Tak Bisa Akses Day Care, Buruh Perempuan Kesulitan Bekerja

Day Care atau penitipan anak tak bisa dipisahkan dari orangtua yang bekerja. Di sejumlah negara atau kota besar di Indonesia, fasilitas day care sudah mulai bertumbuh walau jumlahnya sedikit dengan tarif yang mahal. Namun bagaimana jika tak semua orang seperti para buruh bisa mengakses day care karena mahal dan akses yang jauh?

Fitria Rizka Nabelia- Konde.co

Bagi para buruh yang bekerja di pabrik, menitipkan anak di day care tidaklah mudah karena tarifnya yang mahal, mau mempekerjakan pekerja rumah tangga, gaji tak cukup. Jika tak dititipkan, maka tak ada keamanan bagi anak.

Situasi ini tak hanya sulit bagi buruh yang sedang bekerja, apalagi buruh perempuan yang biasanya harus bertanggungjawab pada pengasuhan anak. Situasi kerja menjadi buruk bagi buruh perempuan, padahal jika suami mau diajak kerjasama, beban ini tidak harus ditanggung sepenuhnya oleh buruh perempuan

Situasi sulit ini akan berakibat pada perkembangan anak-anak buruh.

Cerita tentang anak-anak para buruh apalagi terkait dengan bagaimana mereka hidup, jarang sekali ditulis atau dibicarakan. Padahal nasib anak-anak buruh kadang sama buruknya seperti yang terjadi pada ibunya, yang bekerja sebagai buruh perempuan.

Saya bertemu anak seorang buruh yang ibunya menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami atau ayah si anak, Ning.

Buat saya ini sebuah kebetulan ketika saya bisa bertemu dengan Ning (bukan nama sebenarnya), Kami bertemu saat Ning dan ibunya pindah ke tempat kost saya. Kamarnya berdekatan dengan kamar kost yang saya tempati

Saya menjadi dekat setelah itu, apalagi ibunya Ning tak keberatan untuk bercerita tentang kehidupannya bersama Ning.

Sudah beberapa tahun ini, mereka menjalani kehidupan yang tidak mudah, harus berpindah-pindah kota, dari Malang, Rembang hingga Tulungagung di Jawa, hanya untuk menghindari Kekerasan Dalam Rumah Tangga/ KDRT yang dilakukan dua mantan suaminya, salah satunya adalah ayahnya Ning

“Ning dari kecil hingga sekarang berusia 8 tahun, sudah menyaksikan saya menjadi korban KDRT oleh ayahnya, bahkan Ning sendiri juga mengalaminya. KDRT ayahnya tersebut sampai membuat Ning harus menderita asma.”

Karena suaminya melakukan kekerasan juga pada Ning, selepas itu, Ning dan ibunya harus pindah dari satu kota ke kota lainnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari suaminya, sebab bagi ibu Ning, suami tetap menjadi ancaman baginya dan Ning

Ning dan Ibunya harus menghadapi peristiwa tersebut sendiri tanpa dukungan dari saudara. Di keluarga besar, Ibunya Ning dianggap menyusahkan keluarga karena sudah dua kali gagal dalam pernikahan dan dianggap membawa malu keluarga. Padahal kegagalan pernikahan itu disebabkan oleh KDRT yang dilakukan 2 mantan suaminya dulu.

Sebagai ibu, kemudian ia harus memutar otak untuk mendapatkan penghasilan selain keinginan untuk mengubah nasibnya dan Ning.

Pada akhirnya, Ibunya Ning lalu bekerja di sebuah pabrik rokok di Malang dan setelah pulang kerja, ia kemudian bekerja sebagai buruh cuci.

Jika ibunya bekerja di pabrik, maka Ning sendirian di kost. Di usianya yang 8 tahun, ia sudah mampu mempersiapkan segala keperluannya sendiri. Mulai dari keperluan sehari-hari hingga mempersiapkan keperluan sekolah. Ia pergi dan pulang sekolah sendirian. Ning menjadi lebih dewasa di usianya.

Ning adalah satu cerita tentang anak-anak buruh yang jarang sekali untuk dituliskan.

Di Jakarta Utara di wilayah pabrik, banyak anak buruh perempuan mempunyai problem sama, seperti ibu yang seorang buruh yang suaminya tidak mau peduli urusan keluarga.

Jika sedang bekerja, mereka mau menitipkan anaknya ke tetangga ketika mereka bekerja, tapi tidak punya uang, apalagi menitipkan anaknya ke day care yang sangat mahal. Mau mempekerjakan pekerja rumah tangga, uang mereka pas-pasan, sedangkan jika dibiarkan sendirian di rumah, anak akan mengalami kondisi yang tidak aman.

Situasi sulit ini pernah mendorong Federasi Buruh Lintas Pabrik/ FBLP di Cakung, Jakarta Utara untuk membuat penitipan anak bagi anak-anak buruh. Ini dilakukan untuk memutus situasi yang tak mudah bagi buruh perempuan.

Pemerintah memang menyediakan akses bagi anak-anak yang orangtuanya bekerja, namun jumlahnya masih sangat sedikit dan jauh letaknya, tak mudah dijangkau

Karena ketika bekerja, para buruh perempuan masih harus memikirkan anaknya di rumah, tidak bisa konsentrasi dalam bekerja. Maka cara ini menjadi cara yang harus diselesaikan yaitu bagaimana perusahaan dan pemerintah membuat penitipan anak dimana ketika orangtuanya bekerja, anak merasakan aman dan nyaman

Selain itu, beban pengasuhan selalu diberikan pada ibu, selama ini ibulah yang selalu berat mengupayakan. Banyak ibu yang bekerja di luar rumah merasakan beban ini. Jika tak ada penitipan anak, banyak anak-anak yang tak akan merasakan aman diluaran, sedangkan ibu bekerja tidak bisa berkonsentrasi dalam bekerja, padahal ibu punya hak yang sama untuk mendapatkan penghasilan sebagaimana laki-laki

Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) pernah mengusulkan tempat penitipan anak pada Presiden Joko Widodo. Usulan itu disampaikan dalam pertemuan Ketua Umum KPBI Ilhamsyah dengan Presiden Jokowi pada Jumat, 26 April 2019 di Istana Bogor.

Dalam Buruh.co, Ilhamsyah mengatakan, para buruh perempuan umumnya menitipkan anak mereka pada orang tua di kampung halaman atau berhenti bekerja.

“Dua pilihan itu menyakitkan. Itu sama saja memutus hubungan kasih sayang ibu dan anak,” ungkapnya.

Ilhamsyah menekankan kawasan industri dan pabrik yang mempekerjakan buruh perempuan wajib memiliki penitipan anak.

“Di jam-jam istirahat ia bisa memberikan ASI pada anaknya. Anak buruh akan mendapatkan perhatian, gizi, dan pelatihan karena di tempat penitipan anak ada pembimbingnya. Itu jauh lebih manusiawi. Dan itu sangat mudah direalisasikan,” terangnya.

Hal ini merupakan kebutuhan mendesak bagi buruh namun belum terlihat perkembangannya hingga kini

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Fitria Rizka Nabelia, tertarik pada isu-isu perempuan lokal dan tradisi. Sekarang, tengah berproses dalam aktivitas menulis dan membaca di Institute For Javanese Islam Research (IJIR)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!