancaman sistematis terhadap penyelenggara “The ASEAN Queer Advocacy Week”. Upaya pembungkaman ini adalah ancaman serius terhadap demokrasi dan keberagaman. 

Tidak hanya kelompok organisasi masyarakat intoleran, pihak aparat penegak hukum bahkan ikut mengebiri hak kebebasan berkumpul, berserikat, dan berpendapat dengan melakukan pelacakan lokasi kegiatan. Tindakan ini bertentangan dengan Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945 yang menjamin kebebasan setiap orang untuk berkumpul, berserikat, dan berpendapat.

Isu LGBT sering kali dimunculkan di saat terdapat situasi sosial, politik, dan hukum yang berdampak serius terhadap seluruh masyarakat Indonesia. 

Menurut mereka, upaya pembungkaman terhadap penyelenggara “The ASEAN Queer Advocacy Week” berhasil menutupi pemberitaan pengesahan UU Omnibus Kesehatan yang mengancam pemenuhan hak kesehatan kita semua. Alih-alih memberitakan sidang paripurna, media berbondong-bondong menggoreng isu LGBT.

“Pada akhirnya rakyat yang dirugikan dari politik diskriminasi ini, terlebih lagi kelompok LGBT. Sudah sepatutnya kita lebih kritis dan adil dalam menyikapi situasi seperti ini, apakah isu LGBT sengaja dinaikkan untuk menutupi kasus-kasus besar?” katanya. 

Padahal, negara seharusnya hadir memberikan perlindungan bagi setiap orang dari tindakan-tindakan diskriminatif dan represif. Namun demikian, diskriminasi terhadap kelompok LGBTIQ justru dirawat dan dilanggengkan oleh negara dan aktor-aktor non negara melalui politik diskriminasi. 

Baca juga: Pertemuan LGBT ASEAN Batal Digelar di Indonesia Setelah Serangan Kontra yang Masif

Koalisi NGO Indonesia untuk Advokasi Hak Asasi Manusia Internasional (HRWG) mendesak negara agar menindak pelaku-pelaku yang selama ini menebar hasutan dan kebencian terhadap kelompok LGBTIQ di Indonesia. 

“Kepolisian RI seharusnya menjalankan SE Kapolri tahun 2015 soal penanganan ujaran kebencian,” ujar pernyataan resmi HRWG.  

Ujaran kebencian bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas, di antaranya: 1. Suku, 2. Agama, 3. Aliran keagamaan, 4. Keyakinan atau kepercayaan, 5. Ras, 6. Antargolongan, 7. Warna kulit, 8. Etnis, 9. Gender, 10. Disabilitas, dan 11. Orientasi seksual. 

“Ujaran kebencian akan memicu kejahatan dan jika tidak ditangani dengan tepat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan akan berpotensi memunculkan konflik sosial yang meluas, dan berpotensi menimbulkan tindak diskriminasi, kekerasan, dan bahkan penghilangan nyawa,” lanjutnya. 

Maka dari itu, selain mendorong kepolisian untuk menindak pelaku ujaran kebencian terhadap kelompok LGBTIQ, HRWG juga menyerukan negara untuk melindungi setiap individu dari kekerasan, homofobia, dan transfobia. Selain itu, perlu juga ada upaya mencegah penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat.

Tak kalah penting, negara harusnya tegas mencabut undang-undang atau kebijakan yang mengkriminalkan homoseksual dan transgender. Di sisi lain, melarang diskriminasi berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender. Hingga menjamin kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul secara damai bagi semua orang LGBTIQ.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!