Girl’s Talk: Dokumenter Waktumu Untuk Bersuara, Perempuan Muda!

Film Dokumenter “Saatnya Orang Muda” Karya Anggun Pradesha adalah film pendek sederhana tapi manis. Obrolan para perempuan muda tentang tubuh dan seksualitas ini serasa Girls’ Talk, obrolan 'ringan' tapi berisi.

Film dokumenter pendek yang diunggah melalui platform media sosial pada 30 November 2020 ini merupakan karya dari Anggun Pradesha yang didukung Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia/ PKBI. Film menceritakan 6 perempuan yang sedang berlibur di tempat sepi, jauh dari kebisingan.

Tepatnya di tepi danau. Disinilah cerita girls’ talk 6 perempuan dimulai. 3 muda belia dan yang 3 yang tak lagi muda belia, mereka bercerita soal pengalaman mereka. Film ini menceritakan tentang obrolan santai ke enam perempuan dengan pembahasan yang dikemas secara ringan tentang seputar seksualitas dan kekerasan seksual.

Pembicaraan awal dibuka oleh Riska yang bicara tentang kekagumannya pada anak muda zaman sekarang yang punya pengetahuan dan pengalaman serba luas

“Aku seumuran mereka berpikir, aku ngapain yah dulu itu? di masa itu ya aku pacaran, main, bucin, agak beda dengan anak muda sekarang yang sudah mikirin orang lain.  Tapi karena dari pengalaman tersebut, aku juga jadi tahu loh, jenis-jenis kekerasan seksual yang toksik yang seperti apa, jadi bisa berbagi pengalaman sama teman-teman yang muda.”

Selanjutnya salah satu dari mereka, Nana bicara soal tubuh perempuan, tentang bagaimana orang yang mempunyai tubuh berisi, jika memakai tank top dianggap seksi dan menjadi bahan perbincangan, padahal ini adalah hal yang biasa.

Anggun Pradesha menanggapi  tentang patung-patung dan lukisan yang ada di masa Yunani kuno yang digambarkan punya tubuh berisi atau padat karena merupakan lambang dari kesuburan.

“Padahal dulu badan itu berisi ya, sekarang penilaian sudah berubah lagi.”

Ini menunjukkan bahwa tubuh perempuan selalu jadi bahan penilaian, walau penilaian ini berubah-ubah sesuai zaman dan konstruksi berpikir orang. Dan ini yang selalu membuat perempuan tak nyaman karena tubuhnya selalu jadi bahan perbincangan dan penilaian.

Balik lagi ke anak muda, diceritakan oleh Nana yang melihat banyaknya kiprah anak muda sekarang.

“Aktivisme di global ini yang memipin anak muda, anak muda selain bisa programatik  juga tahu isu ini akan di bawa kemana kedepannya, mereka tahu ini.”

Itu cerita 3 perempuan yang digambarkan tak lagi muda, mereka ingin menunjukkan banyaknya kiprah anak-anak muda yang dilakukan di masa sekarang

Selanjutnya 3 anak (yang lebih) muda yang terdiri dari Erina, Inayah dan Yuman berbincang tentang kekerasan seksual. Obrolan ini dilakukan di tepi danau dengan lanskap pemandangan menyejukkan. Mereka bertiga duduk di atas batang pohon kayu yang telah tumbang dan kering, ini menambahkan kesan kenyamanan mereka untuk ngobrol

Perbincangan di awali oleh Erina, Erina adalah relawan yang belum lama bergabung dengan Lembaga PKBI, dia menceritakan jika dia bertemu orang baru atau tempat baru, dia akan menemukan banyaknya cerita kekerasan seksual, kekerasan fisik dari keluarga dan biasanya yang menjadi korban perempuan

Korban yang mengalami kekerasan biasanya memilih diam. tanpa sadar pihak ketiga bisa menjadi pelaku

“Tuh, kan akibat gini-gini makannya mereka jadi kaya gitu,” Kata Inayah

Kekerasan bisa verbal, bisa psikis, terkadang mewajarkan mereka karena keluarga ataupun pacar seolah melegalkan ini.

“Sudah seharusnya pengetahuan tentang kekerasan itu merata, hal yang seperti itu tidak boleh dilakukan,” kata Yumna

Erisa berkata bahwa korban yang terdapat di desa terkadang melihat hal tersebut merupakan hal yang wajar.

“Stigma itu kadang juga datang dari tetangga, dan itu merupakan hal yang berat,” Kata Yumna

Quotes dari 6 orang perempuan yang sedang berlibur ini “kita serupa, tetapi berbeda, bebaskan ekspresimu!.”

Film ini digarap secara sederhana dan menarik, obrolan di tepi danau dengan pemandangan yang asyik, layaknya girls’ talk, ‘ringan” tapi berisi.

(Foto: Anggun Pradesha)

Osi NF

Designer grafis. Menyukai hal-hal baru dan belajar di media online sebagai tantangan awal. Aktif di salah satu lembaga yang mengusung isu kemanusiaan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!