56 Cerita Perempuan Hadapi Covid: Kami Bukan Sekedar Angka

Sebanyak 56 perempuan menulis bersama dalam sebuah buku bagaimana menghadapi Pandemi Covid-19. Salah satu penulisnya adalah Yuliannova Lestari, mahasiswa Indonesia yang berada di Wuhan, China yang di masa awal pandemi selalu bertanya: kapan bisa keluar dari sana dan pulang ke Indonesia?

Mardiyah Chamim, seorang penulis dan jurnalis, merasakan perasaan sedih yang mendalam setelah membaca sebuah artikel yang ditulis seorang penulis di laman New York Times.

Dalam artikel tersebut, ditulis bagaimana relasi seorang ibu dan anak perempuannya di masa Pandemi Covid-19. Ibu itu memasak kulit jeruk yang kemudian dijadikannya sayur. Anaknya heran dengan apa yang dilakukan ibu.

“Mengapa harus memasak kulit jeruk dan dijadikan sayur untuk makan?.”

Ibu tersebut menjawab, karena mereka tak bisa keluar rumah begitu saja karena Covid. Ini dilakukannya untuk menjaga agar kebutuhan makanan mereka bisa tercukupi di masa pandemi. Jadi apa saja yang ada di rumah lalu dijadikan bahan masakan untuk mereka agar tetap bisa makan.

Cerita personal yang sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari ini kemudian menjadi semangat bagi Mardiyah Chamim untuk mengumpulkan cerita para perempuan

Lalu bertemulah Mardiyah Chamim dengan 56 penulis yang dipilih karena cerita keseharian dan perjuangan mereka di masa-masa ini

Mardiyah kemudian mengumpulkan tulisan-tulisan ini dan merekam apa yang terjadi dalam perasaan mereka, keseharian para perempuan di masa Covid dalam sebuah buku berjudul  Buku “Kita Bukan Sekadar Angka – Puan Indonesia Menulis Pandemi” yang diterbitkan Puan Indonesia. Buku tersebut dilaunching pada 22 Desember 2020 secara daring

Dari ke 56 perempuan tersebut, beberapa diantaranya adalah penyintas yang terkena kanker payudara yang karena situasi ini membuat mereka menjadi rentan, tak bisa keluar rumah. Sudah 10 bulan sejak pandemi ini masuk ke Indonesia, semua orang berada dalam rumah dan dalam situasi ketakutan, beberapa menyatakan situasi ini memang sangat mencekam

Salah satu penulis adalah Yuli, mahasiswa Indonesia yang berada di Wuhan, China yang selalu bertanya: kapan bisa keluar dari sana dan kembali ke Indonesia?

Ada juga pengalaman suami dan istri yang harus hidup dalam 14 hari isolasi mandiri. Atau ada pula tulisan dari peneliti, petugas kesehatan yang cemas melihat situasi ini setiap hari. Pasien yang ada dimana-mana dan kematian yang bisa datang menjemput setiap saat.

Mardiyah Chamim, inisiator dan penulis buku ini kemudian bekerja untuk merekam situasi perasaan, keseharian 56 perempuan yang di masa pandemi Covid-19 menghadapi kehidupan yang telah dibuat jumpalitan.

“Begitu banyak duka, perjuangan, harapan, semangat, dan solidaritas yang tumbuh. Setiap kisah adalah bagian dari sejarah yang tak boleh berlalu dan menguap begitu saja tanpa kita mengambil refleksi dan pembelajaran. 56 perempuan dari beragam profesi dan latar belakang ini kemudian bersama-sama mengabadikan keping demi keping memori itu dalam buku ini.”

Mardiyah mengatakan bahwa buku ini adalah sebuah kerja kolaborasi #PuanIndonesia dari Aceh sampai Papua.

“Termasuk dalam jajaran penulis adalah Ratri Anindyajati dan Maria Darmaningsih, pasien awal Covid-19 di Indonesia, mahasiswa Indonesia di Wuhan, juga para tenaga medis yang berjibaku di garda depan. Para puan yang berjuang di berbagai medan kehidupan juga turut serta, antara lain pengusaha, guru, dosen, kurator, jurnalis, aktivis, dan pegiat komunitas.”

Prof. Herawati Supolo Sudoyo, Prof. Adi Utarini, Menteri Keuangan RI Sri Mulyani, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, dan mantan Menteri Kesehatan RI dokter Nila F. Moeloek juga menuliskan dalam buku di catatan reflektif mereka di buku ini.

Dalam launching buku secara online, sejumlah penulis membacakan tulisan-tulisan mereka, bagaimana stigma yang mereka rasakan ketika divonis Covid-19, ada juga yang ditinggalkan keluarga karena meninggal karena Covid-19 dan hanya bisa melihat dari jauh jenazah keluarga yang ditutup plastik, dan tak bisa lagi menyentuhnya.

Adi Utarini yang suaminya meninggal karena Covid-19 membacakan cerita ini, bagaimana ia melihat anak perempuannya menangisi kepergian ayahnya dan ini semakin membuatnya tak akan pernah melupakan episode pahit dalam keluarganya ini.

“Akhirnya suami saya meninggal, tubuhku sudah tidak kuasa untuk menjerit melihat keadaan ini,” kata Adi Utarini membacakan tulisannya

“Haruskah saya buka identitas suami saya yang meninggal pada publik karena penyakit ini sangat membuat publik takut? namun satu-satunya cara yang saya yakin yaitu saya harus membuka kepada orang yang bertemu suami saya dan saya yakin suami saya yang telah meninggal menyetujui keputusan ini,” suara Adi Utarini tercekat, menahan tangis.

Ratri Anindyajati dan Maria Darmaningsih, adalah pasien awal Covid-19 di Indonesia yang juga menulis di buku ini. Mereka menulis bagaimana stigma sebagai pembawa Covid-19 disematkan begitu saja pada keluarga mereka dan ini membuat hati mereka hancur, sedih tiada kepalang, mengutuki diri sendiri dan selalu merasa bersalah. Kondisi ini tak pernah membuat hidup keluarga ini menjadi mudah, karena hidup dengan stigma adalah sesuatu yang sulit dilalui setiap orang

10 perempuan penulis dalam acara lauching ini juga membacakan cerita mereka dalam menghadapi Covid-19, menghadapi maut yang setiap saat menjemput.

Refleksi para penulis ini bisa menjadi  pengingat bahwa semua orang mengalami situasi sulit yang sama dan sudah seharusnya situasi ini tak hanya dihitung sekedar angka, bukan korban yang hanya bisa dituliskan jumlahnya, namun mereka sudah berjuang dan mengusahakannya

Ke-56 penulis yang menuliskan secara personal dalam buku ini antaralain Mardiyah Chamim| Yuliannova Lestari | Maria Darmaningsih | Ratri Anindyajati | Anis Hidayah | Adi Utarini | Lani Diana Wijaya | Ninik Rahayu | Haiziah Gazali | Herawati Supolo-Sudoyo | Maria A. Witjaksono | Vera Sulistyaningrum | dokter Zuhdiyah Nihayati | Noor Siti Noviani Indah Sari| Hana Krismawati | Rastaria Tarigan | Fransisca Ria Susanti | Retno Kustiati | Purwani Diyah Prabandari | Aji Yahuti | Selma Widhi Hayati | Stephanie Kevin Halim | Yuniyanti Chuzaifah | Henny Supolo Sitepu | Nadlroh as-Sariroh | Octaviana Rombe (Baby) | Andari Karina Anom | Sri Tiawati | Irma Hidayana | Diah Saminarsih | Hening Parlan | Zubaidah Djohar | Ade Siti Barokah | Baihajar Tualeka | Berti Soli Dima Malingara | Dewi Tjakrawinata | Laila Juari | Sicillia Leiwakabessy | Rode Wanimbo | Indria Fernida | Sita Supomo | Nissa Wargadipura | Nani Zulminarni | Endri Kurniawati | Kristin Samah | Rukka Sombolinggi | Bivitri Susanti | Chandra Kirana Prijosusilo | Alia Swastika | Monica Tanuhandaru | Profesor Dr. dr. Nila F. Moeloek, SpM(K) | Retno L.P. Marsudi | Sri Mulyani Indrawati

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!