Isu kekerasan seksual dinilai sebagai isu penting dan rumit. Begitu juga dengan berita soal kekerasan seksual. Sudah banyak yang setuju jika berita kekerasan seksual itu menarik untuk diberitakan karena memiliki unsur atau nilai berita.
Kini, penyebaran pemberitaan kekerasan seksual sudah mengalami perkembangan pesat seiring perkembangan teknologi. Yakni melalui media cyber.
Media cyber menjadi sarana menyebarkan pemberitaan dalam jaringan internet yang mudah dan relatif cepat disebarluaskan. Sehingga dapat menjangkau masyarakat luas.
Namun, tak jarang media yang menulis pemberitaan tentang kekerasan seksual, justru dikenai serangan. Dilansir dari VOA Indonesia, Ade Wahyudin selaku Executive Direktur LBH Pers mengatakan, isu kekerasan seksual adalah salah satu dari tiga isu utama yang sering menjadi alasan serangan terhadap media. Ini setelah isu korupsi dan isu kejahatan lingkungan.
Singkatnya, media tak selalu mulus dalam memberitakan isu-isu sensitif seperti kekerasan seksual. Hal tersebut kebanyakan dipicu dengan adanya pihak-pihak yang merasa keberatan dengan pemberitaan tersebut karena menyangkut nama baik. Mereka justru menyelesaikan dengan mekanisme koreksi yang keliru, sehingga justru membatasi kebebasan berekspresi media terkait.
Baca Juga: AJI Jakarta Kecam Serangan terhadap Situs Berita Konde.co
Di Indonesia, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, sudah terjadi beberapa kasus serangan pada media yang memberitakan kekerasan seksual. Beberapa media yang pernah mengalami serangan saat memberitakan isu kekerasan seksual adalah Konde.co dan Project Multatuli.
Seperti data yang didapatkan dari pemberitaan, tahun 2020 lalu, Konde.co mengalami serangan media berupa peretasan akun sosial media Twitter tepatnya pada 15 Mei 2020. Twitter Konde.co diketahui tengah dibuka secara paksa di Surabaya 30 menit sebelum diskusi program Konde Women’s Talk berlangsung. Kejadian itu terjadi tak lama setelah Konde.co memberitakan kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh mahasiswa alumni Universitas Islam Indonesia, kemudian berita tersebut ramai di media sosial.
Serangan media lain yang dialami Konde.co adalah serangan Distributed Denial of Service (DDoS) yang yang ditandai dengan aktivitas penggunaan bandwidth sangat padat dan meningkat drastis. Serangan tersebut terjadi saat Konde.co menerbitkan laporan tentang tindakan pemerkosaan yang terjadi di lingkungan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Judulnya “Kekerasan Seksual Pegawai Kementerian: Korban Diperkosa dan Dipaksa Menikahi Pelaku”, pada 24 Oktober 2022 lalu.
Baca Juga: Kekerasan Seksual Pegawai Kementerian: Korban Diperkosa dan Dipaksa Menikahi Pelaku
Selain itu, media alternatif Project Multatuli juga mengalami serangan DDoS seusai menerbitkan serial laporan #PercumaLaporPolisi. Adapun judul beritanya adalah “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan” pada 6 Oktober 2021 lalu. Selang dua jam setelah berita diterbitkan, situs projectmultatuli.org mengalami kesulitan akses.
Kejadian tersebut menjadi bukti nyata pemberitaan kekerasan seksual rentan dikenai serangan. Terlebih serangan media. Dikutip dari VOA Indonesia, Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) juga mencatat praktik serangan terhadap jurnalis dan media dalam bentuk digital di tahun 2022. Jumlah itu meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Jumlah serangan digital pada tahun 2022 tersebut mencapai 14 kasus tercatat, sedangkan tahun 2021 berjumlah lima kasus tercatat. Kekerasan digital yang menimpa jurnalis dan media dalam kegiatan jurnalistiknya, menunjukkan bahwa tindakan tersebut telah mengganggu kebebasan pers.
Melihat dari fenomena itu, media pun makin berada di dalam bayang-bayang represi. Padahal, kebebasan pers telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Di aturan itu menjamin perlindungan hukum dan kebebasan pers. Serta bebas dari paksaan dan campur tangan dari pihak manapun.
Baca Juga: Hari Kebebasan Pers Sedunia: 25 Tahun Reformasi, Jurnalis Masih Marak Dikriminalisasi
Tak hanya itu, hadirnya era reformasi 1998 telah memberikan kebebasan yang ditunjukkan dengan pencabutan aturan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Buah dari pencabutan tersebut, muncul berbagai perusahaan pers. Baik itu media cetak, televisi, maupun radio sebagai bentuk kebebasan setelah pers dibelenggu oleh orde baru.
Media memang akan sering dihadapkan dengan situasi eksternal yang tidak selalu dapat dikendalikan. Maka diperlukan manajemen pengelolaan bagi perusahaan atau organisasi media. Manajemen tersebut terdiri dari beberapa tahap, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pergerakan, hingga pengawasan.
Riset Manajemen Redaksi soal Pemberitaan Kekerasan Seksual
Dengan kondisi ini, maka penulis kemudian melakukan penelitian pada Konde.co mengenai bagaimana memanajemen redaksi dalam memberitakan isu kekerasan seksual.
Secara keseluruhan, Konde.co menerapkan pemberitaan yang memihak korban dalam manajemen redaksi saat memberitakan isu kekerasan seksual. Ini menjadi penting sehingga dapat menjadi sarana bagi korban dalam memperjuangkan keadilannya. Poin penting dalam perspektif berpihak pada korban adalah memberikan perlindungan terbaik bagi korban.
Tahap perencanaan, menjadi awal dimulainya proses produksi pemberitaan kekerasan seksual. Pelaksanaan perencanaan pemberitaan kekerasan seksual di Konde.co dilakukan dengan memerhatikan kesiapan korban kekerasan seksual yang menjadi narasumber. Selain itu, juga konsensus dari korban sangat diperhatikan dalam tahap perencanaan ini. Di samping kesiapan, Konde.co juga menentukan pemberitaan harus berperspektif korban.
Di tahap pengorganisasian, setiap jurnalis Konde.co berkesempatan untuk meliput isu kekerasan seksual, setiap jurnalis telah dibekali training internal terkait bagaimana jurnalis memberitakan sesuai dengan perspektif yang diusung Konde.co.
Baca Juga: Media Diharap Kontribusinya, Sayang Malah Langgengkan Kekerasan Perempuan
Pada tahap pergerakkan, berdasarkan penelitian, Konde.co melakukan wawancara dan riset dokumentasi untuk mengumpulkan materi pemberitaan kekerasan seksual. Konde.co membangun ruang aman bagi korban saat melaksanakan wawancara, menyajikan pemberitaan kekerasan seksual sesuai dengan pedoman.
Seperti tidak menunjukkan identitas korban secara terbuka dan tidak memuat gambar pendukung berita yang terkesan menunjukkan korban lemah, serta melakukan pengecekan tulisan berita sebelum publikasi pada korban atau narasumber untuk menghindari terjadinya kesalahan penulisan. Pada tahap pengawasan dilakukan pemantauan terhadap korban setelah berita kekerasan seksual terpublikasi.
Selain itu, dilakukan pula pemantauan pada pemberitaan guna melihat adanya kesalahan penulisan, sehingga Konde.co dapat segera memperbaiki. Konde.co juga mengadakan evaluasi mingguan untuk mengontrol progres pemberitaan dan kinerja jurnalis.
Untuk mengantisipasi adanya serangan, Konde.co senantiasa menerapkan Kode Etik Jurnalistik dan pedoman pemberitaan kekerasan seksual, seperti croscheck, cover both side, memfasilitasi adanya hak jawab.
Konde,co juga memperhatikan keamanan jurnalis yang meliput pemberitaan kekerasan seksual, yaitu melakukan riset lokasi, menyimpan kontak darurat, menentukan batasan dengan narasumber, serta mengunci akun sosial media setelah terpublikasinya pemberitaan dirasa mengancam jurnalis.
Baca Juga: Pemberitaan Kekerasan Seksual: Antara Sensasionalisme dan Kritik-Otokritik
Konde melakukan mitigasi terhadap serangan digital, yaitu dengan IT internal yang berusaha memperbaiki website setelah adanya serangan, serta memperkuat web hosting. Tak hanya itu, Konde.co juga menjalin relasi dengan jaringan pers sebagai perlindungan jika terdapat serangan media.
Media telah mengupayakan memproduksi pemberitaan kekerasan seksual yang memihak pada korban dan mengantisipasi adanya serangan terhadap pemberitaan. Laporan penelitian milik Triantono dkk menunjukkan, pemberitaan kekerasan seksual dapat menjadi kontribusi yang dapat mengonstruksikan narasi publik yang sadar dengan realita mengenai kekerasan seksual.
Oleh karena itu, dari berbagai data yang penulis temukan dalam penelitian, sudah seharusnya masyarakat tidak menganggap tabu pemberitaan kekerasan seksual. Melalui pemberitaan kekerasan seksual yang mengutamakan keberpihakan pada korban, masyarakat diharapkan lebih melihat realita yang terjadi sehingga tidak mudah memberikan penghakiman untuk korban.
Dengan ini juga, kebebasan pers dapat lebih dijunjung dalam memberitakan isu sensitif seperti isu kekerasan seksual, sehingga pers dapat memberikan pengaruh pada perubahan sosial yang lebih baik lagi bagi korban.