Dua peneliti Asia Monitor Resource Centre, Astika Andriani dan Rizal Assalam mengeluarkan riset terbaru mereka tentang kerentanan buruh perempuan yang bekerja di pabrik elektronik Malaysia dan Indonesia.
Dalam riset tersebut, Astika dan Rizal meneliti empat perusahaan yang terdiri dari dua perusahaan di Malaysia (Viscosen Sdn. Bhd. dan Manekin Sdn. Bhd.) dan dua perusahaan di Indonesia (PT Tripletronics Indonesia dan PT Athens Indonesia). Penelitian tersebut mereka lakukan sejak November 2019 hingga Maret 2020.
Riset ini dilakukan untuk melihat bagaimana perusahaan melindungi Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) para buruh
“Latar belakang kami melakukan riset ini karena proteksi terhadap perlindungan K3 buruh itu kurang, terutama di industri elektronik, jarang berorientasi pada pemenuhan hak pekerja,” ujar Astika saat dihubungi Konde.co, Rabu (24/02/2020).
Astika mengatakan, kebanyakan penelitian K3 menggunakan perspektif yang menyalahkan ketidakdisiplinan buruh saat bekerja, dan tidak melihat K3 sebagai permasalahan struktural.perusahaan
Isu perlindungan buruh pada perusahaan elektronik, kata Astika, memang sedang hangat dibahas, tapi kebanyakan pembahasan hanya berfokus di negara Asia Timur seperti Cina dan Taiwan, sedangkan di Asia Tenggara masih minim dibahas
“Nah, di Asia Tenggara itu pabriknya di rantai pasok bawah. Indonesia dan Malaysia memang hanya rantai pasok bawah, tidak setinggi Cina dan Korea, tapi tidak pernah dibahas. Padahal industri elektronik Malaysia dan Indonesia ini berkembang,” tutur Astika.
Dalam riset ini, Astika dan Rizal melakukan wawancara terhadap 27 pekerja dan serikat pekerja. Selain melakukan wawancara, mereka juga melibatkan para pekerja untuk melakukan investigasi terhadap masalah K3 tersebut.
Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa pabrik-pabrik elektronik tersebut tidak memberikan informasi detail mengenai bahaya dari penggunaan bahan kimia di perusahaannya. Ada beberapa bahan kimia yang digunakan dalam produksi di pabrik seperti toluene, ethyl alcohol, methyl ethyl ketone (MEK), nitric acid, dll.
Rendahnya informasi yang diberikan oleh perusahaan kepada buruh pabrik elektronik tentang bahan kimia berbahaya yang digunakan ini berpengaruh terhadap tingkat kehati-hatian pekerja.
“Ada sebuah pabrik elektronik yang di Indonesia, ketika pekerjanya dikasih bahan kimia, mereka tidak diberi informasi tentang nama bahan kimia, bahayanya apa, itu enggak dikasih tahu. Jadi misalnya risiko bahan kimia bikin pusing. Mereka tahunya berdasarkan pengalaman. Dalam riset ini, banyak pekerja yang cerita, mereka kadang pusing karena menghirup bahan kimia seharian,” ungkap Astika.
Selain informasi tentang K3 yang buruk, perusahaan pabrik elektronik tersebut juga tidak mematuhi regulasi yang berlaku di Indonesia. Sebagai contoh, Astika menyebutkan tentang check up yang seharusnya dilakukan di awal masuk kerja, di tengah, dan di akhir. Nyatanya, tes medis di awal sering diabaikan. Padahal, tes medis yang diberikan di awal dan dilakukan secara berkala tersebut bisa digunakan untuk mendeteksi dampak kesehatan akibat bekerja di perusahaan tersebut.
Astika pun mengatakan bahwa perusahaan yang Ia teliti seringkali tak memberikan hasil tes medis dari karyawannya. Perusahaan berdalih, mereka telah membayar pemeriksaan medis tersebut. Sayangnya, rumah sakit swasta yang bekerja sama dengan perusahaan untuk melakukan tes medis menganggap lumrah hal yang dilakukan oleh perusahaan.
“Lalu di tengah employment yang kadang ada kadang enggak ini, tes medis tidak berbasis occupational. Artinya begini, para buruh ini kan kerjanya bersinggungan dengan bahan kimia yang berbahaya, seharusnya tes medis yang dilakukan bukan tes medis basic, tapi harus ada pemeriksaan khusus,” tutur Astika.
“Akhirnya sulit bagi pekerja untuk membuktikan penyakit itu penyakit akibat kerja karena di awal masa kerja dan selama masa kerja ga ada medical check up, jadi tidak tahu kapan penyakit ini muncul,” tambahnya.
Buruh Perempuan Rawan Keguguran dan Kanker
Dalam riset ini, Astika dan RIzal menemukan banyaknya kasus keguguran yang dialami oleh para buruh perempuan. Sayangnya, kasus itu tidak terdokumentasi dengan baik.
Salah satu kasus keguguran pada pabrik elektronik yang pernah dicatat oleh Astika yakni kasus keguguran di sebuah perusahaan elektronik di Purwakarta. Kala itu, perusahaan mengatakan bahwa mereka sudah pernah melakukan investigasi, tapi tak pernah ada transparansi soal ini ke pekerja.
Selain kasus keguguran, Astika dan Rizal juga menemukan banyaknya buruh perempuan yang mengalami kanker serviks pada sebuah perusahaan di Malaysia. Namun karena tak ada pencatatan medis yang baik, mereka tidak bisa menyimpulkan bahwa penyakit itu muncul sebagai dampak kerja.
“Menurut seorang dokter yang sering mengurus soal K3, buruh perempuan di Malaysia itu paling banyak kanker serviks, bahan kimia yang digunakan di pabrik tersebut mungkin bukan penyebab utama dari kanker, tapi meningkatkan risiko,” kata Astika.
(Foto/ ilustrasi: Pixabay)