Unorthodox: Perempuan Bebas Menjadi Dirinya Sendiri


Bayangkan jika kita hidup di sebuah masyarakat yang erat dan saling kenal satu sama lain, dan saat menikah mengenakan gaun pengantin berwarna putih gemerlap nan menawan. Wow, semua ini sungguh terdengar indah. Namun nyatanya tak begitu. Sebuah serial Netflix Original yang terinspirasi oleh buku Deborah Feldman, New York Times Bestselling ‘Unorthodox’ dirilis pada 26 Maret 2020. Unorthodox mengajarkan kita soal kebebasan dan perempuan yang harus punya ruang untuk menjadi diri sendiri

Jafar Suryomenggolo- Konde.co

Seorang perempuan muda, Esty meninggalkan komunitas ultra-Orthodox Yahudi di Williamsburg, Brooklyn di New York City untuk memulai hidup baru di Berlin, Jerman karena tak mau terjebak dalam hukum agama yang kolot.

Padahal masyarakat di Komunitas Ultra Orthodox ini awalnya terkesan erat, selalu berhubungan baik, dan ada perkawinan yang manis. Semua itu sungguh terdengar indah, bukan? Namun nyatanya tak begitu. 

Masyarakat erat itu tak lain adalah ghetto yang dibentuk untuk saling mengawasi satu sama lain dan berada dalam hukum-hukum agama yang sangat kolot. 

Lalu, terjadilah seperti ini. Menikah bukan dengan kekasih pilihan sendiri melainkan dijodohkan oleh penatua sebab pacaran tidak diperbolehkan. Memasak dan mengurus anak adalah tugas perempuan semata. Dan, penggunaan internet dilarang (apalagi punya akun Instagram dan Twitter!). Siapa yang tahan dengan semua itu? 

Itulah situasi yang dialami Esty (diperankan Shira Haas), yang lahir, besar dan hidup di dalam masyarakat ultra-Orthodox Yahudi di Williamsburg, Brooklyn, New York. 

Jangan kita terkesima dengan “New York” semata, sebab justru seumur hidupnya dalam masyarakat itu Esty tidak pernah berpergian ke luar kota sama sekali. Yang dilakukan Esty selanjutnya adalah melarikan diri dari masyarakatnya itu, ke luar dari New York, kabur ke Berlin, Jerman. 

Kisah hidup Esty dan pelariannya itu kemudian diangkat dalam Unorthodox, miniseri 4 episode di Netflix, garapan sutradara Jerman, Maria Schrader (kelahiran 1965). 

Diliris akhir Maret 2020, Unorthodox dipuji banyak kritikus film dan melejit di kalangan pemirsa milenial. Memang, miniseri ini dibintangi beberapa pemain muda yang jadi idola milenial kekinian. Selain itu, ceritanya tidak bertele-tele ala sinetron atau drama Korea, dan pembabakan cerita digarap dengan sangat baik.  

Hidup yang tidak hanya untuk menikah

Hingga hari pernikahannya dengan Yanky Shapiro (diperankan Amit Rahav), Esty merasa aman dan nyaman hidup dalam masyarakat ultra-Orthodox Yahudi. Ia merasa tidak ada yang salah dalam hidupnya. Memasak dan mengurus rumah adalah kegiatan utamanya sebagai perempuan muda yang hidup bersama kakek-neneknya. Bahkan ia merasa lumrah ketika dijodohkan dengan seorang laki-laki yang tidak pernah dikenalnya ataupun ditemuinya sekalipun. 

Ia menjalani ritual keagamaan dengan taat dan tekun. Upacara pernikahannya dilalui dengan airmata kegembiraan karena pernikahan diyakini sebagai sarana penyempurnaan hidup bagi semua perempuan ultra-Orthodox Yahudi. 

Menikah, melahirkan anak (terutama anak laki-laki), dan merawat anak adalah panggilan hidup mereka. Tidak ada yang lain daripada itu. Sebagai bagian pelengkap dari upacara pernikahan, rambut Esty dicukur habis. Ini menjadi penanda sosial seorang perempuan yang sudah menikah. Mereka menutupi kepala mereka dengan kerudung ataupun sheitel (wig), dan hanya suami mereka yang boleh melihat ‘aurat’ mereka itu. 

Setahun menikah, Esty mulai merasa bahwa pernikahan bukanlah kesempurnaan hidup. Malah sebaliknya, ia merasa terbebani oleh harapan-harapan keluarga suaminya yang mencerminkan budaya patriarki. 

“Kapan kamu hamil?,” adalah pertanyaan tiap orang di sekelilingnya. 

Alih-alih memberinya kenikmatan, Esty kesakitan tiap kali berhubungan seks dengan suaminya. Ia mencoba meredam kegelisahannya itu. Namun, rumah telah menjadi penjara baginya.  

Muak dengan itu semua, ia merencanakan untuk melarikan diri dengan dibantu oleh guru les pianonya. Bermain piano adalah hobinya sebelum menikah tapi setelah menikah justru ia tidak ada kesempatan untuk menyentuh tuts piano sama sekali. 

Sebagai sesama perempuan, guru pianonya bersimpati padanya dan bersedia mengurus tiket pesawatnya ke Berlin, kota tempat ia kemudian bertemu dengan Robert (diperankan Aaron Altaras), seorang musikus muda  

Mengapa ia ke Berlin? Ada apa di kota itu? Siapakah Robert? Mengapa Esty tinggal bersama kakek-neneknya? Dan apakah Yanky berhasil melacak dan membawanya pulang kembali ke masyarakatnya? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang justru menjadi bumbu utama cerita dan memancing pemirsa untuk betul-betul menyimak betapa pelik kisah hidupnya.  

Kisah Esty sesungguhnya adalah adaptasi dari otobiografi Deborah Feldman yang berjudul Unorthodox: The scandalous rejection of my Hasidic roots, terbit 2012. Lahir dan besar di dalam masyarakat ultra-Orthodox Yahudi di New York, ia menolak akar identitasnya itu dan kini menetap di Berlin. 

Bebas dari agama yang kolot 

Menyaksikan Unorthodox, kita diingatkan bahwa kisah Esty bukan hanya tentang dirinya seorang melainkan juga kisah jutaan perempuan lain yang terjebak dalam masyarakat agamis yang kolot dan terkukung dalam budaya patriaki. 

Tidak hanya di dalam masyarakat ultra-Orthodox di New York, tapi di agama apapun dan di belahan dunia manapun. Termasuk juga tentunya, di Indonesia. 

Berkaca dari kisah Esty, kita tak ingin perempuan memandang kesempurnaan pernikahan semata-mata atas petunjuk agama. Apalagi, sampai merasa terjebak di dalamnya. Perempuan boleh dengan bebas menentukan pasangan hidupnya. Oleh karena itu, pacaran bukan tabu dan tidak juga haram. 

Sebelum mengikat janji pernikahan, kita perlu waktu untuk benar-benar mengenal pasangan kita: perawakan, perangai, tabiatnya. Pastinya juga, apakah ia benar-benar mencintai kita. Tidak menikah adalah juga pilihan hidup bagi perempuan.  

Esty menolak anggapan perempuan adalah semata-mata mesin penghasil bayi. Sebab, perempuan berhak atas tubuhnya sendiri, tanpa perlu petunjuk dari tokoh-tokoh agama yang kolot. 

Mengingat maraknya kasus serupa yang terjadi di Indonesia, penting adanya pendidikan seksualitas bagi anak muda agar laki-laki menghargai perempuan secara setara dan perempuan mengenal dan mampu memegang kuasa atas tubuhnya sendiri. 

Semua itu tujuannya, tak lain, agar perempuan bebas untuk menjadi dirinya sendiri.

(Foto: Layar.id)

Jafar Suryomenggolo, bermukim di Paris (Prancis)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!