Ada UU Perlindungan Pekerja Migran, Namun Posisi Perempuan Pekerja Migran Justru Melemah

Upaya pelindungan pada perempuan buruh migran yang dilakukan oleh pemerintah justru semakin melemah setelah 3 tahun UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia/ PPMI disahkan.

Solidaritas Perempuan menunjukkan, bahwa hal ini terjadi karena bentuk ketidakseriusan pemerintah dalam menjalankan International Convention on the Protection of the Rights of Migrant Workers and Members of Their Families (Konvensi Migran 1990) dan General Recommendation CEDAW No. 26 on Women Migrant Workers yang telah diratifikasi.

Hal ini terungkap dalam konferensi pers yang dilakukan Solidaritas Perempuan melalui daring pada 23 November 2020.

Sebelumnya, Undang-Undang No 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) telah disahkan pada 22 November 2017 sebagai pengganti Undang-Undang No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN) dengan semangat mewujudkan reforma tata kelola migrasi dan sistem perlindungan bagi buruh migran. Namun setelah 3 tahun disahkan, Pemerintah belum memberikan perlindungan yang signifikan terhadap pekerja migran, terutama perempuan yang mayoritas bekerja di sektor paling rentan. 

Solidaritas Perempuan mencatat sejak 2015 hingga 2019 menangani 255 kasus perempuan buruh migran yang mengalami kekerasan berlapis dan pelanggaran hak di setiap proses migrasi, baik dari pra penempatan, penempatan, maupun pasca penempatan. Hal ini tentu masih menjadi persoalan bagi perempuan buruh migran, terlebih mereka yang bekerja di sektor rentan sebagai pekerja rumah tangga.

Alih-alih diperkuat untuk memastikan perindungan maksimal bagi buruh migran, sejumlah langkah negara justru melemahkan implementasi UU PPMI.

Hal ini setidaknya terlihat pada belum selesainya pemerintah menyelesaikan aturan pelaksana yang dimandatkan oleh UU PPMI meski sudah lewat waktu. Tak hanya itu, dengan dalih simplifikasi, pemerintah justru memangkas 28 aturan pelaksana menjadi 13 aturan pelaksana saja.

Langkah tersebut tentu sangat disayangkan mengingat aturan pelaksana merupakan instrumen yang penting dalam mengimplementasikan semangat perlindungan yang terkandung di dalam UU PPMI.

Dipaparkan oleh Avyanthi Azis, akademisi dari Universitas Indonesia, bahwa pentingnya aturan pelaksana adalah perlu adanya penerjemahan asas-asas yang terkandung di dalam Undang-Undang dengan pedoman yang lebih konkret.

Situasi sulit yang dihadapi oleh perempuan buruh migran juga diperburuk dengan pandemi Covid 19 yang memperjelas bahwa tata kelola migrasi di Indonesia sangatlah carut marut. Dalam proses keberangkatan banyak sekali buruh migran tidak bisa berangkat dan tidak ada jaminan dari pemerintah untuk alternatif penghidupan yang lain. Mekanisme keberlanjutan proses migrasi ini di tengah pandemi itu juga masih masih menjadi tanda tanya.

“Saya kurang melihat upaya pemerintah untuk benar-benar melaksanakan prinsip-prinsip yang sudah dijanjikan di dalam UU. Padahal mereka harus benar-benar bertanggung jawab sampai ke detailnya, dari aturan yang paling besar hingga yang paling teknis,” tegas Avyanthi.

Perempuan buruh migran juga masih terbelenggu oleh kebijakan diskriminatif, yaitu Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Pada Pengguna Perseorangan di Kawasan Timur Tengah.

Kebijakan tersebut semakin mempersempit mobilitas perempuan untuk mendapatkan kesejahteraan itu. Hal ini melanggar hak mobilitas bagi buruh migran sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 8 Konvensi Migran 1990,1 maupun rekomendasi CEDAW No. 26. Tak hanya itu, kebijakan tersebut justru menambah kompleksitas persoalan yang dialami perempuan buruh migran termasuk kerentanan terhadap trafficking.

Martini, seorang perempuan buruh migran yang diberangkatkan secara unprosedural dan mengalami trafficking pasca Kepmen 260/2015 ini diberlakukan. Kepmen ini menjadi bermasalah ketika terus diberlakukan di tengah situasi pemiskinan dan kebutuhan akan lapangan pekerjaan. Banyak buruh migran yang tidak mengetahui perihal kebijakan ini dan berangkat ke Timur Tengah karena membutuhkan pekerjaan.

Dijanjikan bekerja sebagai pramusaji di Turki, namun Martini diberangkatkan ke Libya, untuk menjadi Pekerja Rumah Tangga/ PRT secara unprosedural. Martini pun harus berjuang untuk bisa pulang ke Indonesia dan menuntut keadilan.

Meski pelaku pemberangkatan Martini secara unprosedural yang penuh iming-iming dan manipulasi ini telah diputus melakukan tindak pidana perdagangan orang, namun hingga kini hak restitusi yang menjadi hak Martini masih tidak kunjung dipenuhi.

“Benahi lagi pelindungannya! Kok bisa masih kejebolan,” tegas Martini.

Kepada pemerintah, Martini juga berpesan, “Ciptakan lapangan pekerjaan bagi buruh migran yang tidak bisa bekerja ke luar negeri.”

Situasi yang menghimpit ini juga dialami perempuan buruh migran di Palu. Disampaikan oleh Ida Ruwaida, Ketua BEK Solidaritas Perempuan Palu, bahwa kurangnya lapangan pekerjaan terutama paska bencana membuat perempuan kesulitan dalam mengakses ekonomi. Hal ini berdampak terhadap pilihan perempuan untuk bermigrasi yang mana merupakan alternatif beresiko mengalami kekerasan karena tidak ada proses pengawasan dan pelindungan.

Hal ini merupakan akibat dari lemahnya regulasi yang melindungi perempuan buruh migran. Saat ini, Solidaritas Perempuan Palu tengah berjuang untuk mendorong Peraturan Daerah pelindungan bagi perempuan buruh migran dan keluarganya di Kabupaten Sigi.

“Kabupaten Sigi memberangkatkan 1310 orang sebagian besar adalah perempuan. Di situasi saat ini perempuan mengalami kekerasan dari mulai perekrutan hingga kepulangan. Sementara satgas yang dibentuk di sini tidak berfungsi, tidak implementatif. Kalau ada kasus baru cari,” papar Ruwaida.

Pada situasi belum terwujudnya kepastian hukum terkait sistem perlindungan bagi perempuan buruh migran, Pemerintah justru melahirkan UU Cipta Kerja yang mengganggu sistem perlindungan yang di atur di dalam UU PPMI.

Arie Kurniawaty, Koordinator Program Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan menegaskan bahwa Omnibus Law UU Cipta Kerja mengacaukan sistem perizinan dan fungsi pengawasan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran (P3MI). Padahal selama ini P3MI merupakan aktor dominan dalam kasus-kasus pelanggaran hak buruh migran terutama pada sektor perseorangan yang mana sebagian besarnya adalah perempuan. Termasuk perubahan sistem perizinan P3MI yang dikaburkan dengan hanya menyebutkan Pemerintah Pusat. Hal ini berimplikasi pada sulitnya masyarakat yang ada di daerah untuk mengawal dan melakukan intervensi ketika pemerintah daerah dilibatkan.

Jika sistem perizinan dan pengawasan terhadap P3MI dilemahkan, maka jaminan perlindungan bagi buruh migran terutama perempuan buruh migran semakin melemah. Di tengah kilatnya proses pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja, pemerintah memilih mengabaikan UU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga yang sudah 16 tahun lamanya diperjuangkan dan RUU PKS yang terus maju mundur tanpa kepastian padahal perempuan lebih mebutuhkan regulasi pelindungan tersebut.

“30 tahun Solidaritas Perempuan bersama perempuan melawan politik patriarki bahwa hari ini masih terus terjadi berbagai macam kekerasan, pelanggaran, ketidakadilan yang menimpa perempuan buruh migran, sementara negara justru sibuk memfasilitasi investor, sibuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mengendalikan otoritas tubuh perempuan dan mengesampingkan mandat yang diberikan oleh rakyat,” tegas Arie.

Apa yang kita saksikan hari ini, bukan hanya absennya negara untuk hadir dan melindungi warga negaranya, melainkan pelemahan atas upaya perlindungan perempuan buruh migran oleh negara.

Harapan yang terbit 3 tahun lalu dengan lahirnya UU PPMI justru dilucuti. Nyatanya, sampai hari ini perempuan buruh migran terus berada dalam situasi rentan terhadap kekerasan dan perlindungan hak. Lemahnya komitmen negara tersebut, telah menegasikan lebih dari 10 tahun perjuangan buruh migran bersama gerakan sosial lainnya dalam mendorong kebijakan perlindungan pekerja migran yang komprehensif.

Foto/ Ilustrasi: Pixabay

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!