Cerita Para Jurnalis: Alami Trauma Setelah Liputan Kekerasan Seksual

Tak hanya korban kekerasan seksual dan pendamping korban  yang butuh konseling, ternyata jurnalis peliput kekerasan seksualpun membutuhkan konseling karena terpapar cerita kekerasan secara terus-menerus. Konde.co mewawancarai para jurnalis yang harus melakukan konseling pasca meliput kekerasan seksual  

Tika Adriana- Konde.co

Alexander, bukan nama sebenarnya, mulanya bersemangat ketika kantornya mempercayai dia untuk menulis isu kekerasan seksual. Dengan meliput, kata Alex, ia menjadi paham masalah ketimpangan relasi kuasa dalam kasus-kasus kekerasan seksual.

“Aku sadar ada ketimpangan, ada relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan, hetero male itu ada di puncak kuasa. Waktu liputan itu excited, tahu masalah ketimpangan di level grassroot, apa saja yang dihadapi sama korban, kesulitannya apa, ketemu korban, lalu ketemu layer masalah yang mereka ungkap,” ujar Alex saat diwawancara Konde.co (8/10/2020).

Karena liputannya itu, Alex menjadi paham bahwa pemulihan merupakan kebutuhan utama bagi para korban kekerasan seksual. Namun sayang, di Indonesia, akses konseling psikologi atau psikiater tak dimiliki oleh semua orang karena harganya yang mahal. 

Korban kekerasan seksual yang berasal dari kalangan menengah ke atas, mereka mungkin mampu membayar konseling berkali-kali, tapi berbeda dengan korban kekerasan seksual dari ekonomi lemah.

“Jadi dulu mikirnya itu harus dihukum, tapi ketemu langsung mereka dan tahu layer yang dihadapi, aku sadar bahwa pemulihan adalah tahap paling awal yang harus disediakan oleh negara atau institusi pemerintah, tapi itu yang enggak ada. Ke belakang, aku makin sadar bahwa trauma itu harus dipulihkan,” tutur Alex.

Bertemu dengan para penyintas kekerasan seksual memang membuat Alex menjadi paham tentang adanya ketimpangan relasi kuasa, tapi pikiran Alex terganggu ketika melihat kondisi di media tempat Ia bekerja yang kerap merendahkan perempuan.

“Aku melihat langsung bagaimana editor merendahkan perempuan. Teman perempuan digosipin karena pilihan gaya hidup yang berbeda. Kalau dia enggak ada, apa yang diomongin berbeda. Hal-hal ini semakin aku sadari dan membuat catatan sendiri,” tutur Alex.

“Teman kantorku juga pernah bercanda denganku, mancing orientasi seksualku seperti apa,” tambahnya.

Bukan itu saja, membawa isu gender ke ruang redaksi di tempat Alex bekerja juga bukan perkara mudah. 

Alex beberapa kali harus menerima penolakan ketika hendak menulis isu Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender/ LGBT. Di kantornya pun ia melihat atasannya yang terlihat progresif di luar, tapi mendorong kerja sepanjang hari.

“Jadi kerja, kerja, kerja, eksploitasi karyawan, suka memberi tugas mendadak, enggak lihat waktu, sering juga ngerasa komentar dan jokesnya seksis. Jadi gue merasa enggak nyaman,” ungkap Alex.

Alex semakin tertekan ketika Ia tahu bahwa orang-orang di luar medianya menganggap bahwa kantornya sangat progresif. Ini berbeda dengan kondisi kantornya yang menurut dia sangat toksik.

“Yang paling bikin enggak nyaman itu karena mereka enggak seprogresif tulisan mereka di isu gender, karena aku datang dari minoritas gender, karena aku orang yang dikecilkan dalam norma mereka, aku enggak nyaman dengan bercandaan dan budayanya,” kata Alex.

Trauma inilah yang membuat Alex sering telat deadline dan sering susah menulis.

“Aku sadar tempat kerjaku asem, pemahaman gender mereka aja buruk, gimana mereka yang pemahaman gendernya buruk bisa sadar kalau orang yang habis liputan kekerasan seksual butuh konseling?” tutur Alex.

Alex pernah mencoba pergi ke psikolog sekitar 4 kali, tapi harga konseling yang mahal membuat Alex berpikir ulang.

“Enggak ada yang ditanggung, aku usaha sendiri, ada yang pakai BPJS, ada yang enggak. […] Mahal banget, Rp450.000,- sejam. Aku enggak sanggup kalau sebulan harus keluar uang segitu,” ujarnya.

Pengalaman yang dialami Alex juga dialami oleh Nuna, bukan nama sebenarnya. Bersinggungan dengan penyintas kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual membuat Nuna sering merasa lelah. Apalagi, Nuna merupakan orang yang sangat mudah berempati.

“Kadang aku mendengar narasumber, apalagi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga/ KDRT, apalagi waktu itu salah satu temanku ada yang menghubungi aku dan bilang mau diwawancara, kan kaget kalau teman dekatmu, tiba-tiba ngechat dan bilang jadi korban KDRT. Kok enggak pernah cerita, sampai aku merasa, ‘dunia kok jahat banget’, ‘kok manusia jahat banget’,” kata Nuna saat dihubungi Konde.co (7/10/2020).

Kepada saya, Nuna menceritakan pengalaman liputan yang membuat dia sangat terguncang yakni di tahun 2018, saat liputan 20 tahun reformasi di Rempoa, Jakarta. 

“Awalnya aku dengerin orasi, dengerin keluarga korban ngomong, keluarga korban nyekar ke beberapa kuburan. Di situ ada satu keluarga korban bilang, ‘ini satu kuburan isi 5-10 orang’, lalu aku merasa hopeless, yang aku tulis berdampak atau enggak sih kepada mereka, membantu mereka mendapatkan keadilan enggak sih? Kayaknya capek banget. Waktu pulang, aku naik taksi, di mobil itu aku nangis,” tutur Nuna.

Trauma yang Ia dapat dari peliputan ini membuat kualitas tulisan Nuna menurun, hingga suatu ketika, Ia mengalami writers blocked. Ia pun sempat ditegur oleh kantornya karena penurunan produktivitas.

Karena tak tahan, Nuna pun memutuskan untuk konseling di November tahun 2019 lalu. Ia memilih konseling yang mahal agar tak terlalu lama mengantre. Sekali konseling psikolog, ia harus keluar uang sekitar Rp500.000,- yang harus ia bayar sendiri, tak ada fasilitas konseling dari kantor.

“Psikolog bilang, terlalu banyak informasi yang aku dapat, banjir informasi dan aku terpapar semua. Lalu mereka minta mengurangi sosial media dan berjarak dengan narasumber. Ini PR banget sih,” ungkapnya.

Nuna pun cerita bahwa ia sempat berhenti konseling, tapi sejak awal pandemi, Ia membutuhkan konseling yang lebih sering untuk membantu kesehatan mentalnya.

“Untuk seorang jurnalis kayaknya sulit untuk stuck berhari-hari di rumah, webinar setiap hari, intensitas webinar lebih banyak setelah pandemi. Dari awal pandemi ini aku jadi lebih sering ke psikolog, hampir tiga kali dari Maret sampai sekarang. Terus makin parah, aku memutuskan untuk ke psikiater juga, sekali konsul sama obat Rp800 ribu. Tergantung obatnya apa sih. Sampai saat ini udah empat kali ke psikiater. Jadi psikolog dan psikiater,” tutur Nuna.

Nuna tak sendiri, Ia pun bercerita kepada rekan-rekannya yang lain. Ternyata selama pandemi ini, beberapa temannya pun mulai ke psikiater karena mengalami depresi kerja.

Untuk menyembuhkan depresinya, Nuna pun memilih untuk mengambil rehat menulis. Meski tak dibiayai untuk konseling, kantornya memperkenankan Ia istirahat satu bulan dan tetap menerima gaji utuh.

Psikolog Yayasan Pulih, Danika Nurkalista menjelaskan bahwa trauma sekunder memang bisa terjadi pada seseorang yang terus menerus dihadapkan oleh cerita atau kejadian traumatis yang dialami oleh orang lain.

“Berbagai profesi yang kerap bekerja di isu-isu kemanusiaan, termasuk jurnalis yang meliput peristiwa traumatis seperti kekerasan atau bencana alam rentan mengalaminya,” ujar Danika.

Ia menambahkan, kondisi ini merupakan hal manusiawi dan harus ditangani secara serius, sebab dampaknya cukup besar bagi kehidupan seseorang, hingga mengganggu fungsi kehidupan mereka.

Hal pertama yang bisa dilakukan untuk membantu jurnalis, kata Danika, yakni dengan menyadari dan mengakui emosi yang dirasakan oleh jurnalis dan menyampaikan ke orang terdekat atau yang mau mendengarkan cerita kita dengan peduli.

“Karena seringkali seseorang yang mengalami secondary trauma kurang menyadari atau mengecilkan apa yang ia rasakan dan enggan bercerita ke orang lain,” tuturnya.

Setelah itu, kegiatan yang bisa dilakukan untuk membantu yakni dengan self-care seperti menulis jurnal, berolahraga, menangis, dan mengurangi paparan terkait kekerasan.

Konseling ke psikolog merupakan cara yang bisa dilakukan ketika para jurnalis mengalami trauma agar mereka bisa memahami akar masalah dan mencari metode pemulihan yang tepat.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Tika Adriana, jurnalis perempuan yang sedang memperjuangkan kesetaraan. Saat ini managing editor Konde.co

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!