Dalam bulan Maret 2021 ini, Golkar sudah 2 kali memberikan pernyataan yang mendiskriminasi perempuan.
Pernyataan pertama dari Firman Soebagyo, Baleg DPR Fraksi Golkar tentang tidak perlunya UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) karena akan mematikan budaya gotong royong keluarga seperti dilansir dari newsmeter.id pada 10 Maret 2021, dan yang kedua tentang mengeluarkan biaya persalinan dari BPJS yang diungkapkan Komisi lX Partai Golkar, Darul Siska pada 17 Maret 2021 seperti dilansir dari cnnindonesia.com
Fraksi Golkar termasuk partai yang gencar menolak Perlindungan PRT karena dianggap belum dibutuhkan saat ini, mereka juga melihat, jika RUU ini disahkan, dikuatirkan akan menghilangkan hubungan kekeluargaan karena PRT biasanya bekerja di rumah majikan yang merupakan keluarganya sendiri atau masih mempunyai hubungan kekerabatan
Sejumlah aktivis buruh dan PRT memprotes, pernyataan ini dinilai sangat eksploitatif karena menyamakan hubungan kerja dengan hubungan kekeluargaan. Sesat pikir inilah yang selama ini menyebabkan eksploitase tenaga kerja yang dialami PRT
GERAK Perempuan, sebuah networking lembaga-lembaga dan serikat pekerja perempuan melihat, pernyataan ini menunjukkan para Politisi Golkar tidak paham tentang konstitusi, padahal sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi Anti Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), seharusnya mewajibkan adanya afirmasi atau special temporary measures untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan. Selain itu kebijakan juga harus berpihak pada minoritas seperti PRT dan perempuan
Jumisih, perwakilan dari GERAK Perempuan dalam pers release yang diterima Konde.co pada 21 Maret 2021 menyatakan, mencabut komponen biaya persalinan dari BPJS adalah sikap yang abai terhadap angka kematian ibu dan anak.
“Pada tahun 2017, Indonesia sudah menempati posisi tertinggi ketiga untuk angka kematian ibu dan anak di ASEAN. Menganggap RUU PPRT belum mendesak dibahas, jelas dapat menghambat langkah 5 juta PRT untuk bebas dari rantai kekerasan dan diskriminasi yang rentan mereka alami di dunia kerja,” kata Jumisih
Selain itu, pernyataan yang dikeluarkan oleh politisi Golkar juga melanggar sumpah dan janji Anggota DPR 2019-2024.
“Sebagai politisi yang diamanatkan untuk bersikap adil, mereka justru menunjukkan sikap sebagai agen perbudakan modern dan bentuk pengingkaran atas hak reproduksi buruh perempuan. Perlu diketahui bahwa kesehatan reproduksi perempuan sejatinya adalah basis kerja produksi, apabila itu diingkari maka akan mengganggu kerja-kerja produksi. Pekerja Perempuan yang sehat sangat berkontribusi untuk memajukan ekonomi dan kemajuan bangsa,” kata Jumisih
GERAK Perempuan melihat, sikap yang ditunjukkan oleh politisi Golkar tersebut merupakan ancaman serius bagi pekerja perempuan yang saat ini juga dirugikan dengan kehadiran UU Cipta Kerja.
Di tengah pandemi Covid-19, pemerintah pun berulang kali mengungkapkan kekhawatiran mereka terhadap sulitnya akses kontrasepsi. Hal ini akan semakin memperburuk kerentanan terhadap perempuan, khususnya di daerah terpencil
Selain itu, usulan dari Partai Golkar untuk mengeluarkan persalinan dari BPJS juga menambah beban perempuan korban kekerasan seksual yang hingga kini masih menanti pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
GERAK Perempuan mendesak agar pemerintah dan DPR RI mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, mempertahankan komponen biaya persalinan dalam BPJS, meratifikasi Konvensi ILO 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja dan mencabut UU 11/2020 Omnibus Law Cipta Kerja
(Foto/ ilustrasi: Pixabay)