Di balik suhu pegunungan yang dingin, tiga puluh transpuan duduk melingkar di atas sebuah rumah panggung. Mereka saling bertukar kisah dan keresahan. Stigma-stigma negatif hingga kini masih mereka dapatkan. Tak hanya menghilangkan pekerjaan yang mereka geluti, ruang berekspresi mereka juga kian menyempit.
Salah seorang transpuan itu, Eman, berupaya menguatkan. Dia bisa memahami realitas yang banyak menimpa teman-teman transpuannya. Lantas, mengajak satu sama lain bisa saling menguatkan dan mendukung.
“Jangan sampai ada lagi yang terdiskriminasi. Kita harus saling mendukung dan itu tidak bisa dikerjakan sendiri-sendiri, tapi adalah kerja kolektif bersama. Apalagi situasi masyarakat saat ini yang mulai tidak mendukung. Bersama kita saling bersolidaritas, apapun kondisi yang terjadi,” Tutur Eman yang hadir dalam acara diskusi, beberapa waktu lalu.
Kalimat penguatan yang dilontarkan Eman itu seperti sihir, bisa membuat para peserta kembali bersemangat. Sebagai seorang transpuan sekaligus pembela hak asasi manusia (HAM), Eman memang selama ini menyaksikan dan mengalami langsung, bagaimana penghormatan terhadap hak berekspresi terus mengalami kemunduran. Terlebih, bagi kelompok minoritas seperti transpuan. Hal itu mendorongnya untuk bercita-cita menjadi pengacara transpuan.
Di Sulawesi Selatan, represi dan ancaman terhadap kelompok minoritas seksual banyak terjadi. Berdasarkan CATAHU yang dirangkum Komunitas Sehati Makassar, sepanjang 2007 hingga 2022 sebanyak 45 kasus dengan jumlah korban 1.507 orang atau 23 kasus secara individu dan 12 kasus secara kelompok atau komunitas. Dari total kasus itu, tercatat 27% adalah kasus kekerasan fisik, 50% kasus kekerasan psikis, 2% kasus kekerasan seksual dan 22% kasus kekerasan ekonomi. Pada kasus-kasus kekerasan terhadap kelompok LGBT ini, kelompok transpuan sebagai korban adalah yang paling banyak mengalami kekerasan.
Kisah Hidup Eman: Antara Bullying dan Dukungan Keluarga
Eman punya nama lengkap Eman Memay Harundja. Saat saya pertama kali bertemu Eman, Ia mengenakan baju kaos oblong warna putih bertuliskan ‘you are not alone‘.
Dia berperawakan tidak terlalu kurus dan tidak terlalu gemuk. Tinggi badan sekitar 170 cm. Rambutnya lurus, berwarna hitam kecoklatan sepanjang bahu.
Eman menggunakan kacamata untuk membantunya melihat. Jika tak sedang digunakan, dia akan gantungkan kacamata itu di leher.
Terhitung sudah belasan tahun ini, Eman aktif terlibat dalam advokasi kebebasan berorganisasi dan berekspresi untuk komunitas LGBTIQ di Sulawesi Selatan. Baginya, hal itu adalah panggilan hatinya.
Eman kecil lahir di keluarga sederhana serta religius, di sebuah desa pesisir tanah Mandar. Dia adalah bungsu dari lima bersaudara yang sejak kecil telah menjadi yatim. Ayahnya berpulang dua tahun setelah kelahirannya.
Ia kemudian tinggal berdua dengan ibunya, sementara keempat saudaranya hidup bersama keluarga.
Baca Juga: Cerita Mak Echi, Tak Gentar Perjuangkan KTP untuk Transpuan
Semasa kecil ia banyak membantu sang ibu, seperti menemani ke pasar dan memasak. Menurutnya kebiasaan membantu ibunya mempengaruhi dan melengkapi pilihan identitasnya sebagai transpuan yang diyakininya adalah given sejak lahir.
Masa sekolah ia habiskan di kampung halaman, dari sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama. Karena terkendala biaya, ia pernah hampir putus sekolah.
Untuk kebutuhan sekolah itu, Eman harus memenuhi kebutuhannya sendiri. Dia pernah menumpang tinggal di rumah gurunya, agar tetap dapat bersekolah. Gurunya itulah yang juga membantunya membayar biaya sekolah. Sebagai balas jasa, Eman seringkali membantu mengurus rumah serta balita gurunya itu.
Eman bisa dibilang adalah murid yang cukup berprestasi di sekolah. Dia selalu dapat ranking. Sayangnya, Eman sering mendapatkan ejekan dan bullying di sekolah karena identitas gender dan seksualitasnya.
“Dasar bencong! Waria!” Kenang Eman.
Meski jengkel dan ingin melawan, Eman lebih banyak diam. “Hati saya sangat terluka dengan itu,” sambungnya.
Baca Juga: ‘Lubang Kelam(in)’ Tuliskan Pengalaman Tubuh Yang Disembunyikan Karena Dianggap Tabu
Dia menyadari bahwa sikap feminimnya memang menonjol. Karena itulah, dia sering menjadi olok-olokan dan mendapat bullying dari teman-temannya. Di saat yang sama, dia juga mesti berjuang dengan sulitnya ekonomi masa sekolah saat SD hingga SMP kala itu.
Dari perjalanan hidup yang dialaminya sejak kecil, Eman mengatakan ada dampak yang dirasakannya, yaitu keterbatasan dalam mengekspresikan diri karena stigma di masyarakat sangat tinggi.
“Saya tidak memakai baju yang terlalu feminin setiap hari karena ini adalah cara dan nyamannya saya beradaptasi. Tapi saya juga tidak melarang teman-teman transpuan menggunakan pakaian sesuai pilihannya apalagi yang seksi menurut masyarakat, itu hak masing-masing,” kata Eman.
Meski begitu, Eman patut bersyukur, ibu dan saudara terdekat Eman begitu menyayanginya. Mereka mendukung perjalanan hidup Eman dan menjadi pelindungnya.
“Sewaktu kecil saya sangat dekat dengan kakak pertama perempuan, sering diajak pergi jalan-jalan, dia yang tegur orang kalau saya diejek. Kakak juga teman curhat saya,” katanya.
Hingga saat ini, meskipun kakak perempuannya telah meninggal dunia. Tapi, kasih sayangnya selalu Eman kenang.
Titik Balik Mengenal Diri Sendiri
Tahun 1999, Eman melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Makassar. Dia mengambil jurusan Pariwisata, jenjang Diploma-III. Ia tinggal di kos-kosan sederhana, dan kakaknya berjualan majalah di sekitar kampus.
“Dulu saya hanya datang dan pulang saat kuliah selesai. Saya belum mengenal diri saya seutuhnya. Saya merasa menjalaninya bukan seperti diri saya sendiri,” ujarnya.
Hingga di tahun 2000-an, Eman berkenalan dengan internet. Sahabatnya yang pertama mengajak untuk mengaksesnya melalui warung internet. Hanya Rp 3.000,00 per jam saja, Eman bisa berkelana dan bertemu dengan berbagai komunitas online. “Saya punya Faceline—seperti Facebook sekarang, ada mIRC, dan Dalnet.”
Melalui mIRC, Eman pertama kali mengenal komunitas gay.
“Saya penasaran itu apa. GIM (Gay Indonesian Male of Makassar) itu nama komunitas online di Makassar,” ceritanya dengan semangat dan seperti bernostalgia di masa itu.
Kala itu, matanya seolah berbinar-binar ketika bercerita tentang perkenalannya dengan komunitas online itu. Komunitas itu ternyata bisa membuat dirinya merasa nyaman dan diterima.
“Saya bergabung karena nyambung, ternyata saya bagian dari SOGIESC, begitu teman-teman dalam komunitas,” katanya.
Baca Juga: Sejarah Istilah ‘Transpuan’ dan Perjuangan Keadilannya
Masa-masa itu, Eman bilang, dirinya masih belum menyadari penuh apa identitas gender yang dimilikinya, gay atau ada ekspresi gender lainnya.
Beberapa waktu kemudian, chatting online pun menjadi rutinitas dan menjadi hobi Eman kala itu, hingga bertemu tatap muka.
“Pertemuan ke pertemuan, makan bersama dan masak bersama hingga kami membentuk Komunitas Sehati Makassar (KSM),” terangnya.
Hidup Eman masa itu, kata dia, menjadi lebih berwarna dan banyak berjejaring. Dia bisa bertemu dengan banyak teman yang memiliki perjuangan yang sama, yakni memperjuangkan teman-teman transgender.
Pelan-pelan, komunitas KSM yang dibangunnya pun mendapatkan penguatan kapasitas organisasi hingga jejaring dengan beberapa organisasi HAM yang ada di Makassar.
Di KSM, Eman mulai mengenal pendidikan tentang ketubuhan, orientasi seksual dan identitas gender. “Akhirnya berani bilang kalau kecenderungan identitas gender saya adalah transgender waria, saya ‘coming out‘ sebagai transpuan,” ucap dia.
Baca Juga: Dipanggil ‘Pak’ Arti Nama dan Identitas Dalam Hidup Transgender
Widodo Budidarmo—yang biasa dipanggil Mak’e—adalah salah satu inspirasi bagi Eman hingga saat ini. Mak’e yang kala itu menjadi aktivis Arus Pelangi dan LBH Jakarta, membuat Eman mengambil Sarjana Hukum di salah satu Universitas Swasta Makassar. Sosoknya menjadi penyemangat bagi Eman untuk terus berjuang. Ia ingin menjadi pengacara transpuan, membela teman-temannya yang termarjinalkan.
“Saya ingin menjadi pembela dan penasihat hukum teman-teman komunitas. Terbatasnya dan sulit saat ini mencari pengacara yang berperspektif HAM LGBTIQ, apalagi pengacara yang juga bagian dari LGBTIQ,” katanya.
Baginya, apa yang dia perjuangkan dalam perjalanan menjadi pengacara transpuan saat ini tidak hanya fokus memperjuangkan LGBTIQ. Tetapi juga memperjuangkan keadilan tanpa melihat latar belakang suku, ras, dan agama.
Berdaya Bersama Komunitas
Pada tahun 2005-2007, cukup marak kasus kekerasan yang dialami komunitas LGBTIQ. Namun, banyak dari kasus itu yang terabaikan dan tidak terdokumentasi dengan baik, apa lagi didampingi secara hukum di Kota Makassar. Berbagai kekerasan dan penggerebekan seringkali berulang.
Di masa inilah, lahir Komunitas Sehati Makassar (KSM) untuk mengawal kasus tersebut.
“Tidak ada yang mengadvokasi dan membantu penyelesaian hukum. Saya dan teman-teman khawatir, prihatin dan sedih melihat tindakan sewenang-wenang yang terjadi pada teman-teman komunitas,” kata dia.
Tak hanya di KSM, Eman pun aktif di KWRSS (Kerukunan Waria Bissu Sulawesi Selatan). Baginya, organisasi ini menjadi wadah untuk belajar dan sangat memberi pengaruh besar bagi kehidupannya.
“Kita perlu melawan diskriminasi, kekerasan dan marjinalisasi,” ucap Eman dengan semangat.
Baca Juga: Cintaku Pada Matias: Love Yang Tak Pernah Mati
Jika dilihat ke belakang, masa kecil Eman memang penuh perjuangan. Begitu juga saat ini. Namun baginya, upaya terus bergerak dan tak kenal lelah perlu dilakukan hingga akhir hayat. Sampai segala bentuk diskriminasi dan marginalisasi dihapuskan.
Eman punya cita-cita, KSM bisa menjadi rumah yang aman dan nyaman bagi teman-teman yang memiliki identitas dan orientasi seksual yang beragam. KSM juga harapannya bisa menjadi wadah untuk dapat mengenal serta berbaur dengan masyarakat sekitar. Wadah komunikasi, sharing sesama komunitas, serta tempat saling berbagi pengetahuan.
Eman bersama teman transpuan membuka ruang yang begitu lebar bagi siapa saja yang ada di sekitar. Saling mengenal dan saling berdaya, tanpa membedakan latar belakang. Hal itu yang mereka harapkan dan perjuangkan.
“Kami berdaya bersama,” katanya.
Memberi ruang untuk memperkenalkan keberagaman, Eman dan lima orang Bissu berangkat di pentas dalam perhelatan di Ho Chi Minh, Vietnam. Mereka membawakan tarian Serre Bissu Maggiri.
Dari pertunjukkan menari itu, Eman telah pun berkeliling ke berbagai negara di dunia dalam ajang internasional yang menyuarakan keberagaman dan budaya. Tarian itu ditampilkan di negara Vietnam. Selain itu pernah juga menghadiri pertemuan internasional yang ke beberapa negara antara lain Thailand, Taiwan, dan Nepal.
Eman memandang Serre Bissu Maggiri bukan hanya sekedar tarian; ada mantra magis dan warisan budaya tak benda. Hal itu menggambarkan perkenalan terhadap lima gender suku bugis serta menampilkan filosofi maskulinitas dan feminitas.
Melalui tarian yang akan ditampilkan itu, menjadi ‘penyampai pesan’ yang sangat berarti bagi perjuangan Eman dan teman-teman Bissu lainnya. Baginya, bertemu dengan teman sesama transgender lintas negara menjadi kekuatan untuk terus berjuang.
“Ini adalah upaya memperkenalkan keberagaman gender,” jelas Eman.
Ingin Menjadi Pengacara Transpuan
Usai lulus SMA, Eman melanjutkan kuliah dengan mengambil jurusan fakultas hukum, di Universitas Swasta Makassar. Ia ingin menjadi seorang pengacara transpuan.
Saat mengajukan tugas akhir kuliah, ia mengusulkan judul ‘Hak-Hak Transpuan Ketika Menjadi Tersangka’. Judul yang ditawarkannya ditolak pembimbing.
Ia lalu mengubah judulnya.
Menurut Eman, dosennya tak ingin menyulitkan saat penelitian nanti. Akhirnya ia mengubah menjadi ‘Hak-hak Tersangka Secara Umum’.
Judul awalnya bukan tanpa alasan dipilih. Pasalnya, salah satu teman transpuannya pernah dipenjara akibat kasus pemukulan dan mendapatkan perlakuan buruk.
“Masa penahanan di kantor polisi, temanku disuruh memijat napi lain, membersihkan kamar mandi, membersihkan ruangan lain. Bahkan sampai dibotakin rambutnya secara paksa,” Eman bercerita dengan geram.
Selain itu, semasa di KSM dirinya sering mendampingi, memberikan advis hukum, hingga mendapat coaching dari LBH Makassar dan LBH APIK.
“Menurutku belum cukup. Saya harus belajar hukum. Di samping itu, sumber daya manusia di LBH sangat sedikit untuk kasus LGBTIQ yang banyak,” jelasnya.
Menurut Eman, dalam hal pendampingan komunitas, yang mendampingi harus dari komunitas itu sendiri, karena pendekatannya akan beda. Apa lagi jika kasusnya pidana, sedikit sekali yang mau terbuka untuk konsultasi.
“Mereka tidak nyaman berhadapan dengan aparat, karena biasanya aparat lebih banyak bekerja berdasarkan moral dan agama sehingga image transpuan di mata aparat sudah terlanjur buruk. Mereka akhirnya tidak mau terbuka dan malu ungkapkan,” kata dia.
Baca Juga: 4+1 Alasan Mengapa Penting Lindungi Transpuan: Mereka Bukan Virus
Tahun 2009, ia mengawal tiga orang teman transpuan yang dipukul preman. Kejadiannya di Makassar. Saat itu berujung di pengadilan hingga bui, dipidana kurungan penjara hingga 4 bulan dan 8 bulan.
Kemudian tahun 2015, dia juga pernah mengawal kasus di Mamasa atas dugaan pemalsuan identitas. Ia mendampingi dari proses pelaporan hingga pengadilan. Ujungnya pun berakhir di bui.
Hingga 2020, masa pandemi, dirinya menemani dan mendampingi teman transpuan untuk melakukan perubahan identitas dan nama di Kartu Tanda Penduduk (KTP).
“Saat itu prosesnya cukup sulit, kita sudah lengkapi semuanya administrasi, tapi seperti di ping-pong saat pengurusan di kantor, mungkin karena kami transpuan,” Eman bercerita.
Ia menjelaskan kalau tiga kasus di atas hanya sebagian kecil dari banyaknya masalah dan perlakuan diskriminasi yang dialami teman transpuan.
Selain kasus di atas, masih banyak larangan dari negara dan pemerintah yang dialami kelompok LGBTIQ. Menurut Eman, kebijakan serta stigma dan ketidaksukaan ormas intoleran adalah pemicunya.
Baca Juga: Dipanggil ‘Kak’ atau ‘Mbak’? Bagaimana Sebaiknya Kita Memanggil Transpuan
Padahal, Undang-Undang Dasar NKRI 1945 sudah menetapkan di Pasal 28 bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya.
Menurutnya, aturan itu sudah cukup jelas. Tapi dalam implementasinya, aparat selalu menyalahkan kegiatan LGBTIQ dari sisi moral dan agama.
“Aparat tidak menjalankan kerja-kerjanya secara nyata. Salah satu Polsek di Kota Makassar. Saat kami sedang mengurus untuk persiapan kegiatan, tiba-tiba ada salah satu aparat yang spontan mengatakan jika ada permintaan izin oleh komunitas LGBTIQ, tidak akan diberikan izin karena akan mengganggu ketertiban umum,” ceritanya.
Menurut Eman, jika permintaan izin datang dari kelompok LGBTIQ, maka tidak akan diberikan izin. Hal itu lantaran ada anggapan mereka akan mengganggu ketertiban umum bagi masyarakat.
“Sekian rentetan peristiwa itu yang membuat saya berpikir, harus belajar hukum dan menjadi pengacara bagi teman-temanku serta komunitas,” katanya.
Dalam perjalanannya meraih mimpi jadi pengacara transpuan, Eman telah mengikuti PKPA (Pendidikan Khusus Profesi dan Advokat) dan UPA (Ujian Profesi Advokat). Semuanya diikuti sebagai bentuk keseriusan menjadi pengacara transpuan. Dia kini sedang menunggu jadwal sumpah dan selangkah lagi menjadi Advokat. Semua adalah proses yang panjang. Semoga perjuangan yang ditanam lama berharap berbuah manis, sehingga Eman dapat mewujudkan impiannya menjadi pengacara transpuan.