Ancaman kriminalisasi kini menghantui korban, mereka takut jika RUU Kesehatan yang sedang dibahas saat ini tidak berpihak pada perempuan korban, padahal korban semestinya mendapat jaminan perlindungan. Kondisi ini diungkap pendamping korban di WCC Jombang, Ana Abdillah.
Ana menyatakan, ada kasus siswi SMP yang jadi terduga pelaku pembuangan bayi di Jombang pada 2021. Kejadian ini terjadi usai dia mengalami kehamilan tidak diinginkan (KTD) akibat perkosaan. Hasil autopsi menyebut, bayi itu sudah meninggal sejak dalam kandungan.
Ana selanjutnya melakukan konseling dengan ibu korban. Ibu korban bilang bahwa korban memang melakukan berbagai cara menggugurkan kandungannya. Korban sebelumnya sering tengkurap, sering menekan-nekan perutnya dengan tangan sampai minum minuman bersoda.
Korban menjalani aborsi yang tidak aman. Sehingga berdampak pada infeksi pada rahim. Di saat bersamaan, korban justru ditindak pidana karena membuang bayinya ke sungai.
“Tidak hanya sebagai korban tapi terduga yang melakukan tindak pidana. Ini yang jadi catatan kita bersama bahwa sistem peradilan (saat ini), sangat mungkin mengkriminalisasi korban kekerasan seksual yang tidak mendapatkan hak atas kesehatan reproduksi seksual yang komprehensif,” ujar Ana Abdillah dalam diskusi daring yang diselenggarakan IPAS Indonesia, Senin (22/5).
Kasus lain yang jadi catatan Ana adalah kendala struktural bagi anak korban perkosaan mengakses aborsi aman. Ini seperti yang terjadi pada anak usia 6 SD yang diperkosa kakek usia 55 tahun di Jombang. Pelaku melakukan tipu daya dengan memberi korban uang Rp 100-200 ribu.
Keluarga korban juga tidak siap menghadapi kondisi kehamilan korban dan berusaha mengupayakan hak atas aborsi aman bagi korban perkosaan sebagaimana yang diatur dalam UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan, PP No 61 tahun 2014, Menteri Kesehatan Nomor 3 tahun 2016. Tapi, tidak membuahkan hasil.
Selama proses mengupayakan aborsi legal dan aman bagi korban perkosaan itu, banyak pihak justru “enggan merealisasikan”. Misalnya dari pihak Kepolisian bilang, mereka tidak pengalaman sehingga tidak bisa memberikan rekomendasi.
Ana juga mengungkap, pihak-pihak lain seperti Dinas hingga RSUD yang berkelit. Mereka menyatakan mendukung tapi hanya secara personal, sedangkan secara institusi tidak. Ada lagi yang malah mengancam bahwa pendamping harus hati-hati karena bisa tersandung masalah hukum karena membantu aborsi.
Sementara pihak lainnya, berupaya menggagalkan aborsi korban dengan pernyataan “kehamilan korban sehat. Jika dilanjutkan kehamilannya, bayinya akan tumbuh menjadi anak yang sehat”. Sampai ada yang bilang “Jangan sampai digugurkan kandungannya, nanti dosa”.
Dia menambahkan, hasil yang disampaikan pihak RS adalah janin sehat, ditambah tubuh korban yang bongsor diartikan bahwa korban baik-baik saja dan sehat dan tidak perlu dilakukan aborsi.
“Sementara korban berharap bahwa dia dapat melanjutkan sekolah dan bermain kembali dengan teman-temannya,” lanjut Ana.
Meski akhirnya vonis pelaku lebih tinggi menjadi 14 tahun penjara dan denda 60 juta, dengan subsider 6 bulan. Ana berharap RUU Kesehatan yang konon akan memperpanjang masa usia kandungan korban jadi 14 minggu ini, bisa optimal implementasinya. Aturan itu harus berpihak pada korban.
“Pengaturan aborsi dalam RUU Kesehatan, harus harmonisasi dengan UU No 1/2023 tentang KUHP dan UU No. 12/2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual untuk menjawab persoalan pendampingan kasus kekerasan seksual dan berorientasi pada pemenuhan hak-hak korban,” tegas Ana.
Dokter Oktavinda Safitry dari Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia juga menekankan, aturan kesehatan yang berlaku soal aborsi nantinya (RUU Kesehatan) juga harus “lebih bunyi”. Maksudnya, lebih tegas melindungi hak korban perkosaan. Misalnya dengan ada pasal tersendiri soal aborsi korban perkosaan.
“Walaupun sudah diperbolehkan dengan UU, tapi gak bunyi,” kata dia.
Di satu sisi, dokter Erfen Gustiawan dari Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia mendorong agar aturan Kesehatan soal aborsi yang akan berlaku nantinya, juga harus melindungi para dokter dan tenaga medis. Sehingga, tidak malah dikriminalisasi.
BACA JUGA:
Riset Konde.co: Bagaimana Media Memandang Tubuh Perempuan dan Aborsi Aman bagi Korban Perkosaan
Tuntutan Aktivis Keadilan Gender dan Kelompok Rentan soal RUU Kesehatan
Ketua DPR Puan Maharani membuka masa sidang ke-5 tahun 2022-2023 pada Selasa (16/5). Ada sembilan RUU yang masuk prioritas DPR hingga kini, termasuk RUU Kesehatan.
Di tengah polemik RUU tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Gender dan Kelompok Rentan menyurati DPR untuk meminta agar bisa mengikuti rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Panitia Kerja RUU Kesehatan, Komisi IX DPR RI.
Melalui daftar inventarisasi masalah (DIM) yang diserahkan kepada DPR RI, koalisi juga mengungkap beberapa persoalan dalam draft RUU Kesehatan. Persoalan tersebut khususnya meliputi isu gender dan kelompok rentan. Ada dua bahasan utama dalam DIM terbaru ini, yakni (1) redefinisi dan perlindungan masyarakat rentan melalui pelayanan kesehatan non-diskriminatif serta (2) aborsi aman dan kesehatan reproduksi.
“Koalisi mengkaji, terdapat beberapa isu krusial yang ada di masyarakat sipil dan urgen untuk segera direspon oleh Pemerintah dan DPR RI,” tulis pernyataan resmi Koalisi.
Mereka kemudian merekomendasikan perubahan sejumlah pasal, di antaranya perluasan definisi masyarakat rentan dan pentingnya layanan kesehatan yang non-diskriminatif (Pasal 27), pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum untuk memberikan rujukan bagi korban kekerasan (Pasal 88), penghapusan pidana pemasungan (pasal 453), serta pelayanan kesehatan reproduksi yang inklusif dan aborsi aman (pasal 39, 42, 43, 448).
Berdasarkan catatan tersebut, koalisi menyampaikan beberapa tuntutan. Di antaranya, menyatakan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Kesehatan yang saat ini berada di DPR RI belum sepenuhnya memenuhi berbagai ragam pengalaman, kebutuhan dan perspektif perempuan serta kelompok rentan.
Koalisi juga mendorong DPR RI khususnya Tim Panitia Kerja Komisi IX untuk membuka ruang diskusi kepada Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Gender dan Kelompok Rentan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU).
“Mendorong Pemerintah dan DPR RI untuk mengakomodasi seluruh aspirasi, saran, dan masukan masyarakat sipil, khususnya terkait isu prioritas gender dan masyarakat rentan,” lanjutnya.
Para aktivis juga berharap Pemerintah dan DPR RI bisa menggali lebih dalam hambatan, kebutuhan, serta mengakomodasi pengalaman perempuan dan kelompok rentan agar dapat mewujudkan program sektor kesehatan yang lebih inklusif dan non-diskriminatif.
“Pemerintah dan DPR RI (agar) membuka ruang dialog dan partisipasi publik mengenai isu prioritas gender dan masyarakat rentan dalam RUU Kesehatan kepada masyarakat sipil, organisasi profesi, dan kelompok masyarakat terdampak lainnya,” katanya.
Adapun ruang dialog dan partisipasi publik merupakan perwujudan kolaborasi bersama Pemerintah dengan Masyarakat Sipil yang merupakan bagian dari komitmen Pemerintah mengimplementasikan prinsip Pemerintahan yang Terbuka (Open Government).
Anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Gender dan Kelompok Rentan tersebut adalah Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Asosiasi LBH APIK Indonesia, Transmen Indonesia, dan Cangkang Queer.
Ada pula Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta, Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (PUSKAPA), Women’s Voice, Yayasan Anak Bangsa Merajut Harapan (Angsamerah Foundation), Yayasan IPAS Indonesia, Save All Women and Girls, Yayasan Kesehatan Perempuan, Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Dokter dan Tenaga Kesehatan: RUU Kesehatan Tak Beri Ruang Partisipatif
Forum dokter dan tenaga kesehatan mendorong pemerintah menghentikan pembahasan RUU Kesehatan yang kini tengah bergulir di parlemen. Mereka mengkritik pembahasan RUU Kesehatan yang dianggap tidak memberikan ruang bagi publik untuk berpartisipasi secara bermakna (meaningful participation).
Itu dikarenakan pemerintah hanya mengumpulkan masukan publik secara kuantitatif. Tanpa mempertimbangkan poin penting dalam masukan itu seperti poin tentang penghapusan organisasi profesi dan kelembagaan sistem kesehatan.
“Menurut pendapat kami meaningful participation masih perlu dipertanyakan, karena ada hal-hal yang fundamental tidak dimasukkan dalam DIM (Daftar Inventaris Masalah) pemerintah atau Kementerian Kesehatan,” ujar Kuasa Hukum Forum Dokter Peduli Kesehatan Bangsa (FDPKKB), Muhammad Joni dilansir dari VOA Indonesia.
FDPKKB itu terdiri dari lima organisasi profesi yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Soal penghapusan organisasi profesi dan kelembagaan kesehatan tercantum dalam rumusan Pasal 14A, yang berbunyi, “Dalam rangka mendukung pelaksanaan pembinaan, pengawasan, serta peningkatan mutu dan kompetensi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, Pemerintah Pusat dapat dibantu oleh lembaga.”
“Dia (usulan pemerintah -red) adalah absolutisme karena menghapus kelembagaan-kelembagaan yang sudah efektif, ajeg dan gayeng dalam sistem kesehatan sekarang ini,” tambahnya.
Joni melanjutkan, DIM RUU Kesehatan yang memuat penghapusan lembaga-lembaga seperti Konsil Kedokteran Indonesia, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, Kolegium dan organisasi profesi bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Selain itu, menurutnya ketiadaan lembaga ini akan merugikan publik karena tidak ada yang menjadi penyeimbang dan kontrol pemerintah.
“Kalau tidak memiliki kelembagaan yang secara spesifik melakukan tugas-tugasnyanya. Bagaimana kita ingin memberikan perlindungan kepada tenaga medis, tenaga kesehatan kalau kelembagaan hukumnya ditiadakan.”
Hingga kini, FDPKKB telah melayangkan tiga kali somasi kepada Menteri Kesehatan terkait persoalan-persoalan di RUU Kesehatan. Karena itu, forum ini akan mengambil upaya hukum terhadap Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Kemenkes: RUU Kesehatan Distop Bukan Solusi
Sementara itu, Kementerian Kesehatan menyebut, penolakan terhadap RUU Kesehatan justru berpotensi menghambat kebutuhan terhadap perlindungan hukum yang lebih jelas dan kuat untuk dokter, perawat, bidang, apoteker, dan tenaga kesehatan lainnya dalam memberi pelayanan ke masyarakat.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril menyampaikan, pasal-pasal terkait hukum yang dikhawatirkan para dokter dan tenaga kesehatan sudah ada di undang-undang yang berlaku saat ini, dan tidak ada organisasi profesi dan individu yang bersuara dan berinisiatif untuk memperbaikinya setelah berlaku hampir 20 tahun ini.
“DPR justru memulai inisiatif untuk memperbaiki undang-undang yang ada sehingga pasal-pasal terkait perlindungan hukum ini menjadi lebih baik. Pemerintah pun mendukung upaya ini. Menolak RUU akan mengembalikan pasal-pasal terkait hukum yang ada seperti dulu. Yang sudah terbukti membuat banyak masalah hukum bagi para dokter dan nakes,” kata Syahril dalam pernyataan resminya.
Salah satu usulan peraturan dalam RUU yang dianggap bermasalah oleh organisasi profesi adalah situasi dimana dokter dapat digugat secara pidana atau perdata meskipun sudah menjalani sidang disiplin. Menurut Kemenkes, aturan tersebut adalah aturan lama yang sudah berlaku di UU Praktik Kedokteran 29/2004 saat ini.
Pasal 66 ayat (1) UU Praktik Kedokteran 29/2004, disebutkan bahwa setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Lebih lanjut, ayat (3) menyatakan bahwa pengaduan tersebut tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.
“Pasal-pasal tersebut masih dalam pembahasan oleh DPR dan pemerintah untuk dapat diperbaiki,” imbuhnya.
Menurut Syahril, ada beberapa usulan baru pasal terkait dalam RUU Kesehatan di luar pasal-pasal perlindungan hukum yang sudah berlaku saat ini. Penyelesain sengketa di luar pengadilan.
Menurutnya, RUU Kesehatan mengedepankan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) dalam penyelesaian perselisihan (Pasal 322 ayat 4 DIM Pemerintah) Anti-perundungan (anti-bullying). Tenaga medis dan Tenaga Kesehatan dapat menghentikan pelayanan kesehatan apabila memperoleh perlakuan yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai-nilai sosial budaya. Termasuk tindakan kekerasan, pelecehan dan perundungan (Pasal 282 ayat DIM pemerintah).
Ada juga soal perlindungan bagi peserta didik yang memberikan pelayanan kesehatan dari kekerasan fisik, mental dan perundungan juga tertuang dalam Pasal 208E ayat 1 huruf d DIM pemerintah.
“RUU Kesehatan menjamin hak peserta didik yang memberikan pelayanan kesehatan atas bantuan hukum, dalam hal terjadinya sengketa medik selama mengikuti proses pendidikan (Pasal 208E ayat 1 huruf a DIM Pemerintah),” klaimnya.
Di sisi lain, pihaknya bilang, RUU Kesehatan juga memuat proteksi tenaga kesehatan dan tenaga medis dalam keadaan darurat. Tenaga medis dan Tenaga Kesehatan yang melaksanakan upaya Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan Wabah berhak atas perlindungan hukum dan keamanan, serta jaminan kesehatan dalam melaksanakan tugas (Pasal 408 ayat 1 DIM Pemerintah).
“DPR dan pemerintah masih membahas pasal perlindungan hukum dan mengundang masukan dari publik. Meminta proses pembahasan RUU Kesehatan untuk distop bukanlah solusi. Apabila kepentingan utama organisasi profesi adalah perlindungan hukum, justru sekarang inilah saat yang tepat untuk melakukan perbaikan,” pungkasnya.
BACA JUGA:
Perempuan Korban Perkosaan Hadapi Hambatan Akses Aborsi Aman