Ilustrasi perempuan Kampung Periuk Malaysia

Pengalaman Perempuan di Kampung Periuk Malaysia, Terlupakan dari Narasi Perempuan

Aku ceritakan pengalamanku bersama para perempuan di Kampung Periuk, Malaysia. Mereka terlupakan di antara narasi-narasi yang mengabaikan perempuan.

Perjalananku membaca buku karya Michelle Zauner berjudul ‘Crying in H Mart’ dalam perjalanan pulang menuju kosan seperti mengajakku untuk berefleksi terhadap pengalamanku dengan UBI.my. 

Nyatanya aku tidak hanya menjadi volunteer di sana tetapi mereka menjebakku untuk ikut serta membongkar hierarki pengetahuan yang ada. Ini adalah cerita tentang pengalaman bersama ibu-ibu di Kampung Periuk. 

The Urban Biodiversity Initiative (UBI), atau jika diterjemahkan menjadi Inisiatif biodiversitas urban, merupakan kolektif independen di Kuala Lumpur, Malaysia, yang bergerak dalam penelitian ekologi dan eduksi lingkungan. 

Dalam pekerjaan itulah kami akhirnya bertemu dengan para perempuan di Kampung Periuk.

Di awal tahun 2023, kolaborasi pun dilakukan untuk menerapkan konten yang ada dalam Buku Jalanan Chow Kit (BJCK) berjudul “Kampung Periuk ke Univesitas Malaya.”

Dalam kegiatan di hari Minggu tersebut, UBI ingin mengajak peserta untuk mengeksplorasi dan belajar tentang sejarah bersama komunitas Kampung Periuk melalui eksplorasi tanaman obat di rimba ilmu, demo makanan, dan ngobrol santai saat makan siang.

“Ya ini merupakan salah satu bentuk diseminasi akan kerja-kerja kami dalam bidang kebun kota dengan BJCK,” kata Anushkaa sebagai koordinator kegiatan

Tur yang dilakukan setengah hari itu mengundang 9 ibu dari Kampung Periuk yang bergabung dengan program dari BJCK, dan mendapatkan 24 orang dari publik yang tertarik untuk belajar. 

Baca Juga: Ceritaku Datangi Kampung-Kampung di Jakarta: Pembangunan Maskulin Bikin Perempuan Jadi Miskin

Kerja kolaborasi ini memiliki tiga kegiatan utama, yaitu memasak dengan ibu-ibu Kampung Periuk, jalan-jalan ke hutan rimba ilmu, dan berdiskusi. Kegiatan memasak dan jalan-jalan ke hutan rimba ilmu berjalan beriringan karena mereka akan menutupnya dengan makan siang. 

Sebagai volunteer kegiatan, tugasku adalah membantu ibu-ibu untuk memasak. Kegiatan memasak dimulai pukul 7 pagi sampai 11 siang. Setelah pengenalan singkat dari 9 ibu-ibu, yang ternyata merupakan imigran dari Indonesia, mereka langsung memulai untuk bekerja. Ketika berkumpul jam 7 pagi, sepertinya ibu-ibu pun sadar bahwa sebagian besar dari kami belum akan sarapan, sehingga itu membuat mereka membawakan beberapa jajan, seperti karipap, kue bom atau onde-onde kalau di Indonesia. Bedanya kue bom isinya gula melaka dan parutan kelapa, sedangkan onde-onde isinya kacang hijau. 

Ketika mereka mempersiapkan tiga hidangan utama yaitu gulai ayam, ulam ubi, ulam; satu jajanan – lepat ubi, dan satu minuman, gabungan dari bunga telang dan lemon, saat itulah pembongkaran hirarki pengetahuan dimulai. 

Hal ini dimulai dari dominasi dari cara berpikir yang sudah melekat di dalam negara. Menurut Kothari (2005), ini muncul dan hanya berfokus pada paradigma pengembangan ekonomi neoliberal. Dalam pandangan itu, narasi atau sudut pandang dari kelompok minoritas dibungkam oleh kekuasaan, salah satunya melalui Bahasa. 

Contohnya di Malaysia yang memiliki tiga fokus utama, mereka akan menggunakan bahasa sesuai dengan  etnisitas mereka untuk berkomunikasi dengan bahasa Melayu, Mandarin, Hindi, dan bahasa inggris. Sedangkan Indonesia tetap akan menggunakan bahasa Indonesia walaupun memiliki suku etnis yang lebih banyak. 

Baca Juga: Seperti Pulang ke Kampung Halaman: Pengalamanku Datang ke Kafe Uma Oma yang Pekerjakan Lansia

Pembangunan ekonomi yang terjadi di Malaysia memaksa semua warga negaranya harus familiar menggunakan bahasa Inggris dibanding bahasa-bahasa lainnya.

Walaupun demikian, ibu-ibu dari Kampung Periuk mendobrak itu dengan berkomunikasi menggunakan bahasa campur-campur. 

Ketika memasak, mereka akan berbicara, berteriak untuk meminta bantuan atau hanya bergosip dengan bahasa campuran bahasa Indonesia dan Melayu. Beberapa dari mereka bahkan menggunakan bahasa Jawa setelah mengetahui etnisitas beberapa orang. 

Keadaan itu rasanya sangat kontradiktif dengan peserta yang beberapa mereka memiliki rambut pirang, mata biru, dan rambut keriting. Mereka harus terpaksa menggunakan bahasa inggris yang patah-patah untuk bertanya pada ibu-ibu dari Kampung Periuk. 

Akhirnya, sebagian besar dari mereka hanya bisa mengucapkan salam. Sedangkan untukku, yang masih kurang memahami bahasa Melayu, akhirnya membuatku harus menerka-nerka nama masakan. 

Mendengar pertanyaanku pun membuat ibu-ibu itu tertawa terbahak-bahak sebelum menjelaskannya padaku atau memberitahuku tentang istilah atau nama makanan dalam bahasa Indonesia.   

Kemudian aku pun menyaksikan pertukaran pengetahuan melalui aktivitas memasak. Dengan menggunakan bahasa yang campur aduk, ibu-ibu itu pun saling meminta tolong untuk memotong, mencuci, mengupas, dan membersihkan bahan-bahan makan. 

Baca Juga: Edisi Khusus Perempuan Muda dan Keberagaman: Ini cerita tentang Tionghoa di Kampung Halamanku

Percakapan mereka terdengar seperti ini:

“Ini butuh garam.”

“Mana garam?”

Dan kemudian satu ibu menjawab,” Iya e, aku gak ngerti kenapa garam di Malaysia itu ndak asin.”

“Kamu pikir sekarang jadi manis gitu?” Dan semua pun tertawa

“Udah kutambah garam. Coba rasa.”

“Ya cukuplah.”

“Eh, keasinan sekarang.”

“Ah, gak, ini gak asin.”

Di saat yang bersamaan, ibu-ibu itu pun kadang akan memanggilku untuk memintaku membantu mereka “harus belajar buat ini” ini mereka katakan sambil melipat daun pisang ketika membuat lepat ubi. 

Baca Juga: Edisi Khusus Perempuan Muda dan Keberagaman: Cara Minoritas Tionghoa Rawat Keberagaman di Kampung Kami

Beberapa akan mengoreksi jika aku salah dalam melipat daun pisang. Mereka pun tidak enggan memberikan pujian ketika aku melakukannya dengan benar, “wah, kamu belajar sangat cepat,”kata mereka. 

Proses itu pun membuatku tersadar bahwa kelekatan mereka dengan dapur dan makanan menjadi alat mereka untuk berbagi pengetahuan. Hal itu pun bukan sesuatu yang muncul dalam ilmu pengetahuan yang dominan, tetapi dari rasa mereka ketika berinteraksi dengan dapur dan makanan. 

Pengalaman lain pun muncul ketika mereka memasak gulai ayam. Mereka mulai menuangkan 10 bungkus santan kedalam panci yang sudah berisi ayam. Ketika sampai di bungkus ke-4, akupun berteriak “lagi?,” karena untukku itu sepertinya sudah cukup, tetapi satu ibu menjawabku. 

“Iya! Kamu gak lihat jumlah ayamnya? Kita akan kasih makan untuk 20 orang. Rasionya harus 1:1, jadi tambah lagi.” 

Dia pun menengok ke kawannya untuk menuangkan santan lagi. 

Selanjutnya, proses pembongkaran hirarki pengetahuan juga terjadi ketika peserta berjalan-jalan di hutan rimba ilmu untuk dijelaskan tentang tanaman obat dan berdiskusi. Walaupun aku tidak mengalaminya langsung tetapi satu volunteer bercerita menariknya percakapan ini.

“Ini sangat menarik, kau tau? Salah satu ibu dari Kampung Periuk mampu menjelaskan semua tanaman obat yang tadi kami lewati dengan sangat lengkap. Dia menceritakan bahwa ia menggunakannya di Indonesia untuk mengobati penyakit. Mereka juga mengetahui banyak hal yang kami pun tidak tahu. Sebagai alumni dari fakultas kehutanan pun aku tidak tahu. Wow.”

Baca Juga: The Voice: Ini Cerita Kami, Para Penggerak Perempuan Adat di Kampung

Setelah acara diskusi pun aku mendengar cerita dari partisipan.

“Ini adalah cara yang menarik untuk melarikan diri dari aktivitas harianku. Kembali ke alam. Aku pun sangat menyukai aktivitas bersama ibu-ibu. Aku rasa aku tidak mempelajari ini sebelumnya, tapi mereka tahu hampir semua tanaman yang ada disi. Tidak hanya nama tapi juga fungsinya”

Proses refleksif melalui ibu-ibu dari Kampung Periuk

Ruang yang diciptakan bersama ibu-ibu dari Kampung periuk merefleksikan tentang praktik dari dominasi pengetahuan yang ada. 

Dalam gerakan feminis, hal itu pun menjadi perhatian untuk menciptakan ruang bagi kelompok minoritas, termasuk perempuan. Itu menjadi penting terutama karena obrolan yang mainstream atau yang banyak dibicarakan masih sering melupakan adanya ketidaksetaraan gender. 

Aplikasinya dalam kebijakan nasional dan/ atau internasional terkadang masih melupakan posisi dan kebutuhan perempuan dan kelompok minoritas. Sebaliknya, inisiator dari kegiatan “Kampung Periuk ke Universiti Malaya” menyadari dan menawarkan cara berpikir alternatif.

“Kami ingin memberikan ruang pada mereka (ibu-ibu Kampung Periuk), karena kami tahu mereka memiliki pengetahuan itu. Kami juga ingin membuat masyarakat menjadi sadar bahwa pengetahuan tentang tanaman obat tidak hanya dari buku atau peneliti. Ibu-ibu yang merupakan imigran dari Indonesia lebih tahu dari siapapun karena mereka hidup dengan menggunakan itu. Mereka memakainya sebagai bagian dari hidup mereka,” kata Thary, sebagai salah satu inisiator.

Selanjutnya, bagiku, aku menginterpretasikan ruang alternatif ini sebagai alat hubung untuk imigran yang hidup sebagai perempuan di antara Indonesia dan Malaysia. 

Baca Juga: Citayam Fashion Week: Fashion ‘Kampungan’ Dobrak Kelas Menengah Atas

Kesamaan antara dua negara dalam hal makanan/ tanaman/ masakan adalah alat untuk menerjemahkan kondisi dari imigran. Suara mereka dari pengetahuan dan praktik yang mereka lakukan menawarkan jalan untuk menyambungkan kembali jarak-jarak putusnya identitas sebagai seorang Indonesia yang terputus dari perjalanan mereka untuk hidup di Malaysia. 

Aku jadi ingat tulisan ini; dari buku ‘Crying in H Mart‘ karya Michelle Zauner, dengan terjemahan tidak resmi.

“Kita semua mencari secuil bagian yang disebut sebagai rumah, atau bagian dari kita sendiri. Kita mencarinya dari makanan yang kita pesan atau dari bahan yang kita beli. Tetapi kemudian akan ada perpisahan. Kita membawa cerita-cerita perjalanan itu ke dalam kontrakan, kosan, atau dapur kita, dengan mencoba untuk membuat kembali melalui masakan. Pastinya bukan masakan tanpa cerita dan tidak akan kita temukan di Trade Joe’s, walaupun kita sudah berusaha untuk menemukannya. H Mart adalah ruang untuk orang berkumpul dalam satu atap, penuh dengan kepercayaan bahwa mereka akan menemukan sesuatu yang tidak dapat mereka temukan di mana pun.”

Theresia Pratiwi Elingsetyo Sanubari

Doctoral student in the Food Studies Department. Currently conducting research related to the consequences of modernization on food habits which are influenced by the shift in the distribution of gender roles in the household. Enjoys traveling, climbing mountains, trying new foods, and fangirling.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!