Jika Bicara Janda, Bicara Perjuangannya Bukan Stigmanya

Kenapa yang banyak diperbincangkan dari janda, bukanlah perjuangannya, tapi stereotype yang dilekatkan pada janda, seperti dianggap sebagai perempuan yang haus kasih sayang, ingin dibelai, harus dibantu secara ekonomi

Nanda Ismael merasa ada sesuatu yang salah ketika ia mulai menyandang status sebagai janda. Pakai baju seksi salah, pakai rok pendek dianggap menggoda. Dari situ ia kemudian tahu bahwa dia baru memasuki tahap stereotyping yang disematkan pada setiap janda.

Kalimat itu seperti menyambutnya sebagai salam selamat datang “selamat datang di dunia janda.”

Padahal dulu ketika ia bersuami, ia tak mengalami berbagai macam stereotype itu.

Dalam sebuah diskusi yang diadakan LBH Jakarta pada 11 Maret 2021 tentang stereorype pada perempuan, banyak sekali stereotype, sebutan yang ternyata telah disematkan pada perempuan sejak dulu.

Sejarah Indonesia mencatat bagaimana perempuan disematkan secara paksa istilah-istilah yang berkonotasi negatif.

Pada zaman kolonial Hindia Belanda, terdapat penggunaan kata “Nyai”. Sebutan “Nyai” dalam masyarakat Sunda, Bali, dan Jawa digunakan untuk memanggil ‘perempuan (muda), atau adik perempuan’, dan juga dipakai sebagai istilah panggilan, bahkan hingga saat ini pun panggilan tersebut masih digunakan. Namun sebutan tersebut berbeda maknanya pada zaman kolonial Hindia Belanda, kata “Nyai” menjadi sebutan bagi seorang perempuan pengatur rumah tangga serta juga perempuan yang dimiliki oleh seorang laki-laki Eropa atau disebut sebagai perempuan simpanan.

Selain mengatur rumah tangga, ‘Nyai’ juga harus memenuhi kebutuhan seks laki-laki Eropa dan menjadi ibu dari hasil hubungan tersebut. Ini hanyalah contoh secuil fakta sejarah yang lagi-lagi menempatkan perempuan pada pihak yang dirugikan.

Dan ternyata kata-kata negatif yang disematkan pada perempuan ini terus bermunculan, di masa sekarang ada kata Pelakor, janda genit, dll yang semuanya ini menyudutkan perempuan, salah satunya janda.

Stereotype yang melekat pada janda ini kemudian membuat Nanda Ismael memutuskan untuk aktif di Organisasi Save Janda. Organisasi ini didirikan untuk stop stigma terhadap janda, kini anggotanya telah tersebar di banyak daerah di Indonesia

“Saya sudah menjadi janda selama 14 tahun, secara emosional seorang janda harus berdamai dengan dirinya sendiri, mengatasi persoalan psikologi anak dan keluarga yang dihadapi. Namun stigma yang disematkan ini menjadi tambah sulit, kita seperti sulit untuk berkembang.”

Sejak menjadi janda, Nanda Ismael merasa hidupnya seperti selalu diawasi. Pulang malam diawasi dan menjadi bahan pergunjingan

“Sekarang sepertinya jadi beda, ada ibu pulang dengan transportasi online tiap hari tapi dengan driver yang berbeda-beda, ini kemudian menjadi perbincangan, jadi stereotype, perbincangan dan disamaratakan sama orang lain.”

Jadi yang diperbincangkan bukanlah perjuangannya sebagai janda, tapi stereotype yang dilekatkan seperti dianggap sebagai perempuan yang haus kasih sayang, ingin dibelai, harus dibantu secara ekonomi

“Maka jika ada laki-laki yang genit, bukan laki-lakinya yang dianggap genit, namun justru jandanya.”

Belum lagi becandaan yang menjadikan janda objek, misalnya ada yang datang ke kantor dengan rambut basah di hari jumat.

“Wah, berapa ronde ini semalam?.”

ini jelas melanggar privasi, jika protes malah terkena stigma yang berlebih.

Ketika bercerai dan kembali ke orangtuanya, ini juga masalah baru bagi seorang janda karena tetangga dan saudara membicarakannya, akibatnya banyak janda yang kemudian merasa risih karena selalu jadi bahan pembicaraan

“Secara emosional dan mental, menjadi janda itu terganggu, saya bisa mengembalikan percaya diri selama 3 tahun, ini bukan waktu yang sebentar. Yang penting kuat dan stabil, anak juga stabil. Ketika lingkungan tidak mendukung, perempuan menjadi sulit untuk berkembang.”

Rasa sakit dan pulih dari perceraian atau ditinggal suami sering membuat lama untuk pulih, dan kondisi ini tak pernah mudah bagi janda.

Maka penting untuk bicara pada banyak orang: jika membicarakan janda, tanyakan perjuangannya, bukan stigmanya!

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!