Memakai Jilbab Atau Tidak, Tak Boleh Dipaksakan

Jika mengenakan jilbab, maka perempuan harus bicara sopan. Sedangkan perempuan yang tidak mengenakan jilbab, identik sebagai perempuan yang tidak agamis. Label seperti ini sejatinya hanya akan mengekang pilihan perempuan.

“Kenapa tidak pakai kerudung lagi?,” tanya seorang petugas perpustakaan dengan santai ketika saya meminjam buku.

Petugas perpustakaan ini sudah sering saya temui, tapi entah kenapa, pertanyaan ini yang sering ia tanyakan.

Apa menariknya bertanya pada orang lain tentang baju apa yang ia pakai? Tapi begitulah, ini memang selalu menjadi pertanyaan yang khas ketika ada perempuan melepas jilbabnya

Bukan kali pertama memang saya mendapatkan pertanyaan seperti itu. Pertanyaan perkara keputusan saya menggunakan atau tidak menggunakan jilbal acap kali ditanyakan ketika saya mengeluarkan tanda pengenal saya, pasalnya tanda pengenal tersebut, baik KTP, SIM, KTM maupun kartu perpustakaan menggunakan foto saya yang dulu berjilbab. Sementara kini saya tak lagi menggunakan jilbab.

Semua orang sepertinya bisa bertanya dengan kasual kenapa saya menggunakan jilbab atau melepasnya, dan saya tidak mau terlalu ribet untuk menjawabnya

Namun pertanyaan-pertanyaan ini memang lazim saya terima. Walaupun belum sampai pada tahap memaksa, namun beberapa kali saya temui kalimat bernada menyayangkan atau bahkan mengancam seperti ini:

“Lebih cantik kalau pakai jilbab”

“Kasihan ayahmu nanti masuk neraka kalau kamu nggak menutup auratmu.”

Begitulah, surganya ayah jadinya tergantung apakah saya memakai jilbab ataukah tidak.

Tetapi setelah melihat-lihat kasus lain di Indonesia, jilbab memang kemudian menjadi salah satu baju yang bisa dipaksakan untuk dikenakan oleh perempuan. Padahal sebenarnya kita mau mengenakan baju apa saja, itu merupakan pilihan kita, tak boleh ada yang memaksakan.

Jaringan Muda Melawan Kekerasan Seksual, sebuah jaringan anak-anak muda di tahun 2018 pernah memetakan, selama ini cadar dan jilbab adalah salah satu atribut yang masih dianggap sebagai bagian untuk mengatur perempuan. Padahal menggunakan cadar, jilbab ataukah tidak, ini seharusnya tidak boleh mengekang perempuan, setiap perempuan boleh memakai baju apa saja dan tidak boleh ada yang mengatur soal ini.

Lathiefah Widuri Retyaningtyas, juru bicara Jaringan Muda Melawan Kekerasan Seksual pernah mencatat, hal lain yang juga sering terjadi yaitu bahwa jilbab juga memberikan identitas pada perempuan di kampus. Jika menggunakan cadar atau jilbab, maka mahasiswi di kampus distereotypekan sebagai orang yang harus mengatur cara bicaranya. Label ini justru akan mengekang perempuan.

Sedangkan perempuan yang tidak menggunakan jilbab, identik sebagai perempuan yang bebas dan tidak agamis. Ini artinya, pakaian masih dilekatkan pada identitas perempuan. Identitas atau stempel seperti ini menurut Lathiefah banyak membuat perempuan kemudian menjadi normatif dalam berpikir.

Alimatul Qibtiyah, dosen UIN Sunan Kalijaga menuliskan dalam The Conversation pernah menuliskan tentang berbagai macam tekanan terkait dengan model berhijab juga pernah datang dari masyarakat sendiri.

Kalangan konservatif mengklaim bahwa hijab yang longgar dan lebar adalah yang paling baik dan benar, sesuai dengan ajaran Al Quran. Namun kalangan ilmuwan progresif dan feminis berusaha melawan klaim ini karena khawatir klaim tersebut akan menghalangi kebebasan perempuan untuk menentukan apa yang ingin dikenakannya.

Segala jenis tekanan yang ada, baik yang menyangkut dorongan untuk memakai atau tidak memakai hijab ataupun bagaimana cara memakainya serta model seperti apa yang digunakan, dimaksudkan untuk mengendalikan tubuh perempuan.

Saya juga mencatat, di tahun lalu, pemberitaan heboh datang dari SMA Negeri 1 Gemolong, Sragen, Jawa Tengah ketika seorang siswi kelas X mengaku diteror temannya yang merupakan anggota aktivis organisasi keagamaan karena tidak menggunakan jilbab.

Di tahun 2021 kejadian pemaksaan jilbab juga terjadi pada 46 siswi di SMK Negeri 2 Padang yang kemudian mendorong munculnya Surat Keputusan Bersama/ SKB 3 Menteri pada Rabu, 3 Februari 2021. SKB ini salah satunya mengatur mengenai peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan berhak memilih antara seragam dan atribut tanpa kekhususan agama atau seragam dan atribut dengan kekhusan agama. Artinya disini, tidak boleh ada pemaksaan jika seseorang ingin menggunakan atribut keagamaan atau tidak ingin menggunakan atribut keagamaan.

SKB 3 Menteri pada kenyataannya mendapat penolakan, misalnya dari Walikota Pariaman, GNPF Ulama, Tokoh Sumbar dan Minang. Ada banyak alasan mengapa SKB 3 Menteri ini ditolak, mulai dari ketakukan siswa perempuan akan membuka aurat, semangat otonomi daerah, seolah-olah memisahkan antara kehidupan agama dan sekolah dan anggapan tidak sesuainya SKB 3 Menteri tersebut dengan tujuan pendidikan nasional yang menginginkan terciptanya peserta didik yang beriman dan bertaqwa.

Human Right Watch baru saja mengeluarkan laporan berjudul “Aku Ingin Lari Jauh” Ketidakadilan Aturan Berpakaian bagi Perempuan di Indonesia pada 18 Maret 2021 lalu. Laporan ini membongkar bagaimana peraturan daerah di Indonesia yang bersifat diskriminatif dan membatasi ekspresi perempuan sejak zaman Orde Baru. Pada masa-masa awal pemerintahan Presiden Soeharto, golongan Islam mulai dipinggirkan dengan menekankan Pancasila. Tapi di masa ini juga terjadi Revolusi Islam tahu  1979 di Iran yang berkontribusi juga pada pembangunan kesadaran pakaian syari sebagai penanda ketaqwaan seseorang.

Dampaknya, luar biasa sekali, pada kasus-kasus ringan mungkin hanya sebatas seperti yang saya alami, ditanyakan kenapa tidak menggunakan jilbab lagi oleh orang asing, dikatakan lebih cantik menggunakan jilbab atau terkesan diancam dengan kalimat ayahmu nanti akan masuk neraka.

Namun pada kasus-kasus lebih parah, anak-anak diteror agar menggunakan jilbab seperti kasus-kasus yang sudah ada atau jika merujuk pada laporan Human Right Watch maka dampaknya bisa jadi hingga korban mengalami body dysmorphic disorder – kondisi dimana seseorang percaya tubuhnya dianggap mengalami kekurangan.

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Rizki Febriani

Penulis Plain Movement
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!