Film “Invisible Hopes”: Cerita Para Perempuan Yang Melahirkan di Penjara

Sebuah film berjudul “Invisible Hopes” karya Lamtiar Simorangkir diputar perdana secara terbatas pada 19 Februari 2021 di Jakarta. Film menceritakan perjuangan para ibu yang melahirkan anak-anak mereka di dalam penjara

Bagaimana jika dalam kondisi hamil, perempuan narapidana harus hidup dalam penjara? Bagaimana para perempuan ini melahirkan dan membesarkan anak-anak mereka di dalam penjara? Inilah yang mendasari Lamtiar Simorangkir membuat film “Invisible Hopes” karena ternyata banyak anak yang lahir dan dibesarkan di dalam penjara

“Awalnya kami tidak tahu, dan ketika baru tahu bahwa ternyata banyak anak yang lahir dan dibesarkan dalam penjara, kami sangat kaget. Buat kami itu tidak adil. Anak-anak itu seharusnya hidup bebas dan bahagia, mendapatkan haknya sama seperti anak lainnya, sama seperti kami waktu kecil. Itu yang mendorong kami untuk membuat film “Invisible Hopes”,” kata Lamtiar Simorangkir, sutradara Film “Invisible Hopes” sesaat setelah pemutaran terbatas film tersebut pada 19 Februari di Jakarta

Lamtiar melanjutkan ceritanya,” bukan dalam rangka menjelek-jelekkan siapapun. Kami sebagai filmmaker melakukan apa yang kami mampu, semoga film ini dapat dipakai untuk alat raising awareness, untuk bahan diskusi supaya ada sebuah solusi yang lebih baik bagi anak-anak dan ibu hamil dalam penjara,” demikian Lamtiar Simorangkir

Acara tersebut dilakukan dalam rangka rilis terbatas film “Invisible Hopes” hanya kepada kalangan yang dianggap bersinggungan langsung dengan isi dalam film tersebut untuk menghasilkan rekomendasi-rekomendasi yang dapat di follow up bersama untuk perbaikan kondisi para anak-anak yang lahir dari ibu narapidana dan terpaksa hidup dalam penjara

Film” Invisible Hopes” yang di sutradarai dan produseri oleh Lamtiar Simorangkir merupakan hasil produksi komunitas Lam Horas Film. Lamtiar membuat film secara kolaboratif dan dengan pembiayaan kolaboratif juga. Menurut Lamtiar, project Invisible Hopes dimulai hanya dengan dua orang, dia dan seorang temannya yang berperan sebagai sinematografer.

Awalnya akan dibuat hanya menjadi sebuah film pendek untuk menginformasikan kepada masyarakat bahwa ada anak yang lahir dan hidup dibalik jeruji penjara, namun dalam proses pembuatannya berkembang menjadi sebuah film panjang. Untuk dapat menyelesaikan proses paska produksi mereka mendapatkan support funding dari Kedutaan Besar Swiss dan Norwegia.

Anggota Komisi Ombudsman, Ninik Rahayu menyatakan film ini bisa membingkai bagaimana kondisi perempuan dan anak-anak saat ini, perempuan ternyata hanya punya tubuh, tapi tidak punya kuasa.

“Saya melihat mba Tiar (nama panggilan Lamtiar Simorangkir) dan teman-teman ini punya passion yang tinggi, tidak banyak yang memiliki kerja-kerja professional di film mendokumentasikan hal-hal yang seperti ini. Ini resikonya besar buat dia dan teman-teman tim, tapi dia ambil itu. Kesulitannya bukan hanya besar tapi besar sekali! Tapi dia ambil itu. Duitnya gak ada, cuma punya kemauan. Nah, kemauan inilah yang kemudian kita semua tadi melihat film ini tanpa narasi pun sudah kelihatan apa sih yang mau dipotret. Substansinya sangat banyak sekali,” kata Ninik Rahayu

“Saya berharap pimpinan dari pemerintah yang hari ini hadir bersedia mengkomunikasikan dengan pimpinan yang tertinggi kepada pak Menteri dan mendialogkan dengan kementerian lembaga terkait, setidaknya kepada Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mereka harus melihat film ini. Ini bagian kecil yang tadi di potret tapi persoalan besar bangsa ini. Tahap berikutnya mesti ngajak menonton film ini aparat penegak hukum kita, kepolisian, kejaksaan, Mahkamah Agung dan BNN.”

Putu Elvina, komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan beratnya beban narapidana perempuan serta anak-anak mereka yang hidup di dalam penjara

“Selama penayangan betul kita menguras airmata. Lalu kemudian kita akan mengingat apa yang terjadi betapa beratnya perjuangan seorang narapidana perempuan kemudian bayi mereka ikut berada di dalamnya. Berbagai hak-hak narapidana perempuan termasuk anak yang mereka kandung dan lahirkan itu merupakan bagian -bagian dari hak-hak perempuan dan anak yang harus kita perjuangkan. Beberapa hak memang kalau kita lihat di film tersebut banyak hak-hak mereka yang terampas atau tidak diperoleh dengan baik. Tentu saja dalam momen ini kami memberikan rekomendasi, mohon agar Direktorat Jenderal Pemasyarakatan bisa kemudian melihat kembali upaya-upaya untuk memperbaiki kondisi narapidana atau tahanan serta anak-anak yang berada disitu” demikian ungkap Putu Elvina

Komnas HAM oleh komisionernya, Sandrayati Moniaga menyampaikan film “Invisible Hopes” merupakan film kemanusiaan yang sangat penting.

“Saya rasa ini satu terobosan yang menarik yang mungkin bisa didiskusikan bapak ibu di Ditjendpas dan pak menteri tentang bagaimana peran pembuat film, bagaimana peran kamera dan orang-orang dibalik kamera itu untuk merekam situasi yang sesungguhnya di dalam Lembaga Pemasyarakatan maupun tahanan. Kami misalnya di Komnas HAM, paling kita bisa memantau sehari atau dua hari itupun hanya ketemu beberapa orang itupun kadang diatur ketemunya dengan siapa, tapi untuk mengetahui situasi didalam itu jauh dari kemungkinan. Saya rasa film ini bisa menunjukkan kekuatan dari pembuat film, peran strategis dari para pembuat film dokumenter untuk membantu kita memahami persoalan sesungguhnya dan kemudian memikirkan solusi-solusi yang lebih pas dibandingkan kalau kita hanya datang hit and run,” sambung Sandra Moniaga

Kementerian Hukum dan HAM yang diwakili Direktur Pembinaan Narapidana dan Latihan Kerja Produksi, Thurman Hutapea menyatakan merasa miris melihat kondisi yang ada di dalam film yang ini merupakan tanggungjawab pemerintah dan semua pihak untuk melakukan perbaikan

“Rutan dan Lapas saat ini berlomba-lomba untuk memperbaiki. Tapi ini masukan yang berharga untuk koreksi kami ke depan. Kalau kita bicara tentang pelaksanaan apa yang disampaikan oleh bu Ninik sebagai institusi yang berperan aktif melakukan pengawasan terhadap jajaran kami, kami miris sebenarnya, kenapa? Tanggungjawab untuk pembinaan narapidana yang ada itu bukan tanggungjawab kami semata. Itu seluruh komponen. Kami kan muara paling akhir di dalam proses penegakan hukum”.

Dalam diskusi juga terpapar pentingnya Kemenkumham untuk memimpin dan mengagendakan dialog yang serius antar lintas kementerian untuk membuat kebijakan-kebijakan pemenuhan HAM di dalam penjara terutama untuk perempuan dan anak.

Kedua, perlu ada reformasi criminal justice system baik dalam proses peradilan maupun pendampingan hukum, juga membuat pola edukasi yang membuat koreksi agar kehidupan warga binaan mempunyai kehidupan sosial yang lebih normal.

Film “Invisible Hopes” sendiri akan dirilis resmi ke publik dengan melakukan premier pada awal bulan April 2021 mendatang.

Poedjiati Tan

Psikolog, aktivis perempuan dan manager sosial media www.Konde.co. Pernah menjadi representative ILGA ASIA dan ILGA World Board. Penulis buku “Mengenal Perbedaan Orientasi Seksual Remaja Putri.”
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!