Pertanyaan Seksis Untuk Pemimpin Perempuan: Kamu Punya Waktu Mengurus Keluargamu?

Para pemimpin perempuan banyak mendapatkan pertanyaan "memangnya kamu punya waktu untuk mengurus anak dan keluargamu?". Ini menjadi pertanyaan seksis yang selalu ditujukan pada perempuan ketika mereka menjadi pemimpin. Pertanyaan yang sama, tak pernah ditujukan pada pemimpin laki-laki

Sekjend Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia yang baru, Ika Ningtyas kerap mendapatkan pertanyaan seperti itu. Sebagai pemimpin perempuan, dia seringkali ditanya:

“Bisa gak mengatur waktu jika menjadi pemimpin?”

“Bagaimana dengan anakmu jika kamu pergi terus?”

Padahal menurut Ika Ningtyas, pertanyaan yang sama, harusnya ditanyakan juga pada laki-laki: apakah mereka bisa mengatur waktu antara pekerjaan rumah dan publik jika menjadi pemimpin? karena selama ini pertanyaan seksis itu hanya ditanyakan pada perempuan, sedangkan laki-laki seolah terbebas dari pertanyaan ini.

Ini juga menandakan bahwa secara tak sadar, orang menyatakan bahwa pekejaan di rumah memang harus dilakukan oleh perempuan, bukan laki-laki.

“Ini kenyataan yang kerap terjadi dan saya mengalaminya, banyak perempuan lain juga mengalaminya.”

Hal ini disampaikan Ika Ningtyas dalam diskusi “Menjadi pemimpin perempuan: mengapa penting?” yang digelar Networking for Women’s Leadership pada Jumat, 26 Februari 2021

Nur Aini, Ketua Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Serikat Sindikasi), bercerita bahwa menjadi pemimpin perempuan banyak sekali tantangannya. kepemimpinan di serikat pekerja secara umum misalnya, lebih banyak menempatkan laki-laki sebagai pengambil  keputusan, sedangkan perempuan biasanya menjadi bendahara atau sekretaris yang tak diberikan porsi sebagai pengambil keputusan, hal ini banyak terjadi.

Jika tiba-tiba ada divisi perempuan dan kepala divisi yang perempuan, belum tentu mereka adalah orang-orang yang bisa mengambil kepemimpinan.

Serikat Sindikasi berisi para pekerja kreatif di bidang digital yang selama ini jumlahnya banyak di Indonesia, namun belum terwadahi. Nur Aini mengakui, pemahaman kesetaraan gender di organisasi masih menjadi pekerjaan rumah panjang, termasuk di serikat pekerja pada umumnya

“Masih banyak pekerjaan rumah, namun Serikat Sindikasi saat ini sudah dipimpin oleh 2 perempuan yang menjadi ketua dan sekjend, setelah sebelumnya juga dipimpin ketua yang perempuan. Buat saya ini bentuk kemajuannya,” kata Nur Aini

Mantan Wakil Ketua Komnas Perempuan, Masruchah, menyatakan sebagai pemimpin, perempuan menemui banyak kesulitan yang berlipat ganda, salah satunya yaitu mereka harus membuktikan jika mereka mampu, baru kemudian perempuan akan diakui keberadaannya.

Seperti pameo yang selama ini ada di masyarakat yang menyatakan bahwa perempuan harus melayani, karena melayani suami adalah bagian dari ibadah. Semua sudah terlanjur meyakini bahwa perempuan itu posisinya harus di belakang. Tantangannya pasti ketika memimpin, akan ada banyak pertanyaan untuk perempuan seperti:

“Itu perempuan, gimana kalau rapat malam? Berani gak pulangnya?.”

“Sebagai pemimpin perempuan, dia membahas urusan keluarga, tapi kog dia belum menikah? bisa tidak dia mengurus urusan keluarga di organisasi?.”

Masruchah mengatakan bahwa ia memilih untuk tidak usah menangapi pertanyaan-pertanyaan seperti ini dengan marah, namun buktikan saja dengan kerja.

“Perempuan dianggap sebagai pemimpin yang baik jika ia tidak gampang menyerah, maka dia harus membuktikan dengan kerja keras, berlipat ganda daripada laki-laki. Inilah tantangannya.”

Model Kepemimpinan Perempuan

Dosen dan pengamat politik Universitas Indonesia, Nur Iman Subono mengatakan, menurut pengalamannya selama ini, dalam dunia politik praktis, perempuan itu sering menjadi alat, padahal kadang perempuan tidak tahu situasi yang sebenarnya terjadi.

Maka dalam kepemimpinan, perempuan kemudian lebih memilih model kepemimpinan dengan gaya transformatif, mendengarkan, memberi ruang yang baik untuk mendialogkan sesuatu.

“Kondisi ini dilakukan perempuan ketika laki-laki selalu dipandang sebagai orang yang mampu, super, memerintah, memberikan tugas. Perempuan kemudian memilih kepemimpinan transformatif, tenang, bekerjasama dan mengajak bicara.”

“Perempuan itu banyak sekali memberikan motivasi kepada tim pekerjanya karena perempuan percaya jika semua manusia itu bisa bekerja. Sedangkan laki-laki ingin banyak muncul cepat, aku ini sukses ya, sedangkan perempuan lebih senang membuktikan. Laki-laki tidak menggunakan proses demokrasi, yang penting cepat dan melihat hasilnya saja.”

Nur Iman Subono menyatakan, politik dalam perspektif laki-laki itu identik dengan maskulinitas seperti aktif, ingin tampil. Sedangkan politik feminis menyatakan, yang penting adalah ide, tak penting siapa yang tampil

“Pemimpin perempuan itu care, mau mengatasi persoalan, tapi kadang gak confident, karena perempuan suka dibully dan mendapatkan kekerasan simbolik.”

Ketika ada korupsi atau persoalan politik yang pelik, perempuan lebih banyak diserang. Misalnya dalam kasus korupsi politikus Angelina Sondakh, ia kemudian dibully habis.

“Perempuan dikasih jabatan penting, tapi korupsi kan?, selalu ada pertanyaan seperti itu ketika orang membicarakan Angelina Sondakh. Padahal Angelina hanya 1 dari banyak sekali yang melakukan korupsi yang rata-rata adalah laki-laki. Jangan kasih tempat untuk pembicaraan seperti ini, karena kadang perempuan perlu untuk menggebrak hal-hal seperti ini.”

Karena pada realitanya, perempuan sudah menjadi pemimpin setiap harinya. Setiap hari perempuan selalu bekerja keras, bersiasat, bernegosiasi, memutar otak untuk membagi waktu, namun sayangnya ini tidak pernah dilihat sebagai politik perempuan. Penyebabnya, karena kultur menutupi semua ini.

Mike verawati, Sekjend Koalisi Perempuan Indonesia/ KPI, menyatakan sebagai pemimpin perempuan, tantangan yang dihadapinya sangat banyak, dari harus membuktikan sesuatu, hingga harus menyesuaikan dengan  lingkungan yang berbeda

“Semua harus melihat perbedaan, tantangan pembelajarannya dan lintas generasi, karena anggota KPI itu tidak hanya lintas umur, jadi harus banyak mengajak anak muda untuk turun di gerakan perempuan, dan inilah kekayaan generasi yang harus diterima secara bijak, ini menjadi motor penggerak kerja.”

Nur Iman Subono meyakini, perempuan yang care, transformatif, mau melihat keberagaman dan selalu melihat proses dan ide, adalah sesuatu yang penting, karena sebenarnya ini merupakan modal penting seorang pemimpin

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!