Desa Tenggelam dan Hilang, Perempuan Setengah Mati Bayar Hutang: Akibat Banjir Rob

Banyak dusun tenggelam dan hilang akibat banjir rob di Demak. Para perempuan dan Lansia setengah mati mencari akses penghidupan dan kesehatan.
Konde.co dalam edisi khusus ini menyajikan reportase tentang situasi dan persoalan para perempuan pesisir menghadang banjir rob dan krisis iklim.

Masnuah ada di rumahnya siang itu. Ia sedang menjamu seorang mahasiswa yang sedang melakukan pengumpulan data untuk tesisnya. 

Rumahnya yang juga menjadi sekretariat Yayasan Paralegal Pertiwi itu biasa menjadi tempat transit para aktivis.

Saya menemui Masnuah di rumahnya di Demak, Jawa Tengah pertengahan November 2023. Ini pertemuan pertama saya dengan Masnuah. Sekitar seminggu sebelumnya saya menghubunginya via telepon memberitahukan rencana kedatangan Konde.co.

Beralas karpet di salah satu kamar yang biasa dipakai jika ada korban butuh tempat, Masnuah menuturkan perjuangan hidupnya.

Suaranya kadang serak, ia sedang batuk. Meski begitu ia tampak bersemangat membicarakan kehidupan perempuan di pesisir Demak dengan segala kompleksitas yang mereka hadapi. 

Ia keluar masuk Timbulsloko yang dipenuhi dengan dusun-dusun yang tenggelam karena banjir rob saat Covid-19. 

“Seperti kampung mati. Tidak ada jalan untuk keluar masuk ke kampung, jalanan rusak, terputus dan terendam banjir rob.”

Warga tidak bisa beraktivitas keluar kampung, mereka harus menunggu banjir rob surut. Kondisi surut pun banjir rob masih tetap menggenang. Saat azan berkumandang, musala tak ada jemaah. Anak-anak tidak bisa pergi mengaji dan sekolah. Mereka juga kehilangan tempat bermain.

Kadang suaranya bergetar dan matanya berkaca-kaca saat menceritakan pengalaman yang menyentuh perasaan.

Kultur Patriarki dan Perjuangan Perempuan dari Banjir Rob

Masnuah dan para perempuan disana bisa menjadi saksi banjir rob sudah melanda pesisir Demak, Jawa tengah sejak tahun 2000-an. 

Sejumlah dusun tenggelam, bahkan hilang. Kondisi ini membuat warga di pesisir Demak merasakan dampak berat. Perempuan, anak, lansia dan disabilitas menderita kerugian paling parah.

Masnuah, adalah pendiri organisasi perempuan nelayan Puspita Bahari. Kondisi ini makin berat karena  lingkungan masyarakat di pesisir Demak masih kental dengan kultur patriarki. Kondisi ini juga membuat perempuan terkungkung. Akses mereka terhadap informasi, ruang publik, pendidikan dan kesehatan jadi terbatas.

Ketika banjir rob melanda wilayah tersebut, kondisi perempuan yang timpang karena kultur patriarki menjadi makin buruk.

Kisah Nita, Rusikah, Darwati dan Dayah menunjukkan rob yang merusak sejumlah infrastruktur dan memutus jalan membuat beberapa dusun makin terisolasi. Kondisi ini mengakibatkan perempuan kesulitan mengakses layanan kesehatan sehingga mereka jadi lebih rentan.

“Banjir rob yang makin parah memperburuk kondisi perempuan. Mereka sulit keluar kampung untuk mendapatkan layanan kesehatan. Kalau mereka mau berobat, hamil dan mau melahirkan, atau memeriksakan keluarga dan lain sebagainya jadi sulit,” papar Masnuah kepada Konde.co, Selasa (14/11/23).

Baca Juga: Sering Diabaikan, Perempuan Punya Cara Merawat Lingkungan Yang Feminis

Selain itu, beban perempuan juga makin bertambah. Situasi ini bisa menyuburkan angka kekerasan terhadap perempuan.

Wilayah yang terisolasi membuat harga kebutuhan sehari-hari lebih mahal. Sementara penghasilan mereka jadi tidak menentu, ini lantaran hasil tangkapan nelayan kecil/tradisional jauh berkurang. Selain cuaca ekstrem, pemakaian alat tangkap yang tidak ramah lingkungan jadi penyebab. Ini dialami oleh Darwati, Masnuah dan para nelayan di Demak.

Masnuah yang ditemui di kediamannya mengungkapkan, beban dari kondisi sulit seperti ini lebih banyak ditanggung oleh perempuan. Pasalnya perempuanlah yang memastikan kebutuhan rumah tangga tercukupi karena peran gender yang dilekatkan pada dirinya.

“Ketika kondisi ekonomi keluarga nelayan itu sulit, bebannya ke perempuan. Karena yang cari utang, yang nyaur (bayar) utang, yang memastikan kendil ogak ngglempang (periuk tetap terisi), anak bisa jajan, bahkan mikirkan rokok suaminya, itu perempuan,” ujarnya.

Baca Juga: Menghadang Banjir Rob: Jalan Terendam dan Gelap, Perempuan Melahirkan di Perahu

Masnuah menambahkan situasi ini membuat banyak perempuan terjerat utang dan menjadi stres. Karena mereka tidak bisa berbuat banyak dalam situasi yang sulit. Bahkan mereka jadi seperti lepas tanggung jawab dengan tidak membayar utang.

Tak jarang ketika mereka sudah tidak bisa membayar cicilan utang, mereka menjual apapun yang ada di rumah yang bisa dijual. Termasuk barang-barang perabotan rumah tangga. Ini semua dilakukan sekadar bisa makan.

“Bahkan barang-barang perabotan rumah tangga yang bisa dijual ya dijual, misalkan piring, sendok. Kalau di Morodemak itu ya, pakaian yang masih layak itu dijual. Semampunya mereka bisa makan,” tutur Masnuah.

Bahkan jika sudah tidak ada lagi barang yang bisa dijual atau digadaikan untuk makan, mereka pun harus menahan lapar. Masnuah mengaku ia pernah ada dalam situasi seperti ini.  

“Aku ngalami nggak bisa makan juga, Mbak, dulu di Morodemak. Benar-benar nggak bisa. Nggak punya uang,” tuturnya.

Karena itu menurut Masnuah, kalau perempuan tidak mendapatkan ruang aman atau penguatan di organisasi yang baik, dia bisa mengalami depresi.

Baca Juga: Papua Bukan Tanah Kosong, Tanah bagi Kami adalah Mama

Kondisi ini yang mendorong Masnuah menerapkan sistem koperasi sejak awal mendirikan Puspita Bahari. Organisasi yang berdiri pada 2005 ini mulanya mengelola koperasi beras. Namun, koperasi beras sempat mengalami kredit macet pada 2006.

Puspita Bahari lalu membuat koperasi simpan pinjam. Hingga hari ini, simpan pinjam yang dilakukan para anggota berjalan lancar dan tidak ada yang macet. Mereka menerapkan transparansi dan keterbukaan dalam proses simpan pinjam. Saat meminjam, mengangsur dan membayar iuran, dilakukan secara terbuka di pertemuan rutin yang disaksikan semua anggota yang hadir.

Keberadaan koperasi simpan pinjam ini juga dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan utang pada rentenir. Selain itu, juga untuk mengelola manajemen tanggung jawab masing-masing anggota.

“Kami terbuka, pinjam ya di forum, mengangsur di forum, iuran di forum. Jadi semua orang menyaksikan. Pertemuan ini yang utang siapa dan kalau ada yang mengangsur, mereka juga tahu. Itu mengantisipasi kredit macet. Karena mereka merasa disaksikan banyak orang. Dan itu mengajari tanggung jawab bahwa kalau utang ya harus nyaur (mengembalikan),” beber Masnuah.

Baca Juga: Masnuah, Penerima Penghargaan Saparinah Sadli Award 2018

Seiring perjalanan waktu, Masnuah merasa perlu mendorong penguatan dan kemandirian ekonomi perempuan nelayan. Strategi ini dinilai dapat menarik minat anggota untuk berorganisasi karena mereka merasa mendapat manfaat dari berorganisasi.

“Karena sebelum ada penguatan ekonomi itu mereka menganggap organisasi itu nggak ada manfaatnya. Kalau kegiatan nggak ada amplopnya. Nah, penguatan ekonomi itu jadi kunci, Mbak. Kalau kalian mau mendapat hasil ya harus mengolah sesuatu,” urai perempuan yang berasal dari keluarga nelayan tersebut.

Dari situ Puspita Bahari kemudian mengembangkan 4 sentra produksi yakni sentra olahan aneka hasil laut. Seperti keripik, krispi, abon, kerupuk, dll. Sentra ikan asin dan tawar, sentra terasi, dan sentra perikanan tangkap di Dusun Tambakpolo yang dilakukan para perempuan nelayan.

Koperasi dan Penanganan KDRT untuk Perempuan

Puspita Bahari lalu memfasilitasi anggotanya untuk mendapatkan pelatihan dan peralatan. Para mitra korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dampingan Puspita Bahari juga mendapat akses modal untuk penguatan ekonomi. 

Puspita Bahari lalu berkembang di tiga desa, Morodemak, Purworejo dan Margolindo.

Untuk menangani kasus-kasus KDRT yang dialami perempuan di Demak, Puspita Bahari bekerja sama dengan LBH APIK Semarang. 

Dari kasus-kasus yang ditangani LBH APIK Semarang di berbagai kota di Jawa tengah, paling banyak kasus dari Demak. Terutama kasus-kasus rujukan dari Puspita Bahari.

“Seminggu sekali itu pengurus Puspita Bahari mesti ke pengadilan (agama), Mbak. Dan satu bulan itu bisa 4 sampai 6 kasus,” katanya.

“Rata-rata KDRT itu banyak yang penelantaran ekonomi yang ditinggal gelanggang, pergi blas gitu lho mbak. Jadi kalau si laki-lakinya ini stres juga, dia langsung pergi alasannya kerja tapi nggak pernah pulang. Sampai bertahun-tahun gitu nggak ada kabar,” tambah Masnuah.

Tak hanya penelantaran ekonomi, KDRT yang terjadi juga berupa kekerasan fisik dan psikis. Bahkan KDRT ini juga dialami anak-anak yang mendapat tindakan kekerasan dari orang tuanya.

Masnuah menuturkan, sejak Puspita Bahari menangani kasus perceraian akibat KDRT, banyak perempuan yang datang minta pendampingan. Mereka ada yang dari luar desa bahkan dari luar kecamatan.

Baca Juga: Catatan di Hari Perempuan: Pemerintah Masih Abaikan Perempuan Petani, Buruh dan Nelayan

Mereka tahu Puspita Bahari menyediakan bantuan hukum gratis. Program ini bekerja sama dengan LBH APIK yang didukung Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham.

Tapi tidak semua perempuan korban KDRT memilih untuk bercerai. Ada yang tetap bertahan, meski ditinggal suaminya tanpa ada kejelasan.

Lah opo ngurus cerai, toh umpomo cerai aku yo ora bakal nikah meneh. (Untuk apa bercerai, toh kalau pun bercerai aku juga nggak akan menikah lagi),” begitu biasanya alasan mereka.

Kejelasan status perkawinan belum dilihat sebagai hal penting bagi mereka. Tapi perempuan-perempuan yang sudah terpapar kesadaran hukum memilih untuk bercerai dan datang ke Puspita Bahari untuk mendapatkan pendampingan hukum.

Langkah Puspita Bahari ini, membuat mereka mendapat label negatif.

Puspita Bahari ki marai ndadekno kakehan rondo, ngurusi kasus wong wedok wani karo wong lanang. (Puspita Bahari ini membuat perempuan banyak jadi janda, mengurusi kasus perempuan yang berani melawan suaminya),” ucap orang-orang yang tak suka.

Baca Juga: Mengapa Para Perempuan Berani Hidup di Lingkar Tambang? 

Bahkan Masnuah juga tak lepas dari stigma.

Ndampingi kasus wong wedok, awake dewe cerai dewe. (Mendampingi kasus perempuan, tapi dirinya sendiri juga cerai),” cemooh orang-orang yang biasa didengar Masnuah.

Namun Masnuah merasa tak perlu menanggapi cemoohan tersebut. Ia memilih untuk tetap fokus mendampingi perempuan.

Saat mitra yang didampingi Puspita Bahari sedang atau selesai dengan proses hukum atau perceraiannya, Puspita Bahari memfasilitasi akses penguatan ekonominya. Misalnya dengan peningkatan kapasitas lewat penguatan keterampilan, membuka akses untuk mendapatkan bantuan alat-alat produksi, dan membuka akses untuk tambahan modal.

Puspita Bahari sering dipercaya Baznas untuk memfasilitasi akses program-program tambahan modal bagi perempuan-perempuan rentan.

Penguatan aspek psikologis juga dilakukan Puspita Bahari dengan mengajak para mitra dampingan terlibat dalam organisasi. Mereka diajak mengikuti pertemuan yang digelar sebulan sekali. Puspita Bahari kadang juga menyediakan ruang-ruang sharing aman untuk saling menguatkan.

Masnuah menyadari korban KDRT kadang sulit untuk keluar dari lingkaran kekerasan. Ia berharap keberadaan ruang sharing aman ini bisa menguatkan mereka. Terlebih banyak dari mereka merupakan perempuan muda.

Baca Juga: 19 Tahun UU Penghapusan KDRT, Perempuan Masih Marak Jadi Korban

Ia mengamati berbagai tekanan yang dialami perempuan-perempuan di daerah terisolasi dan terdampak rob bisa membuat mereka rentan kena stres dan depresi. Karena itu kadang ia mendatangi mereka dengan mengajak teman yang bisa menghibur lewat senam atau permainan.

“Wah itu ibu-ibu keluar semua Mbak, anak-anak juga, semua keluar baur jadi satu. Walaupun kami nggak ngundang, kalau ada musik mereka datang semua. Karena memang tidak ada hiburan apa-apa di sana. Kami ajak main itu sudah los semua. Mereka seperti lupa umur,” paparnya.

“Kadang mereka minta, ‘Mbak Masnuah, lha mbok ngejak senam seminggu sekali ning kene ben kita bisa senam bareng-bareng, ngguyu bareng-bareng’ (Mbak Masnuah, ayo ngadain senam seminggu sekali di sini biar kita bisa senam bareng, ketawa bareng),” katanya.

Masnuah terbuka jika ada teman atau relawan yang punya kemampuan psikososial yang mau datang untuk berdinamika bersama ibu-ibu dan anak-anak di sana. Selama ini belum ada dukungan psikososial bagi warga yang terdampak rob.

Baca Juga: Perempuan Marunda: Pabrik Menggerogoti Hidup Kami

Aktivitas Masnuah mengorganisir perempuan-perempuan nelayan di desa-desa pesisir untuk menuntut hak-haknya sebagai warga negara membuatnya sempat dicurigai intelijen. Puspita Bahari dianggap sebagai organisasi radikal karena mengajak perempuan nelayan berani bersuara dan menjadi kritis.

Aktivitasnya bersama Puspita Bahari sempat diawasi. Gerak-geriknya ada dalam pantauan informan intelijen.

Bagi perempuan yang sedang kuliah di Universitas Terbuka ini aktivitas yang dilakukannya selama ini bersama Puspita Bahari merupakan panggilan hidup. Sebagai perempuan yang hidup di pesisir dan berasal dari keluarga nelayan, ia tidak bisa diam melihat kehidupan nelayan yang tidak baik-baik saja. 

Apalagi dengan posisinya sebagai penyintas, ia tergerak untuk memperjuangkan keadilan bersama perempuan dan nelayan.

Saat tahu dirinya jadi target, Masnuah pun lebih waspada. Ia menguatkan jejaringnya dengan kawan-kawan dan organisasi jaringan di luar Demak yang satu visi. Ia juga berpesan pada kawan-kawannya di jaringan perempuan.

“Jangan biarkan aku mati sendirian di Demak.”

Sulitnya Akses Kesehatan

Fasilitas kesehatan yang tersedia di tingkat desa adalah Pos Kesehatan Desa (PKD). Fasilitas kesehatan ini masuk kategori Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) atau layanan kesehatan yang dikelola oleh masyarakat.

Karena itu tempatnya disediakan oleh desa sehingga lokasi PKD biasanya ada di kompleks balai desa. Sementara untuk tenaga kesehatannya yakni bidan desa difasilitasi pemerintah dalam hal ini dinas kesehatan.

Di Kabupaten Demak seluruh desa sudah memiliki bidan desa. Ini disampaikan Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Kabupaten Demak, Ali Akhmadi kepada Konde.co, Selasa (14/11/23).

“Di setiap desa di semua Kabupaten Demak, Alhamdulillah sudah ada bidan desanya sebagai pelayan kesehatan terdepan di desa,” kata Ali saat ditemui di kantornya.

Ali tidak menampik rusaknya infrastruktur jalan di sejumlah dusun akibat banjir rob menghambat akses masyarakat terhadap layanan kesehatan. Namun, ia menegaskan pemerintah Kabupaten Demak sudah mengambil langkah dengan menempatkan bidan di desa. Menurutnya keberadaan bidan sangat dibutuhkan untuk kesehatan ibu dan anak di desa.

Fakta di lapangan menunjukkan upaya ini belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat khususnya perempuan di wilayah-wilayah terisolasi dan terdampak rob. Cerita Nita dan Rusikah di Timbulsloko dan Darwati di Tambakpolo membuktikan hal tersebut.

Masnuah mengatakan di Desa Morodemak ada PKD, tapi fasilitas kesehatan ini jarang aktif. Selain itu keberadaan PKD yang berlokasi di balai desa dinilai juga masih sulit dijangkau oleh warga yang tinggal di dusun-dusun pesisir. Ini lantaran dusun-dusun pesisir letaknya jauh dari kantor desa.

Baca Juga: ‘Bedol Desa’ di Pantura Akibat Perubahan Iklim, Warga Butuh Kebijakan Perlindungan

Apalagi dengan infrastruktur jalan yang rusak bahkan terputus saat rob tinggi maka membuat aksesnya makin sulit. Selain jauh dari PKD, dusun-dusun pesisir juga jauh dari bidan desa.

“Misalnya Dusun Tambakpolo yang tempatnya terisolasi, dia jauh dari kantor desa, jauh dari bidan. Karena satu desa itukan ada satu bidan, biasanya tempat bidan itu agak layak, bukan di daerah pinggir. Nah itu jadi masih sulit diakses. Sama di Dusun Timbulsloko juga begitu,” ujarnya.

Kalau mereka sakit ringan, sekadar demam misalnya, masih bisa membeli obat-obatan yang dijual bebas di warung. Tapi kalau sakitnya parah, mau melahirkan atau kejang misalnya, mereka harus bertaruh nyawa. Bahkan ada nyawa-nyawa yang tidak tertolong, ungkap Masnuah.

Seperti yang dialami pak Har di Timbulsloko yang kehilangan ibunya karena sakit. Masnuah menuturkan malam itu orang tua pak Har sakit, ia harus dibopong keluar kampung untuk dibawa ke rumah sakit. 

Ibunya berbadan gemuk jadi butuh 2 orang untuk membopong. Saat itu rob sedang tinggi. Ketika sudah bisa menyeberangi rob dan sampai di luar kampung, ibunya meninggal.

Sementara untuk memanggil bidan atau dokter ke rumah warga yang sakit, juga bukan perkara mudah. Kebanyakan dari mereka, tidak mau karena akses yang sulit. Dari pengalaman Rusikah, hanya ada satu mantri yang bersedia datang ke rumah warga di Dusun Timbulsloko jika ada yang sakit. Itupun warga harus mengeluarkan biaya yang relatif besar.

Baca Juga: Memotret 2 Kongres Perempuan: Kongres Perempuan Nasional dan Kongres Perempuan Akar Rumput

Konde.co juga menanyakan soal langkah pemerintah terkait sulitnya akses kesehatan pada perempuan hamil yang akan melahirkan yang tinggal di dusun-dusun pesisir. Sekretaris Bappelitbangda Kabupaten Demak Ali Akhmadi mengatakan persoalan ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah.

“Mestinya tidak bisa dibebankan semua kepada pemerintah. Ada upaya-upaya pemberdayaan yang harus diberikan kepada masyarakat. Masyarakat juga harus aware terhadap itu, ada suami siaga, dan macam-macam,” kata Ali Akhmadi.

Ia menambahkan terkait persalinan, ada hari perkiraan lahir sehingga sudah bisa diprediksi waktunya. Bidan desa juga pasti sudah menginformasikan hal itu kepada si pasien. Sehingga kalaupun ada yang mengalami kesulitan Ali melihatnya secara kasuistik saja.

“Tetapi satu, dua, itu kita tidak bisa menghilangkan sama sekali, pasti kemungkinan ada kasus-kasus semacam itu njih. Yang mereka bertempat tinggal dengan akses jalan yang susah dan semacam itu. Itu kan kasuistik ya,” jelasnya.

Ali mengatakan, pemerintah ada program untuk mendekatkan masyarakat ke layanan kesehatan kalau hari perkiraan lahirnya sudah dekat. Tapi ini juga tidak bisa menjangkau 100%. Karena itu pihaknya akan melakukan perbaikan ke depan. Tetapi upaya untuk menempatkan pelayanan di desa sudah dilakukan. Termasuk melengkapinya dengan peralatan dan sarana medis lainnya, paparnya.

Baca Juga: Krisis Iklim Persoalan Perempuan 2023, Bagaimana Menyelesaikannya

Pandangan serupa disampaikan Kepala Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos P2PA) Kabupaten Demak, Eko Pringgolaksito. Kasus perempuan-perempuan yang harus melewati laut untuk menemui bidan saat akan melahirkan bahkan melahirkan di atas perahu dilihat sebagai kasus saja.

“Itu kan kasuistik,” kata Eko kepada Konde.co, Rabu (15/11/23).

Sama seperti Ali AKhmadi, Eko Pringgolaksito juga mengatakan jika keberadaan bidan desa di tengah-tengah masyarakat dirasa sudah cukup. Tapi ia tidak mempertimbangkan jarak yang harus ditempuh warga untuk mencapai bidan desa mengingat kondisi dusun yang terisolasi akibat rob.

Masnuah mengungkapkan, Puspita Bahari pernah menyampaikan usulan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kabupaten (Musrenbangkab) pada Maret 2023 lalu. Puspita Bahari minta agar pemerintah menyediakan klinik kesehatan keliling di kampung-kampung yang terdampak rob paling tidak seminggu sekali.

Permintaan yang disampaikan dalam Musrenbangkab itu ditanggapi. Selesai Musrenbangkab, Sekretaris Daerah Kabupaten Demak (Sekda) memerintahkan Puskesmas Sayung untuk memberikan layanan dengan mendatangi warga Timbulsloko.

Tim Puskesmas datang dan membuka praktik di serambi Masjid Timbulsloko, tempat yang biasa dipakai warga untuk berkumpul melakukan aktivitas. Warga yang membutuhkan layanan kesehatan mendatangi klinik keliling tersebut. Sementara bagi warga yang karena kondisi kesehatannya tidak bisa datang ke lokasi klinik, tim Puskesmas datang ke rumah warga tersebut.

Namun layanan itu hanya diberikan satu kali itu saja. Padahal warga menginginkan ada layanan kesehatan keliling secara rutin seminggu sekali.

“Habis aku ngomong di Musrenbangkap itu langsung ada tindakan, benar-benar ada. Cuma ya sekali itu tok,” ujar Masnuah.

Baca Juga: Ini Isu Bersama: Gerakan Perempuan Lokal Hadapi Krisis Iklim Global

Konde.co mengonfirmasi pada Dinas Kesehatan Kabupaten Demak soal layanan kesehatan ini. Saya mendatangi kantor dinas kesehatan yang beralamat di Jalan Sultan Hadiwijaya pada Kamis (16/11/23). Tapi hari itu Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Demak Ali Maimun sedang ada tugas di luar kota.

Saya lalu menemui Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Sri Puji Astuti di ruangannya. Tapi Astuti tidak bisa ditemui dengan alasan sedang ada rapat. 

Saya kembali menghubungi Kabid Kesmas Dinas Kesehatan Kabupaten Demak pada Senin (20/11/23) via pesan singkat ke nomor pribadinya.

Pada Senin (27/11/23) Kabid Kesmas menolak menanggapi pertanyaan Konde.co. Lewat pesan singkat Sri Puji Astuti mengatakan, “Iya, mohon maaf baru overload.”

Puspita Bahari juga pernah mengajak Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang untuk membuka praktik di dusun terdampak oleh dokter-dokter dari fakultas kedokteran karena mereka punya program pengabdian masyarakat. Sayangnya program tersebut juga hanya berlangsung satu kali. Padahal Masnuah minta kalau bisa program tersebut dilakukan sebulan sekali.

Baca Juga: Selamat Hari Bumi: Lelah Lihat Kerusakan Lingkungan? Mulailah Dari Dirimu Sendiri 

Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Unissula Semarang Mila Karmilah juga melihat urgensi layanan kesehatan secara periodik di dusun terdampak. Ia mengungkapkan, dirinya masih mengupayakan agar rekan-rekannya di fakultas kedokteran bisa ke lapangan mengecek kondisi warga Timbulsloko misalnya 3 bulan sekali.

“Di sini kan ada kedokteran, kedokteran gigi, tapi karena ini dianggap sebagai pengabdian ya hanya setahun sekali. Tapi kan harusnya bisa jadi periodik dan sebagainya. Itu sedang dibicarakan dengan dekannya,” papar Mila pada Konde.co, Jumat (17/11/23).

Masnuah mengungkapkan, kalaupun tidak ada klinik kesehatan keliling seminggu sekali atau sebulan sekali, ia berharap ada pos kesehatan yang dilengkapi obat-obatan. Sehingga sewaktu-waktu warga membutuhkan, mereka bisa mendapatkan obat sesuai kebutuhannya. Ini bisa dikelola oleh warga yang sudah dilatih dan dididik supaya bisa menjalankan tugas tersebut.

Cornel Gea dari LBH Semarang mengungkapkan untuk sementara yang perlu dilakukan adalah mengupayakan warga bisa sewaktu-waktu keluar dari kampung untuk berobat. LBH Semarang adalah salah satu organisasi yang mengadvokasi warga pesisir Demak.

“Bagi kami sebenarnya itu satu, akses itu penting,” tegasnya.

Ia menambahkan, sebenarnya tidak sulit mengimajinasikan keberadaan rumah sakit dengan layanan perahu apung. JIka ada niat dari pemerintah hal ini mungkin diwujudkan.

Gotong Royong Untuk Beradaptasi Dengan Banjir Rob

Dengan kondisi Dusun Timbulsloko yang dikepung air laut, saat ini ada sekitar 150 kepala keluarga yang masih bertahan.

Masnuah masuk ke Dusun Timbulsloko pada 2020 saat pandemi Covid-19 menyebar. Saat itu Timbulsloko seperti kampung mati. Tidak ada jalan untuk keluar masuk ke kampung, jalanan rusak, terputus dan terendam rob.

Warga tidak bisa beraktivitas keluar kampung, mereka harus menunggu banjir rob surut. Kondisi surut pun rob masih tetap menggenang. Saat azan berkumandang, musala tak ada jemaah. Anak-anak tidak bisa pergi mengaji dan sekolah. Mereka juga kehilangan tempat bermain.

Melihat kondisi warga Timbulsloko yang diabaikan tersebut Masnuah pun menghubungi berbagai jaringan yang dikenalnya dan menggalang solidaritas untuk warga Timbulsloko.

“Aku nggak punya harta, aku hanya punya banyak teman dan jaringan. Aku hubungi semua, ‘teman-teman tolong dong bantu Timbulsloko’,” katanya.

Akhirnya Masnuah dan organisasi jaringan bergerak bersama untuk membantu dan memberikan dukungan bagi warga Timbulsloko. Baik itu berupa sembako, obat-obatan maupun buku cerita anak-anak.

Meski kampung mereka tenggelam, warga memilih tetap bertahan di sana. Bagi mereka mata pencarian dan penghidupan mereka ada di sana. Selain itu untuk pindah rumah juga butuh biaya yang besar.

Bagi warga beradaptasi dengan banjir rob adalah hal yang paling memungkinkan untuk mereka jalani.

Karena itu pada 2021 warga berinisiatif membuat jalan kampung berupa jalan panggung dari kayu. Jalan ini membelah kampung dan menghubungkan satu rumah dengan rumah lain dan fasilitas seperti masjid, musala, madrasah, dll.

Baca Juga: 5 cara kita bisa bantu menyelesaikan masalah krisis iklim dari rumah

Masnuah menggalang donasi publik. Dana yang terkumpul dipakai untuk membangun jembatan kayu atau jalan panggung. Warga membangun jalan tersebut secara swadaya. Akhirnya jalan panggung dari kayu dan bambu sudah jadi dan sangat membantu aktivitas warga. Kampung kembali berdenyut dan terasa ada kehidupan.

Kalau rob sedang tinggi kadang jalan panggung ini terbenam. Karena itu secara berkala harus terus diperbaiki. Pasalnya dana yang terbatas membuat warga menggunakan bahan-bahan kayu yang tidak berkualitas sehingga mudah rusak.

Sampai saat ini Masnuah masih membuka donasi jika ada kegiatan atau acara. Uang yang terkumpul berapapun jumlahnya ia serahkan ke warga untuk memperbaiki jalan panggung.

“Kami buka open donasi. Entah itu 100 ribu, 200 ribu, aku tetap kasihkan ke warga sekadar untuk membantu beli paku atau papan untuk memperbaiki jalan,” katanya.

Cornel mengakui penggunaan kayu dan bambu untuk jalan panggung punya konsekuensi akan tambal sulam dan harus rutin diperbaiki. Ia memaparkan sejak awal sebenarnya warga ingin menggunakan pipa paralon agar lebih awet. Tapi untuk itu butuh biaya besar.

“Kita hitung-hitung butuh 700 juta untuk jalan sepanjang 1,3 km yang di dalam kampung. Dari mana duitnya?” kata Cornel.

Baca Juga: Petani Digusur Aktivis Dibungkam, Merdeka Harusnya Tidak Begini

Setelah ada jalan kampung, warga mengupayakan menambah sumur untuk mencukupi kebutuhan air bersih warga. Mila Karmilah mengungkapkan di Timbulsloko dulu ada dua sumur, kondisinya waktu itu masih baik. 

Tapi dengan makin banyaknya pabrik di daerah Sayung, kondisi air sumur makin buruk. Airnya berwarna cokelat dan kadang mengandung minyak.

Mila menambahkan pemerintah melalui Dinas Perumahan dan Permukiman pernah mengusahakan bantuan sumur. Tapi ternyata kesulitan mencari titik sumur sehingga bantuan tersebut batal.

Cornel yang ditemui secara terpisah menjelaskan terakhir hanya tinggal satu sumur yang masih berfungsi. Itupun kualitas airnya tidak bagus dan sering mati. Karena itu warga gotong royong membuat sumur dengan dibantu Greenpeace, organisasi yang fokus pada isu lingkungan.

Sumur bor yang baru ini memakai panel surya dan dialirkan ke rumah warga dengan pipa. Setiap bulan warga membayar iuran sesuai dengan banyaknya air yang dipakai.

Rusikah, warga Timbulsloko mengatakan sejak sumur bor hasil gotong royong tersebut berfungsi 4 bulan terakhir warga tidak lagi kesulitan air. Sebelumnya air sering mati.

 “Dulu sering ada masalah, air sering mati. Kalau mati bisa 3 sampai 4 hari, jadi beli air. Beli galon 2 ribu di Dusun Dempet. Sehari beli semampunya, bisa sampai 10 galon, ini pas darurat, pas mati, ya diirit-iritlah,” papar Rusikah.

Baca Juga: Kisah Pahit Petani Kopi, Terdampak Pandemi Sampai Perubahan Iklim

Untuk kebutuhan air warga, Unissula juga memberikan bantuan pemanenan air hujan (rain water harvesting/RWH). RWH ditempatkan di musala dan di masjid. Air RWH ini tidak hanya untuk keperluan mandi cuci kakus, tapi juga bisa dikonsumsi atau diminum.

Mila menjelaskan di musim penghujan seperti sekarang ini warga bisa memakai air dari RWH. Sementara nanti kalau musim kemarau warga bisa menggunakan sumur bor. Persoalan kebutuhan air saat ini sudah bisa teratasi, tapi masih ada beberapa pekerjaan rumah baik terkait RWH maupun sumur bor.

“Sekarang masalahnya adalah air itu melimpah, tapi tidak ada tandon untuk menyimpan. Tandonnya akan ditaruh dimana karena jika tandon terlalu besar juga tidak bisa,” ungkap Mila.

“Selain itu saat musim kemarau sinar matahari itu melimpah, tapi tidak bisa disimpan karena mereka tidak punya alat penyimpan. Alat penyimpan ini kan biayanya juga besar, mereka tidak sanggup untuk beli itu. Kalau ada alat penyimpannya mereka bisa menggunakan listrik dari panel surya dan mengurangi penggunaan PLN,” jelasnya.

Air RWH ini baru beroperasi bulan November ini. Warga bisa mengambil dengan galon untuk mencobanya. Warga belum dikenakan biaya untuk mencoba air ini. Rusikah yang sudah mencoba air hasil RWH mengatakan airnya tidak asin.

“Kalau yang air hujan itu enak. Enggak asin. Aku udah ngambil 4 galon,” Kata Rusikah.

Baca Juga: Perempuan Petani Tak Pernah Dianggap Pekerja, Dianggap Pembantu Suami di Sawah

Untuk keperluan transportasi air, Puspita Bahari mengusahakan perahu dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP). Dulu warga menggunakan perahu kecil tanpa mesin untuk transportasi. Sehingga butuh waktu lama untuk menempuh perjalanan dan perahu hanya muat sedikit.

Selain itu Nahdatul Ulama/ NU juga memberikan perahu bantuan khusus untuk mengantar jemput anak sekolah keluar masuk kampung. Transportasi untuk anak sekolah ini juga tidak dikenakan biaya. Sedang untuk masyarakat umum berlaku tarif 5 ribu rupiah sekali perjalanan. Jadi untuk pulang pergi butuh transpor 10 ribu.

Kalau warga punya motor untuk melanjutkan perjalanan, mereka bisa menitip atau memarkirkan di Dusun Dempet atau di Dusun Timbulsloko jika sedang surut. Biaya parkir besarnya 2 ribu rupiah.

Warga lalu pelan-pelan meninggikan geladak rumah. Karena kondisi kampung yang sudah tenggelam, warga tidak bisa menimbun rumah dengan tanah atau padas untuk meninggikan rumah. Adaptasi yang bisa dilakukan adalah dengan mengubah rumah mereka menjadi rumah panggung.

Baca Juga: Pentingnya Memiliki Kebijakan Perubahan Iklim Indonesia yang Responsif Gender

Mereka membuat lantai rumah yang baru dari papan-papan kayu di atas ketinggian air. Lantai papan ini jadi semacam geladak, sehingga air tidak masuk ke rumah dan jadi rumah panggung. Untuk memperbaiki rumah ini warga menggunakan biaya pribadi, sehingga prosesnya dilakukan bergantian sesuai kemampuan masing-masing rumah tangga.

Sebenarnya ada bantuan rumah apung dari pemerintah kabupaten, tapi masyarakat tidak berminat. Mila Karmilah mengkritik model bantuan yang diberikan pemerintah yang tidak didasarkan konteks masalah yang ada di daerah tersebut.

“Mau di lokasi manapun diberikan dengan kualitas yang sama. Mau di lokasi yang terapung, mau di lokasi daratan, mereka punya dana itu. Jadi mau di daratan atau tidak daratan, semuanya sama,” urai Mila.

Padahal ternyata untuk lokasi di Timbulsloko besarnya dana bantuan yang diberikan tidak cukup untuk membuat rumah apung. Akhirnya satu rumah apung yang dibangun warga sampai sekarang tidak selesai dan terbengkalai.

Baca Juga: Perempuan Petani Di Tengah Situasi Darurat Agraria

Selain rumah apung pemerintah provinsi juga menawarkan bantuan berupa rumah ruspin untuk relokasi bagi warga terdampak rob di pesisir Demak. Warga akan diberikan bantuan kalau punya tanah di luar dusun yang berada di kawasan zona kuning yang diperuntukan bagi pemukiman.

Bantuan ini merupakan program Tuku Lemah Oleh Omah dari Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Jadi kalau warga beli tanah mereka akan dapat rumah yang bentuknya adalah ruspin. Mila menilai konsep ini susah diaplikasikan. Kalau seseorang bisa membeli tanah di luar kawasan rob mestinya dia tidak perlu minta bantuan.

Mila berpendapat, program ini tidak bisa berlaku untuk semua kawasan. Mungkin bisa diterapkan di kawasan yang tidak terdampak rob, tapi akan sulit kalau dipakai di kawasan rob.

“Jadi banyak teman-teman di Timbulsloko tidak mau menerima bantuan itu karena ya enggak masuk akal. Disuruh beli tanah di luar, di mana? Sedangkan tanah mereka saja cuma dihargai 2 ribu rupiah per meter persegi. Kalaulah dihargai tinggi mungkin masih bisa, misalnya tukar guling modelnya,” jelas Mila.

Apalagi bantuan yang diberikan berupa material untuk struktur atas. Sedangkan yang butuh banyak uang adalah material untuk struktur bawah. Karena itu menurut Mila bantuan semacam ini justru menjebak warga untuk masuk ke kemiskinan baru.

Baca Juga: Film Perubahan Iklim: Utamakan Negara Kaya Dengan Konten Tak Berimbang

Dan ini sudah terjadi. Salah satu warga di Timbulsloko sudah terlanjur menerima bantuan, sementara dia tidak punya uang. Dia akhirnya membeli tanah di Dusun Dempet dengan cara berutang. Lalu dia membangun rumah memakai bantuan material yang diberikan.

Rumah tersebut selesai pada Juni 2023. Pada September 2023 rumah tersebut posisinya sudah miring ke belakang. Utang belum selesai sementara rumah sudah mau ambruk.

Menurut Mila, program ini tidak masuk akal. Selain menyebabkan orang jadi berutang, program ini juga bisa membuat orang jadi miskin.

Sementara pengelolaan sampah dan pembuangan kotoran manusia saat ini masih jadi pekerjaan rumah. Baik sampah maupun kotoran manusia dibuang di air laut.

Untuk mengurangi sampah, Masnuah bersama Puspita Bahari mengampanyekan penggunaan pembalut kain lewat program perempuan bantu perempuan. Ini adalah program kolaborasi antara Diwa Ashoka, Biyung Indonesia dan Puspita Bahari.

Baca Juga: Kawit dan Rugiyati, Perempuan Pembela Tanah Pesisir

Puspita Bahari membagikan pembalut kain kepada para perempuan yang terdampak rob. Mereka juga memproduksi pembalut kain untuk dijual dan keuntungannya dipakai untuk memproduksi pembalut kain yang dibagikan gratis kepada perempuan terdampak. Ini lantaran masih banyak perempuan terdampak rob yang masih membutuhkan pembalut kain.

Sebelum memproduksi Puspita Bahari mendapat workshop pembuatan pembalut kain dari Biyung. Untuk workshop dan produksi bersifat lintas komunitas. Artinya Puspita Bahari melibatkan komunitas lain, seperti perempuan disabilitas, UMKM, dan komunitas bank sampah.

Cornel mengatakan gotong royong menjadi jalan selamat yang selalu dipakai warga selama ini. Gotong royonglah yang selama ini efektif membantu warga untuk menemukan solusi atas permasalahan yang mereka hadapi. Karena itu menurutnya penting mengajak lebih banyak orang untuk hidup bergotong royong.

Di sisi lain krisis sosial ekologis yang dihadapi warga pesisir Demak menurut Cornel juga merupakan situasi yang politis. Untuk itu ruang-ruang politik untuk mempengaruhi dan memaksa pengambil kebijakan juga harus tetap dipakai.

Bahkan jika perlu negara-negara global utara/maju yang banyak menggelontorkan uang ke Jawa Tengah dan Demak harus tahu kalau uang mereka diselewengkan.

Bagi Cornel, situasi yang dialami warga di Demak, Semarang, dan Kendal, Jawa Tengah seharusnya bisa jadi pelajaran yang cukup berharga. Agar orang mempertimbangkan banyak hal di pemilu 2024.

Pembangunan yang Abai Lingkungan dan Manusia

Lalu apa penyebab banjir rob yang menenggelamkan sejumlah dusun di pesisir Demak hingga akses kesehatan warga jadi terhambat? 

Para perempuan yang mau melahirkan, orang sakit, lansia dan disabilitas harus melewati laut untuk mencapai layanan kesehatan.

Konde.co bertanya pada warga, akademisi dan pendamping warga, mereka berpendapat kebijakan pembangunan jadi penyebab utama. Sementara pandangan berbeda disampaikan pemerintah daerah.

Mila Karmilah, Kaprodi Perencanaan Wilayah dan Kota Unissula Semarang memberikan penjelasan dengan berangkat dari cerita warga yang kemudian dikaji ulang.

Pembangunan di Kota Semarang mengakibatkan arus laut berbelok ke timur, masuk ke Trimulyo dan Sayung, Kecamatan Demak. Ini mencakup pembangunan pelabuhan, perumahan di Marina, reklamasi, dan sebagainya. Pembangunan ini menyebabkan arus yang tadinya lurus kemudian berbelok karena bangunan yang makin menjorok ke laut.

Baca Juga: Pawon Pesisir, Dapur Makanan dan Tanda Perlawanan Perempuan

Wilayah yang pertama terdampak adalah Desa Bedono. Salah satu dusun di desa Bedono yakni Dusun Tambaksari sudah mulai hilang. Menyusul Dusun Senik dan Mondoliko. Selain Bedono, Desa Timbulsloko khususnya Dusun Timbulsloko juga terdampak.

Pendapat serupa disampaikan Cornel, ia menjelaskan warga yang sehari-hari melaut melihat arus datang dari Semarang. Selain itu wilayah yang paling parah kena rob adalah daerah yang paling dekat dengan Semarang. Karena airnya dari Semarang yakni dari Pelabuhan Tanjung Emas dan dari reklamasi Marina.

Sementara terkait perubahan iklim baik Mila maupun Cornel tidak melihatnya sebagai faktor dominan. Mila menerangkan perubahan iklim, salah satunya ditandai dengan naiknya permukaan air laut, kontribusinya tidak sebesar ketika terjadi pembangunan yang masif di pesisir.

Hal senada disampaikan Cornel. Ia berpendapat industri yang ekspansif di daerah Demak berkontribusi terhadap berbagai macam sebab banjir rob. Pembangunan industri yang ekspansif mengakibatkan penurunan permukaan tanah karena ada pembebanan fisik di daerah pesisir. Industri ini juga mengekstraksi air tanah karena kebutuhan air industri tidak dapat dipenuhi oleh Perusahaan Daerah Air Minum/ PDAM.

Baca Juga: Mei 70 Tahun Lalu, Pertama Kali Dibahas Perubahan Iklim Dunia

Belum ada data terpercaya dari pemerintah terkait konsumsi air tanah oleh industri. Tapi cerita dari para buruh yang diorganisasi LBH Semarang bisa memberikan gambaran. Ada satu pabrik yang punya tiga sumur dengan kedalaman 120 hingga 130 meter.

Pengambilan air tanah secara besar-besaran dan beban fisik di wilayah pesisir Ini bisa menyebabkan permukaan tanah turun. Hingga akhirnya banjir rob makin parah. Selain itu pembukaan lahan di daerah mangrove ditambah arus air dari Semarang, membuat banjir rob terus naik.

Menurut Cornel, perubahan iklim ikut berkontribusi tapi tidak bisa disebut sebagai sebab tunggal. Ia menegaskan LBH Semarang dan warga mengambil sikap sangat berhati-hati ketika membicarakan perubahan iklim dalam pengambilan kebijakan khususnya dalam konteks Demak.

Ini lantaran pihaknya khawatir ini justru bisa mengaburkan persoalan dan solusinya. Terlebih ini juga bisa mendepolitisasi krisis yang ada. Padahal warga secara jelas bisa menunjuk hidung biang keladinya.

Baca Juga: Perempuan Penjaga Bumi

Pembangunan Tol Tanggul Laut Semarang Demak (TTLSD) yang tengah berlangsung dinilai akan memperparah banjir rob di daerah Demak. Cornel menjelaskan, dampak dari pembangunan proyek strategis nasional terhadap kondisi saat ini sebetulnya sudah diakui dalam dokumen lingkungan yang disusun.

“Itu diakui kok dalam dokumen lingkungan mereka bahwa dalam proses pembangunan dan operasi akan ada perubahan arus laut ke arah Bedono, Timur Bedono, Timbulsloko. Jadi itu udah pasti, mereka juga mengakui itu di dalam dokumen lingkungannya,” papar Cornel.

Pada 2018 LBH Semarang yang tergabung dalam Koalisi Pesisir Semarang Demak mengeluarkan kertas posisi dan memberikan rekomendasi atas proyek TTLSD. Koalisi meminta pemerintah mengkaji ulang proyek itu.

“(Pemerintah) harus melihat Kawasan pesisir itu sebagai satu kesatuan. Kita ngapain di Semarang itu mengakibatkan apa di Demak, mengakibatkan apa di Kendal. Sehingga memang solusinya itu harus dilihat secara utuh, kawasan pesisir gitu. Dan nggak bisa one fit solution,” terang Cornel.

Ia mengungkapkan pihaknya tidak anti terhadap pendekatan infrastruktur atau teknis. Karena untuk konteks Timbulsloko tidak bisa jika hanya menggunakan pendekatan natural based solution. Tetap perlu kombinasi antara keduanya.

Baca Juga: Transpuan Aksi Perubahan Iklim: Kami Adalah Kelompok yang Sering Terlupakan

Pandangan berbeda soal banjir rob dan penyebabnya serta kaitannya dengan pembangunan TTLSD disampaikan Sekretaris Bappelitbangda Kabupaten Demak, Ali Akhmadi. Menurutnya banjir rob merupakan fenomena alam dan bukan bencana.

Ali menambahkan ada fenomena alam penurunan muka tanah (land subsidence) yang menyebabkan banjir rob di wilayah Demak. Karena itu walaupun tidak ada pembangunan tol tanggul laut misalnya, wilayah Sayung tetap terendam rob karena fenomena alamnya seperti itu.

Proyek TTLSD sendiri menurut Ali justru dimaksudkan untuk mengatasi rob di wilayah pesisir pantai utara Jawa Tengah.

“Kalau (pembangunan) seksi satu sudah dilaksanakan, nantikan ada dua kolam retensi yang nantinya bisa untuk menangkap air. Kalau paparan dari PP, saya pernah mengikuti paparannya, nantinya kemungkinan yang sekarang tanah tenggelam, nanti timbul lagi,” papar Ali.

Keberadaan kolam retensi selain untuk mengatasi rob diharapkan juga menjadi sumber air baku untuk tangkapan air dari hulu. Upaya mengatasi rob juga dilakukan dengan pembangunan sabuk pantai dari Jepara, Sayung hingga Semarang.

Baca Juga: Ceritaku Datangi Kampung-Kampung di Jakarta: Pembangunan Maskulin Bikin Perempuan Jadi Miskin

Paparan Sekretaris Bappelitbangda Kabupaten Demak menunjukkan dengan gamblang kekhawatiran yang disampaikan Cornel sebelumnya. Ketika istilah perubahan iklim atau land subsidence dipakai pemerintah, ia justru jadi alat “cuci tangan” atas kebijakan pembangunan yang merusak.

“Pemerintah pernah ngomong perubahan iklim. Pemerintah bahkan sudah ngomong land subsidence. Tapi itu dipakai untuk menutupi dosa-dosa reklamasi, dosa-dosa ekspansi industri. Beda tujuan saja. Perubahan iklim dan land subsidence itu kan politis, tergantung siapa yang ngomong,” urai Cornel.

Keberadaan proyek strategis nasional yang tidak mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan manusia sayangnya juga menjadi acuan daerah. Menurut Mila Karmilah ini lantaran perencanaan bersifat hierarki komplementer.

“Jadi apa yang ada di pusat itu akan diacu. Mau buruk, mau bagus, selama itu adalah PSN ataupun sesuatu yang sudah ada di rencana nasional itu akan diacu. Jadi bahkan kalau tidak sesuai dengan RTRW yang ada di bawahnya, kalau memang perlu ya RTRW yang di bawahnya yang diperbaiki. Karena hierarki komplementer sifatnya,” jelas Mila.

Baca Juga: Purnama di Pesisir, Hilangnya Ruang Hidup Anak Perempuan

Bisa jadi pemerintah daerah kekurangan dana sehingga mereka mengabaikan aspek-aspek lain.

“Mereka mungkin kekurangan dana. Jadi begitu ada bantuan dari pusat apapun itu, mau sesuai dengan lingkungan, mau merusak lingkungan, ya mungkin diterima-terima saja. Apalagi ada hierarki komplementer,” urai Mila.

Keberadaan Omnibus Law Cipta Kerja juga memperpendek waktu penyusunan rencana detail tata ruang (RDTR). Waktu yang dialokasikan untuk penyusunan RDTR hanya 8 bulan. Setelah 8 bulan, kalau memang daerah tidak bisa menyelesaikan maka akan ditarik ke pusat. Pusat yang akan membuatkan regulasi.

Akibatnya sulit bagi daerah untuk mempunyai RTRW yang memperhatikan kepentingan masyarakat. Pasalnya aturan di level yang lebih atas mengarah pada pro investasi.

“Karena sudah jelas dalam Omnibus Law-nya kita pro investasi. Jelas sudah di-declare RTRW itu akan pro investasi, RZTR juga pro investasi,” kata Mila.

Belum selesai permasalahan banjir rob, pesisir Demak juga menghadapi ancaman penambangan pasir laut. Isu ini muncul setelah terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) 26/2023 pada Mei 2023 lalu tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

Baca Juga: 5 Buku Yang Bisa Mengubah Pandanganmu Tentang Lingkungan dan Perubahan Iklim

Di Demak isu ini naik setelah Bupati Demak mengeluarkan pernyataan bahwa akan ada aktivitas tambang pasir dan sedimentasi laut di Morodemak. Penambangan akan digunakan untuk material urukan dan kalau memungkinkan nanti untuk ekspor.

Cornel menjelaskan pernyataan bupati tersebut diikuti dengan pengecekan dan tes di lapangan. Tes ini dilakukan dengan manipulatif.

“Dia ngomong ke warga, ke Mas Aji Musaka, ketua nelayan di Demak. Dia bilang untuk membuat sabuk pantai. Makanya ditemani nelayan. Ternyata itu untuk material urugan di Tol Tanggul Laut itu,” terang Cornel.

“Demak mau dibuat tenggelam seperti apa, enggak ada tambang saja, Demak seperti ini kok,” gugat Masnuah.

Dengan kondisi ini, sampai sekarang, Puspita Bahari terus bergerak aktif mengampanyekan tolak tambang. Masnuah akan terus berjuang bersama masyarakat.

(Gambar Ilustrasi: Facebook Puspita Bahari)

Tulisan ini mendapat dukungan dari Deepening Impact for Women Activators (DIWA) Media Fellowship yang diselenggarakan oleh ASHOKA yang bertemakan Spiritual Inspired Changemaking Initiative (SICI).

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!