AJI Jakarta Kecam Pemberitaan Media Yang Diskriminatif Dalam Kasus Hotspace

Pemberitaan media soal acara privat Hospace Event di Jakarta dinilai AJI Jakarta diskriminatif dan sensasional. Media hanya menuliskan peristiwa ini dari keterangan sepihak, yaitu dari polisi saja namun tak memberikan ruang bagi peserta atau tersangka yang mengikuti kegiatan tersebut untuk bicara 

Tim Konde.co

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta merespons pemberitaan soal penggerebekan acara ‘Privat Hotspace Event’ di The Kuningan Suites, yang dilakukan oleh Kepolisian Daerah Metro Jaya pada 29 Agustus 2020. 

AJI melihat, media massa terlihat mendiskriminasi dan memunculkan stigma terhadap kelompok LGBTQ di Indonesia melalui pemberitaan. 

Ada tiga masalah pada pemberitaan tersebut. Pertama, judul dan isi berita banyak yang justru mendiskriminasikan orientasi seksual terduga pelaku dan tersangka. Hal ini dapat memperkuat homofobia di masyarakat. Seharusnya media lebih tegas membedakan soal orientasi seksual dan kasus tersebut. 

Kedua, pengungkapan status HIV dari terduga pelaku dapat memperkeruh stigma penyakit tersebut di Indonesia. Stigma sudah lama menjadi penghambat proses penanganan HIV di Indonesia. HIV seharusnya menjadi tanggung jawab negara, bukan menguatkan kesalahan kelompok lewat pemberitaan. Namun justru aparat melakukannya

Stigma buruk lainnya yakni ‘mudahnya’ penularan HIV yang diinformasikan. Bila orang dengan HIV ditangani dengan layak dan seusai prosedur, maka penularan virus bisa dikontrol. Berhubungan seksual dengan pengaman pun dapat mencegah penularan HIV. 

Untuk diketahui, orientasi seksual dan perilaku seksual berisiko adalah dua hal yang sangat berbeda. Penting bagi jurnalis untuk memahaminya.

Selain itu, pengungkapan status HIV seseorang tidak relevan dengan pemberitaan. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, riwayat kesehatan seseorang termasuk informasi yang dikecualikan bagi khalayak. 

Ketiga, AJI Jakarta menilai pemberitaan kasus ini hanya menampung keterangan polisi tanpa memberikan kesempatan terduga pelaku untuk turut menjelaskan peristiwa yang terjadi. Maka dari kasus ini AJI Jakarta melihat bahwa media berpotensi jadi perpanjangan lidah kepolisian.

Ketua Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marginal AJI Jakarta, Nurul Nur Azizah berpendapat banyak media belum berimbang memberitakan kasus ini. misalnya penulisan judul yang menyerang kelompok LGBTQ. 

“Bumbu-bumbu pemberitaan yang sensasional masih banyak digunakan media, seolah beropini, seperti “Waduh!” dan “Terlalu!”. Juga penggunaan diksi diskriminatif seperti penyebutan “peserta pesta terlarang”, “pesta asusila sesama jenis”, hingga “hubungan terlarang” terhadap kelompok minoritas LGBTQ. Ini perlu dikritisi,” ujarnya di Jakarta (5/9/2020). 

Sementara, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Hak Kelompok Rentan (LGBTIQ) beranggapan penggerebekan lokasi hingga penanganan, mengabaikan sejumlah hak tersangka. Media massa sebagai pilar keempat demokrasi gagal mengawasi kerja pemerintah dan institusi Polri. 

AJI Jakarta mendesak media massa berhenti mendiskriminasikan kelompok LGBTQ dalam pemberitaan. Penghakiman moral berlandaskan prasangka, bertentangan dengan Pasal 8 dalam Kode Etik Jurnalistik. 

Dari kasus ini, AJI Jakarta juga mendesak Dewan Pers untuk memantau dan menegakkan kode etik profesi jurnalis di media

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!