Menolak All Male Panels, Women Unlimited Diluncurkan Sebagai Data Base Perempuan

Minimnya narasumber perempuan di media, serta banyaknya all male panels atau narasumber laki-laki di seminar dan diskusi, membuat Hivos meluncurkan situs Women Unlimited. Situs ini berisi data base narasumber-narasumber perempuan

Sebagai perempuan yang bekerja di lembaga pembangunan, Tunggal Pawestri sering diminta nomor-nomor narasumber oleh jurnalis dan kalangan temannya. Rata-rata mereka meminta perempuan menjadi narasumber, namun sulit ditemukan.

Hal inilah yang menginisiasi Tunggal Pawestri untuk membuat sebuah situs yang berisi database perempuan. Terciptalah situs www.womenunlimited.id yang pernah di soft launching di Jakarta pada 27 Mei di tahun 2016 silam

Kebutuhan akan situs ini memang menjadi hal penting terlebih di masa sekarang, salah satunya karena banyaknya all male panels atau narasumber laki-laki yang menghiasi poster-poster diskusi dan seminar selama pandemi. Selain itu, penelitian Tempo yang menyebutkan narasumber perempuan yang tampil di media hanya sebanyak 11%, adalah persoalan cukup serius yang terjadi di media

Situs tersebut kemudian diperbarui dengan lebih banyak narasumber perempuan dan akhirnya dilaunching secara daring pada 25 Maret 2021

“Banyaknya all male panels atau manels, banyaknya input, kemudian membutuhkan data base perempuan,” kata Tunggal dalam launching situs tersebut

Maka www.womenunlimited.id kemudian di launching oleh Hivos bersama Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial, Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara dan didukung Pemerintah Belanda dan Canada

Saat ini ada 200 nama perempuan dalam situs ini dan tahun ini akan menampilkan 500 nama perempuan yang menjadi narasumber yang bisa diakses oleh jurnalis atau siapapun yang membutuhkan narasumber perempuan.

Tentu tidak banyak munculnya narasumber perempuan bukan karena sulitnya mencari narasumber perempuan, namun lebih karena hierarki dan cara pandang patriarki yang menganggap laki-laki lebih penting, panggung itu miliknya laki-laki, dan menganggap perempuan bukan sebagai orang yang dianggap cakap untuk menjadi narasumber

Dina Afrianty, Research fellow La Trobe University, Australia, salah satu narasumber dalam diskusi ini juga merasa marah dan kecewa ketika melihat banyak perempuan yang tak ditampilkan sebagai narasumber.

“Jarang menjadi narasumber, kadang sebagai moderator, bahkan kadang hanya sebagai kontak person saja di poster-poster diskusi.”

Dina juga melihat selama ini banyak koleganya sesama akademisi yang tak melibatkan perempuan. Di kampus, ini disebabkan karena adanya hierarkhi dan kultur patriarki yang sangat kuat

“Perempuan hanya di depan pintu. Ini intinya tentang justice, ini karena dunia yang patriarki atau memang sudah terjadi dimana-mana, microfon, layar dan podium itu sepertinya hanya untuk laki-laki, bukan perempuan.”

Perjuangan perempuan di media juga dirasakan oleh Ninuk Pambudy, Redaktur senior Harian Kompas. Di media, butuh jalan panjang untuk memperjuangkan ini, karena dari data memang tak banyak narasumber perempuan yang ditampilkan di media

“Kepemimpinan perempuan sangat penting, Womenunlimited.id ini harus diperluas agar bisa diketahui banyak orang.”

Olvy Tumbelaka, adalah aktivis muda perempuan adat yang masuk dalam situs tersebut dan menjadi narasumber diskusi. Olvy saat ini bekerja sebagai biro advokasi dan kampanye di PEREMPUAN AMAN Lou Bawe. Bersama-sama Tim Kerja Lou Bawe, ia bertugas untuk memastikan teman-teman perempuan adat dan memahami UU dan produk hukum serta bagaimana hukum positif bekerja di kampung dan komunitas masyarakat adat. Selain itu, melalui pendidikan popular feminis, mereka belajar dan bekerja bersama-sama untuk membangun kesadaran kritis dan membangun kapasitas untuk memastikan perempuan adat berdaya dan berlipat ganda di setiap komunitas masyarakat adat.

Situs www.womenunlimited.id memang dibuat untuk memberikan informasi kepada masyarakat luas dan media tentang kiprah perempuan dan apa yang sudah mereka lakukan selama ini untuk isu demokrasi, kebebasan, keberagaman dan isu-isu minoritas. Intinya, situs ini berisi tentang kiprah atau profil para perempuan yang selama ini bekerja secara “sunyi”, tak banyak bicara, namun tak terhitung kerjanya. Karena selama ini, banyak perempuan yang bekerja dalam “diam”, jarang dimunculkan di permukaan dan tak banyak diketahui orang.

Selain Oly Tumbelaka, Vivi Widyawati dari Perempuan Mahardhika adalah salah satu aktivis perempuan yang masuk dalam profil di situs women unlimited. Selama ini ia banyak bekerja untuk melakukan pendampingan pada para buruh-buruh dan perempuan di Cakung, Jakarta Utara bersama-sama organisasi buruh FSBTPI. Pekerjaan ini mereka lakukan secara diam-diam dan tanpa “hingar-bingar”.

Ada lagi Veronika Koman yang banyak bekerja untuk isu-isu kemanusian di Papua. Suaranya lantang ketika ia melakukan aksi sekaligus melakukan advokasi untuk kasus HAM di Papua.

Ada lagi Yulita Molyganta, perempuan yang pernah memimpin Arus Pelangi, organisasi yang melakukan advokasi hak-hak LGBT di Indonesia. Juga ada Poedjiati Tan, pengelola www.konde.co masuk dalam situs ini. Selain itu ada Kahi Ata Ratu, musikus perempuan dari Sumba dan Martha Hebi, aktivis perempuan Sumba yang masuk dalam situs ini dan tampil dalam acara launching

Data base narasumber-narasumber perempuan ini diharapkan bisa menjawab soal hierarki dan cara pandang patriarki yang menganggap perempuan tak pernah muncul dan tak layak menjadi narasumber selama ini. Karena panggung, mikrofon adalah milik semua orang yang ahli dan bekerja di dalamnya, tak hanya milik laki-laki.

(Foto: https://womenunlimited.id/)

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!